Tidak ada kesepakatan apapun antara saya dan istri, namun tiba-tiba kami penasaran dengan jalur Laweung- Krueng Raya, yang menurut sahibul cerita penuh dengan kisah yang tidak mengenakkan. Dengan bermodal tanya sana sini di sepanjang jalan, akhirnya kami pun berhasil mencapai Banda Aceh. Tentu dengan ingatan yang memesona.
Dua minggu lalu, kami berangkat ke Banda Aceh dengan menggunakan sepeda motor Honda Bebek 125. Dari Bireuen, kami bergerak sekira pukul 11.00 WIB, setelah sebelumnya berkeliling pasar untuk mencari buah rumbia, yang dipesan sebagai buah tangan untuk seorang teman.
Kami berkendara dengan kecepatan 50 km/jam. Tentu kecepatan yang sangat rendah untuk ukuran perjalanan jauh. Namun karena tidak ada kepentingan yang sangat mendesak, laju kendaraan tak perlulah di atas 60 km/jam.
Usai makan siang dan melepas lelah di Grong-Grong, Pidie, kami pun kembali mengaspal. Tiba di kawasan Simpang Laweung tepatnya di lokasi warga yang berjualan pisang di bawah gubuk sederhana, timbul keinginan untuk mencoba menelusuri jalur yang asing bagi kami berdua.
“Ayuk kita coba. Siapa tahu menarik untuk sekedar mencari suasana baru,” ujar istri saya.
“Oke. Tapi Kamu punya tugas, yaitu memotret objek yang menarik untuk bahan tulisan,” kata saya.
***
Ketika roda sepeda motor mengelinding di aspal jalan yang berkurap, Laweung memberikan pesona lain. Sepanjang jalan diapit oleh perkebunan warga yang menghijau, serta jalan yang yang penuh lubang. Di sini, siapapun harus berhati-hati. Bila kurang awas, terjungkal ke badan jalan, bukan hal mustahil.
“Bek neujak peu Rossi-Rossi droneuh sino, Cut Bang,” kata istri saya, ketika sesekali saya mulai nakal dengan gas sepeda motor. Mendengar kalimat itu, saya tertawa.
“Awas, lembu tak punya spion. Mereka juga tidak punya lampu samping,” kata istri saya, tatkala berpapasan dengan kawanan lembu yang hana jideungo tet-tet. Beberapa kali memang nyaris terjadi perkara antara saya, sepmor dan lembu. Binatang berkaki empat itu, benar-benar tak tahu adab. Sesukanya menguasai jalan yang diperuntukkan untuk manusia.
Suasana pemandangan nyaris seragam di sepanjang jalan. Kebun kosong, jalan rusak, gunung berkarang dan wajah-wajah yang menatap pelintas dengan raut penuh penasaran. Mungkin penampilan kami rada asing bagi warga tempatan.
Usai kami melewati Ibukota Muara Tiga, barulah suasana sudah agak lain. Jalanan yang dinaungi oleh tetumbuhan rindang, suasana kampung yang unik dan khas serta hal-hal lain yang tanpa sadar membawa ingatan saya ke masa lalu.
Bocah-bocah yang berbaju lusuh, yang bermain di pinggir sungai. Anak kecil yang berkejaran di pinggir jalan. Ibu-ibu yang mencuci di pinggir sungai dengan gaya khas, kain sarung yang tautannya diselip di belahan dada. Oh, romansa demikian tentu membawa alam pikir saya ke kampung halaman.
Istri saya tentu tak lazim dengan pemandangan demikian. Ia besar di kampung yang sudah kehilangan ciri kampungnya. Sehingga agak terheran-heran ketika melihat lelaku perempuan yang mencuci kain di sungai, dengan pakaian khas itu.
Ketika memasuki perbatasan Pidie-Aceh Besar, pemandangan pun berganti dengan gunung-gunung karang yang berlatar belakang Selat Malaka yang biru. Perjalanan pun semakin seru. Kami menikmati jalur menanjak, menurun dan sesekali berhenti untuk berfoto. Ah, kami mirip seperti pasangan pengantin baru. Padahal usia pernikahan memasuki tahun ketujuh.
Kami sempat beristirahat di pinggir pantai. Pemandangannya sungguh indah. Teduh dan nyaman. Ibarat menatap lelaku gadis ceudah yang berlaku sopan. Ombak yang berkejaran ke bibir pantai. Serta burung-burung laut yang saling bermain petak umpet dengan ikan-ikan yang berada di dalam gelombang.
Ketika kami sampai ke Leungah, ada sekitar tiga kilometer jalan berbatu. Tentu saya harus ekstra hati-hati. Karena jalan demikian menawarkan ketidakpastian. Padahal di sana tidak ada tukang tempel ban. Kawasan ini nyaris tanpa rumah penduduk.
Dengan perjalanan yang super lambat, hari itu kami benar-benar merengguk sepuasnya keindahan yang ada di sepanjang perjalanan. Andaikan tanpa jalan rusak, kawasan itu benar-benar jalur firdaus. Laut, gunung, lembah, dan hutan yang menghijau, menjadikan lawatan kami menjadi sangat mengembirakan.
Hari itu, perjalanan kami tanpa halangan apapun. Kami tiba di Banda Aceh seiring dengan kumandang azan magrib. Sebelumnya kami beristirahat di Pasir Putih Lhok Seudu, Aceh Besar. Objek wisata ini sudah kurang menarik. Terkesan kumuh dan harga jajanan yang lumayan mahal.
[]