Oleh Ismail Angkat*
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) hanya tinggal hitungan beberapa hari lagi. Poster-poster, baliho, selebaran dan sekian banyak atribut kampanye lainnya lagi dari setiap pasangan calon (paslon) yang akan bertarung di pilkada kali ini sudah bertebaran dimana-mana. Tak hanya itu, termasuk juga janji-janji yang di tawarkan seandainya terpilih jadi kepala daerah turut menyeruak dalam atribut kampanye tersebut.
Di antaranya “Menjadi Pemimpin Amanah, “Pemimpin Rakyat Kecil”, “Bantuan Untuk Rakyat Miskin”, “Kesehatan dan Pendidikan Murah dan Gratis”, “Peningkatan Ekonomi Berbasis Kerakyatan”, dan masih banyak lagi janji-janji yang diharapkan dapat membuai rakyat dan para pemilih untuk bisa mencoblosnya di pilkada nanti, janji seperti ini sudah berulang kali ditawarkan dihadapan masyarakat.
Pertanyaannya kemudian, lalu apa yang berbeda dari setiap pilkada tersebut? Karena hampir dari setiap materi dan praktis yang dijalankan, tidak ada ubahnya seperti tahun-tahun sebelumnya. Hasilnya terlihat jelas bahwa setelah pilkada selesai, semua janji yang pernah ditawarkan seolah hilang begitu saja. Pasangan calon terpilih pun seakan amnesia terhadap hal yang pernah ditawarkan. Kembali lagi ujungnya ialah yang miskin tetap miskin, yang sengsara tetap sengsara. Tawaran untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat kecil, seperti petani, nelayan, buruh, dan lainnya, seperti jauh panggang dari api; tidak sesuai kenyataan.
Tentunya ini yang selalu membuat kita bosan dan muak dari setiap perhelatan yang diadakan lima tahunan ini. Karena terus dan terus mengulang hal yang sama. Dan nyaris tidak memberikan perubahan bahkan pendidikan apapun ke masyarakat, selain menanam keyakinan-keyakinan dan kebodohan-kebodohan yang diproduksi ulang, yang dipandang berguna bagi mereka yang memerintahkannya (baca; yang ber-uang).
Masyarakat dibuat persis seperti komoditi yang siap dijualkan. Dan pastinya, kalau ada yang dijual, pasti ada pula yang siap membelinya. Dan paslon itulah yang kemudian berlomba menaikkan daya tawar kepercayaan semu tersebut dengan memaksakan kehendak pemenuhan ekonomi rakyat yang harus ditebus dengan pemenuhan syahwat politik sebagai pasangan calon yang akan dipilih kemudian. Sebuah harga yang mahal dan wajar apabila pasangan terpilih kemudian melupakan semua janjinya. Itu karena imbal balik dari semuanya sesungguhnya sudah selesai dilakukan tatkala pasangan calon memberikan tips yang tak seberapa itu kepada masyarakat saat berlangsungnya kampanye sampai proses pencoblosan. Jadi jangan pernah menanyakan lagi janji yang ditawarkan sebelumnya ketika proses pilkada selesai dilakukan. Dan jangan ditanyakan pula kenapa pasangan terpilih beserta kroni-kroninya berlomba kolusi, korupsi dan nepotisme ketika menjabat. Karena ada hutang budi dan modal yang harus dibayar dan dipulihkan saat proses kampanye tadi berlangsung.
Dari hal inilah kenapa setiap proses pemilihan; Kepala daerah (gubernur, bupati), dikatakan seperti sedang berbisnis di pasar. Semua model dan cara kerjanya sama persis. Hitungannya pun bukanlah idealisme dan edukasi untuk membawa daerah menjadi lebih baik. Hitungan sesungguhnya adalah untung dan rugi, yang artinya seberapa banyak modal yang dikeluarkan, maka harus mampu meraup untung lebih besar lagi.
Ini sama seperti teori ekonomi klasik merkantilisme; dengan modal sekecil-kecilnya, berharap untung sebesar-besarnya. Bedanya kalau bisnis di pasar masih mempertimbangkan keseimbangan neraca nilai jual beli serta keuntungan atau kerugian yang didapat dari pembelian suatu barang. Sedangkan dalam proses pemilihan umum, termasuk pilkada, yang ada dipikiran pasangan calon apabila terpilih ialah harus untung besar terus meskipun harus tekan sana tekan sini, tindas sana tindas sini. Yang penting keuntungan mengalir deras, tidak peduli meskipun kemudian harus menjadi orang pesakitan.
Dan yang tak kalah penting untuk kita ketahui juga tentang bahaya laten proses pilkada dari awal sampai akhir adalah bukan hanya sifat pelupa para pasangan terpilih akan janji manisnya dahulu. Atau kerakusan saat sudah menjadi pejabat daerah. Melainkan dibalik itu semua, ternyata yang jauh lebih berbahaya ialah ketidakingintahuan para orang baik terhadap persoalan-persoalan yang ada. Diamnya orang yang baik tersebut justru bisa menjadi benalu akut (baca; penghinaan terhadap akal sehat) bagi perjuangan dalam mendapatkan pemimpin yang baik. Dan orang baik pasti akan berpijak pada kebenaran dan keadilan. Maka yang penting bagi kita untuk bersekutu dengan kebenaran dan keadilan itu sendiri. Apalagi Aceh Singkil ini sudah melewati proses transisi sepuluh tahun lebih. Seharusnya bisa lebih progresif terhadap pendidikan, pembangunan, ekonomi dan kesejahteraan. Tidak diam saja ketika kebenaran dan keadilan itu dipreteli sedemikian rupa. Karena menurut Martin Luther King bahwa sejarah tetap akan mencatat kalau tragedi terbesar pada masa transisi sosial ini bukanlah pekikan nyaring orang-orang jahat, melainkan kesenyapan mencekam yang ditunjukan oleh orang-orang baik.
Nah, dari situ kita bisa bertanya, mungkinkah mengharap pemimpin yang baik akan terpilih dalam pilkada yang akan diadakan dalam waktu dekat ini? Karena yang hilang dari ingatan daerah kita sekarang adalah ingatan pada proses pencarian terhadap pemimpin yang baik. Dan itulah yang harus jadi tugas kita bersama pada pilkada serentak kali ini. Kalau berharap punya pemimpin yang baik, maka kita harus mengawalinya dengan baik pula.
*Ismail Angkat Putra Aceh Singkil