Terkait Putusan DKPP Nomor 2/DKPP-PKE-VI/2017 yang pada intinya memerintahkan KPU RI agar mengoreksi Surat Keputusan KIP Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 57/Kpts/KIP Kab-001.434543/Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016, dengan demikian DKPP memerintahkan kepada KPUR RI agar membatalkan pencalonan kami.
Maka dengan ini kami nyatakan, bahwa saat ini kami sedang mempelajari posisi hukum kami sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang undangan. Kami menilai bahwa secara hukum serta administrasi hingga saat ini kami masih berstatus sebagai pasangan calon yang sah.
Kami menilai bahwa terhadap Putusan DKPP Nomor 2/DKPP-PKE-VI/2017 tersebut, DKPP telah keliru menilai pengaduan para pengadu dan bahkan melampaui batas kewenangannya (out of authority).
putusan DKPP tersebut sangatlah kontroversial dan menimbulkan berbagai tanda tanya publik. Hal itu disebabkan karena DKPP memberikan sebuah putusan yang tidak hanya memutus pengaduan pelanggaran kode etik namun sudah menyentuh ranah teknis penyelenggaraan tahapan pemilu. Padahal sebenarnya UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan batasan kepada DKPP yang hanya memiliki tugas utama menjaga kode etik penyelenggara pemilu
Termaktub di ketentuan Pasal 111 ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2011 mengatur wewenang DKPP untuk :
Memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan; (b). Memanggil Pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan (c) Memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
DKPP hanya berwenang memberikan sangsi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik sebagai bentuk putusannya terdiri atas teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Hal tersebut diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Bersama KPU,Bawaslu, dan DKPP Nomor 13, 11, dan 1 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, yang menyebutkan :
(1) Penyelenggara Pemilu yang melanggar Kode Etik dikenai sanksi. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara; atau
c. pemberhentian tetap.
Dengan demikian berdasarkan aturan peraturan perundang undangan, tidak ada kewenangan dari DKPP untuk mencampuri tahapan pilkada, terutama proses pencalonan.
Terkait dengan pernyataan dari KIP Aceh, kami akan akan langkah menempuh langkah hukum tim kami sedang mempelajari dan mempersiapkan langkah hukum tersebut. Kami menilai bahwa hukum di negeri ini masih tegak dan dapat dipercaya. Oleh karena itu kejadian yang menimpa kami, dapat kami nyatakan sebagai batu ujian untuk menguji sejauh mana independensi dan profesionalitas hukum di negeri ini. Kami mengimbau kepada pendukung kami untuk menahan diri dan tidak terpancing maupun terprovokasi oleh pihak pihak yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan di Aceh Barat Daya.
Tertanda:
Said Syamsul Bahri-M Nafi Amanaf.