Farhan Zuhri, S.Hum (Az-Zuhri)*
Kegugupan sebagian ilmuan dan akademisi terhadap toleransi mulai tanpak dipermukaan. Berdalih menjaga toleransi dalam beragama dengan berbaur malah menghadirkan sebuah wacana baru, wacana itu dicurigai sebagai paham Inklusivisme menuju Pluralisme. Sebagai contoh adalah ketika komunitas Muslim menerima bantuan berupa donasi dari non Muslim dengan jumlah yang besar, karena mempunyai andil yang besar hingga salah memposisikan dan membiarkan mereka bebas untuk keluar masuk dayah (pesantren) hingga mesjid (rumah ibadah Muslim).
Pada contoh yang lain ketika seorang muslim berkunjung kesuatu komunitas non Muslim yang meramaikan kegiatan keagamaan walau tidak dilaksanakan di rumah ibadah seperti gereja, vihara dan lainnya. Bahkan ada Logika yang menyimpang juga lahir ketika ada pernyataan “yang penting bertuhan” perkara cara bertuhan terserah kepada keyakinan dan kultur masing-masing.
Memang secara direct (langsung) contoh ini tidak mengarah kepada Plural, namun yang harus digaris bawahi akar atau asal-muasal plural lahir dari paham Inklusivisme, Paham inklusivisme adalah paham yang menganggap kebenaran tidak hanya terdapat pada kelompok sendiri, melainkan juga ada pada kelompok lain, termasuk komunitas agama. Hal ini berdasarkan pada premis bahwa setiap agama membawa ajaran keselamatan. Setiap agama bertujuan membimbing dan menunjukkan kepada umatnya jalan keselamatan, kebahagiaan yang sebenarnya dan kehidupan yang lebih damai. Karena itu, substansi agama adalah sama, kendati syariat dan ajarannya berbeda. Itu merupakan sunnatullah yang tidak dapat diubah oleh siapapun.
kesepahaman dalam bertindak seperti contoh di atas. Ketika kita telah bercampur baur dalam ritual mereka (non muslim) serta kedangkalan dalam beragama hingga membawa seseorang ke arus jumud.
Di Indonesia pada awal tahun 1990-an muncul jargon “Islam inklusif”. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata serupa dengan model pluralisme.
Dalam Konteks Islam pluralisme telah diharamkan oleh MUI melalui fatwa nomor 7/MUNASVII/MUI/II tahun 2005, yang menyatakan pluralisme haram bersama dengan paham Sekularisme dan Liberlisme atau sering disebut oleh aktivis-aktivis Islam penyakit “SEPILIS”.
Pluralisme perilaku begitu menyimpang dan merupakan paham yang mengajarkan semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu bahwa tidak boleh ada 1 agama apapun yang menganggap agamanya adalah yang paling benar sedangkan agama lain salah.
Islam tidak memaksa
Prof. Yunahar Salah satu Pakar MUI pernah memberi pandangan: Sebagai konsekuensi dari doktrin bahwa Islam satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT maka tentu saja agama agama lain yang dianut dan diyakini oleh sebagian umat manusia ditolak kebenarnnya, bukan keberadaannya.
Keberadaannya tidak ditolak karena Allah tidak mau memaksa manusia untuk memeluk agama Islam. Islam mengajarkan kebebasan memilih agama. Hanya saja jika manusia memilih agama selain Islam, diakhirat nanti mereka termasuk orang-orang yang merugi, seperti firman Allah SWT: “tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam; sesungguhnya telh jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah 256).
*Alumnus Bahasa & Sastra Arab
UIN Ar-Raniry.