Kareng adalah bilis yang dikeringkan. Dulu di Aceh, kareng merupakan salah satu sumber protein laut yang akrab dengan kelas bawah. Namun akhir-akhir ini harganya tak terjangkau kantung rakyat kecil. Tradisi peh asam kareng pun terancam punah.
Kartini (40) meletakkan belanjaannya dengan rada malas. Ia mengeluh semua bahan kebutuhan dapur meningkat tajam. Ikan segar yang menjadi menu wajib bagi kelas menengah di Aceh, kian tak terjangkau. “Habis cara. Dengan kondisi seperti ini, Abu Nawas pun akan kehabisan akal cerdiknya,” ujar Kartini, Rabu (18/1/2017).
Lain lagi kisah Maryana. Perempuan beranak dua dan menetap di Peusangan, dipusingkan dengan naiknya harga kareng. Satu ons 15.000 rupiah. Setara harga ikan segar di musim normal. Harga perkilogramnya 150.000 rupiah atau setara harga ikan kelas atas pada situasi normal. Ia yang biasanya menyiasati menu makan keluarga dengan tambahan asam kareng, harus kelimpungan mencari alternatif lain.
“Bisa sih diganti dengan terasi. Tapi efek negatifnya luar biasa. Terasi merupakan ancaman nyata bagi gigi. Pajoh teurasi, saket igo keumong gusi,” ujarnya sembari tertawa.
Dalam khazanah Aceh, kareng merupakan ikan kering yang dulu menjadi hidangan istimewa. Kareng sedap disambal, dipeuleumak, diphep, dan lain sebagainya. Bahkan, bagi masyarakat Aceh yang tinggal di kawasan perladangan, kareng seringkali diramu bersama belimbing mentah yang kemudian disebut asam kareng. Biasanya, kuliner ini disajikan pada siang hari.
Bagi generasi Aceh, khususnya laki-laki, kareng juga telah menjadi menu wajib kala mereka sedang dalam proses penyembuhan khittan. Kareng yang hanya digonseng kemudian disajikan dengan nasi putih tanpa kuah. Untuk penyedap, ditambahkan sedikit garam.
“Masa penyembuhan khittan atau sunat merupakan masa diet yang paling disiplin bagi lelaki kampung. Alasannya karena kareng tidak memiliki efek negatif yang berujung lamanya masa penyembuhan. Ya, menurut orang tua saya, karena kareng tidak memiliki lemak,” kata Isnawi (40) mengenang masa “karantina” sunat.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Husaini (49). Ia ingat ketika dirinya melalui masa penyembuhan khittan. Menu wajibnya kareng gonseng dan nasi putih. “Bayangkan betapa menderitanya menggigit kareng gonseng yang pahit dan kering. Duh, tak ingin saya ulangi masa seperti itu,” kenang Husaini.
Hasil penelusuran aceHTrend, Orang Aceh tempo dulu memang menerapkan diet yang ketat kepada lelaki yang dikhittan dan perempuan melahirkan. Salah satu menu wajib untuk makan untuk mereka adalah kareng teulheu. Alasannya simple:Kareng tak memiliki lemak, sehingga tidak menyebabkan rasa gatal dan pembengkakan pada luka.
Pasca Aceh damai, model diet demikian mulai ditinggalkan karena menurut paramedis, kareng tidak tepat diberikan kepada wanita melahirkan dan lelaki tang disunat. Pun demikian, asam kareng tetap menjadi menu wajib yang setidaknya dibuatkan tiga kali dalam seminggu, atau tergantung keinginan.
“Kini, bagi kelas bawah, menu asam kareng telah menjadi hal mewah. Untuk kelas menengah sudah tak begitu ramah. Bagi kelas atas? Mungkin mereka sudah tak pernah makan asam kareng, sehingga lupa memproteksi pasar,” kata Husaini setengah menyindir.
“Bisa jadi ke depan, bagi rakyat kecil, asam kareng sudah tak pernah lagi dinikmati. Dengan demikian kuliner itupun punah dengan sendirinya,” imbuh Isnawi.[]
Foto: Internet.