Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh beserta 20 kabupaten/kota se-Aceh hanya tinggal dua bulan lagi, tepatnya akan digelar serentak pada 15 Februari 2017 mendatang. Semua kontestan pasangan calon (paslon) mulai bergerilya dengan berbagai tawaran program pembangunan untuk merebut hati rakyat.
Pilkada merupakan ajang memperoleh mandat rakyat sebagai nakhoda pembangunan untuk mencapai kesejahteraan. Salah satu sumber daya menuju cita-cita kesejahteraan tersebut adalah dengan tata kelola anggaran yang tepat sasaran, terutama anggaran dana otonomi khusus (otsus) bagi Aceh. Dana otsus sebagai salah satu kompensasi menuju percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh pasca perdamaian MoU Helsinki 15 Agustus tahun 2005.
Pilkada sebagai momentum publik mengevaluasi ?kinerja pemerintahan lama dan menyusun konsep perbaikan ke depan secara menyeluruh. Adu program antar pasangan calon terjadi secara intensif tentang bagaimana membangun tata kelola daerah masing-masing. Persoalan daerah seharusnya menjadi parameter dalam perbincangan peserta dan pemilih dalam pilkada di ruang publik.? (Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz , 28/10/2016).
Pilkada Aceh 2017 merupakan pilkada episode ke-tiga pasca perdamaian Helsinki, setelah pilkada pertama tahun 2006 dan kedua tahun 2012 lalu. Selama dua periode tersebut, total dana otsus telah mencapai sekitar Rp 49,32 triliun (2008 s/d 2016) dan tahun 2017 (tahun kesepuluh) dana otsus Aceh sekitar Rp 8,1 triliun. Jika ditotal, selama sepuluh tahun pertama, dana otsus Aceh mencapai angka 57,42 triliun.
Seperti diketahui, sesuai amanat UUPA nomor 11 tahun 2006, pasal 183 ayat 1, dana otsus ditujukan untuk membiayai enam bidang, yaitu; pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Lantas, sejauh mana kinerja pembangunan Aceh sudah tercapai selama dua periode pilkada Aceh sebelumnya? Untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah pemerintahan, salah satu parameter yang digunakan adalah kinerja pembangunan, diantaranya yaitu melihat sejauh mana indikator kesejahteraan rakyat terutama terkait penurunan angka kemiskinan dan pengangguran telah tercapai. Sejauh mana aliran dana otsus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat dan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh. Kedua aspek ini merupakan bagian penting dari sukses tidaknya kinerja sebuah pemerintahan.
Ada beberapa catatan penting terkait kinerja pemerintahan di Aceh hingga saat ini serta dampaknya terhadap berbagai indikator kesejahteraan, terutama terkait persoalan tingginya angka kemiskinan serta pengangguran di Aceh.
Potret Kemiskinan Aceh
Selama 9 tahun dana otsus yang telah diterima oleh pemerintah provinsi Aceh, persoalan angka kemiskinan (penduduk dengan jumlah pengeluaran di bawah garis kemiskinan) masih merupakan penyakit yang belum juga tuntas di Aceh. Mengenai kemiskinan, di dalam Qanun RPJM Aceh 2012-2017, Pemerintah Aceh mempunyai target kerja menurunkan angka kemiskinan menjadi 9,50 persen dari data acuan 19,48 persen tahun 2011 (artinya target penurunan sebesar 2 persen tiap tahun). Namun data statistik saat ini menunjukkan kalau angka kemiskinan Aceh periode Maret 2016 masih 16,73 persen.
Lebih ironis lagi, kalau kita melihat angka kemiskinan di tingkat kab/kota, masih terdapat beberapa kab/kota yang jumlah penduduk miskin masih sangat tinggi, di atas 20 persen. Publikasi data kemiskinan kab/kota oleh BPS RI yang dirilis November 2016, ada 9 kab/kota di Aceh yaitu; Gayo Lues, Aceh Singkil, Bener Meriah, Aceh Barat, Pidie Jaya, Pidie, Simeulue, Subulussalam, dan Nagan Raya yang tingkat kemiskinan masih di atas 20 persen.
Mengacu data-data statistik di atas, apakah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Aceh terhadap upaya pengentasan kemiskinan selama ini sudah tepat sasaran? Pemerintah seharusnya memprioritaskan alokasi anggaran pada sektor pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, membuka akses lahan pekerjaan serta akses bantuan modal kerja untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat miskin. Selama ini, alokasi anggaran baik APBA/APBK masih banyak tersedot untuk belanja pegawai setiap tahunnya, kedepan evaluasi tata kelola anggaran merupakan suatu keharusan agar benar-benar prorakyat.
Momentum Pilkada
Dari salah satu indikator kesejahteraan di atas, kita dapat memberi penilaian masing-masing tentang realita Aceh saat ini ditengah guyuran dana otsus yang telah dihabiskan hampir mencapai 50 triliun sampai tahun 2016.
Seluruh stakeholder masyarakat Aceh harus menyadari bahwa dana otsus Aceh hanya tinggal 11 tahun lagi sampai 2027. Mulai tahun 2018 s/d 2022, dana otsus Aceh masih 2 persen dari DAU nasional. Jika dilihat dari rata-rata kenaikan setiap tahunnya, selama periode tersebut, Aceh akan menerima dana otsus sekitar 50 triliun. Artinya periode pemerintahan Aceh terpilih nantinya (2017-2022), siapapun yang terpilih harus mampu mengelola dana yang begitu besar tersebut secara tepat sasaran, mampu menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran. Tentunya dengan program-program yang realistis dan nyata bagi masyarakat, bukan lagi dengan program “cet langet” seperti yang tercantum dalam RPJM Aceh 2012-2017.
Pemerintah pusat dan daerah, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif harus melakukan evaluasi menyeluruh serta mengawasi tata kelola dana otsus Aceh. Kedepannya, Pemerintah Aceh harus memprioritaskan kinerja pada upaya penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk mendorong berkembangnya dunia investasi dan wirausaha di Aceh. Pembinaan usaha kecil mikro, membuka akses modal kerja bagi rakyat kecil / home industry merupakan langkah-langkah strategis untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh.
Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa pilkada Aceh 2017 merupakan momentum bagi rakyat untuk lebih selektif dalam menentukan siapa pemimpin yang layak bagi Aceh ke depan. Sebagai penerima dana otsus, Aceh butuh pemimpin yang memiliki “otak khusus” yang mampu mengelola anggaran dengan tepat sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Siapapun gubernur, bupati serta walikota terpilih di Aceh nantinya, memiliki PR utama yaitu pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Dua persoalan tersebut harus menjadi prioritas dalam bentuk pembangunan nyata, jangan hanya sebatas visi, misi, atau program rretorika semata. Sekian, semoga bermanfaat!