Dunia mengajar menjadi tidak mudah bagi para guru dewasa ini. Hampir di semua sekolah, perilaku siswa-siswi sudah masuk ke tahap yang memprihatinkan. Perilaku seperti tidak memperhatikan ketika guru menerangkan pelajaran, membuat keributan di kelas, bully, absen tanpa keterangan, mengintimidasi adik kelas dapat mengganggu proses belajar-mengajar.
Menurut beberapa studi, perilaku atau tingkah laku seseorang adalah refleksi dari proses belajar sosial di lingkungannya seperti rumah, masyarakat, dan sekolah. Ketiga aspek ini berperan dalam pembingkaian karakter anak.
Ketika perilaku seorang peserta didik terlihat menyimpang maka ketiga ruang sosial diatas perlu di screening secara detail untuk mendapatkan diagnosa yang tepat. Sekolah bukan satu-satunya factor penyumbang yang mutlak.
Selama ini ada persepsi yang keliru di benak orang tua siswa bahwa tugas mendidik anak sepenuhnya dibebankan kepada guru. Sebaliknya, banyak guru yang beranggapan bahwa tugasnya pendidikan terhadap siswanya pada jam sekolah saja.
Semua kesalahan perspesi dan sikap saling melepas tanggung jawab itu terbukti telah berkontribusi signifikan pada penurunan moralitas siswa. Tanpa sadar, si remaja itu mencari panutan lain di sekitarnya yaitu Sinetron, HP dan segala aplikasi Medsos, Tablet, dan Game Online. Apakah ini yang kita inginkan?
Ada yang kita lupakan bahwa guru memiliki ruang interaksi yang lebih persuasive bersama anak didiknya. Bukan rahasia bila anak lebih merujuk pada wawasan dari guru sekolahnya bila di rumah dia temukan pendapat yang conflicting. Maka sangat ideal bila para guru mampu melihat ini sebagai sebuah titik cahaya di ujung lorong yang gelap, dan akan lebih strategis bila para guru mau meluangkan sedikit waktunya untuk bisa lebih dekat lagi kepada siswanya, menyentuh jiwa mereka dengan sikap-sikap yang menyamankan mereka, membangun trust dan rasa percaya diri mereka, dan faktanya anak-anak remaja butuh perhatian khusus.
Pengalaman pribadi sebagai guru selama hampir 20 tahun mengajar, saya menemukan bahwa para pelajar kita haus akan motivasi, siraman rohani, dan kisah-kisah inspiratif, disamping materi pelajaran yang sudah dibakukan. Mengapa demikian. Karena usia remaja adalah usia yang kritikal untuk penemuan diri. Sayangnya anak dalam meniti proses itu tidak semua orang tua di rumah mampu menjadi seorang motivator dan inspirator yang tangguh. Inilah alasan kenapa orang tua pun menumpukan kekurang dirinya pada para guru saja.
Dalam momentum Hari Guru Nasional ke-71 ini, saya ingin berkirim pesan dan hikmah kepada semua rekan-rekan guru agar mau meluangkan lebih banyak waktunya untuk memahami kondisi mental, sosial dan intelektual anak secara konprehensif. Kita tidak hanya mentransfer bahan hafalan saja tanpa mempersiapkan pondasi keilmuan yang mapan.
Anggaplah anak-anak didik itu seperti anak kandung sendiri. Imam Al-Ghazali pernah berpesan “Anggaplah muridmu sebagai anak kandungmu sendiri.” Perubahan perspektif dalam melihat si anak didik akan berpengaruh signifikan dalam memperlakukan mereka juga.
Memproyeksikan mereka seperti anak kandung akan memberi kita energi yang tidak pernah habis untuk menghibahkan diri bagi pembetukan karakter dan intelektualitas yang terbaik untuk mereka.
Banyak hal yang bisa kita lakukan khususnya dalam membingkai mereka dengan Akhlak Qurani, memotivasi mereka untuk selalu membiasakan diri melakukan kebaikan untuk orang- orang di sekitar mereka, membangun jiwa yang mandiri dan tangguh. Membagi kisah-kisah inspiratif tentang Ilmuwan Muslim – seperti Ibnu Sina, Imam Syafi’I, untuk memacu semangat belajar.
Semoga lebih peduli terhadap anak didik di sekolah, dan lebih pro-aktif dalam membingkai karakter anak didik dengan memberikan keteladanan yang positif. Tugas kitalah untuk mendidik, membina, dan mengantarkan mereka menjadi manusia- manusia yang cerdas , tangguh dan berakhlak mulia.[]