Oleh Hafijal*
15 Februari 2017 pesta demokrasi akan di selenggarakan oleh yang empunya hajatan. masing-masing pihak yang terlibat dan berpartisipasi di dalamnya adu kecepatan mempersiapkan diri sebaik mungkin,bersolek secantik mungkin dan berdandan segagah mungkin, tujuannya adalah agar menjadi pusat perhatian khalayak ramai. Lazim terjadi menjelang pilkada adalah kampanye,kampanye merupakan kesempatan dimana setiap pasangan calon(paslon) untuk mensosialisasikan visi-misi politiknya kepada publik, juga sebagai ajang memobilisasi publik agar memilih dirinya.
Hakikat utama kampanye adalah untuk saling bersilaturrahmi supaya saling mengenal antara kandidat dengan masyarakat(pemilih) dengan semangat mencerdaskan masyarakat, dengan mengajak menggunakan hak pilih berdasarkan hati nurani dan pilihan pribadi bukan memilih karena intimidasi, uang, tergiring opini komunitas, jabatan dan lain sebagainya.
Karena tujuan utama dan jangka panjangnya adalah untuk memberikan pendidikan politik sehingga dengan demikian diharapkan masyarakat tidak anti dengan yang namanya politik. Walaupun faktanya tidak demikian, karena dalam prakteknya kita masih melihat kampanye hanya dilaksankan sebagai ajang promosi pribadi dan ajang tebar janji yang tidak masuk akal.
Malahan di lapangan yang sering terjadi adalah tindakan saling jelek menjelekkan,hujat menghujat, dan membuka aib/kejelekan pasangan lain yang bertujuan untuk melemahkan pasangan lain, ada beberapa pengelompokan istilah yang sering kita dengar ketika orator menyampaikan orasinya, dan ketika politisi menebar rayuan dan janji-janji politiknya tatkala berkampanye seperti (teumeunak,seumulet,seurapa, dan seumeulot), adalah beberapa klasifikasi yang digunakan oleh orator dalam menyampaikan orasinya, dan oleh politisi kita dalam berpolitik.
Ketika masa kampanye juga subur tumbuhnya kelas-kelas sosial ataupun kelompok-kelompok fanatisme terhadap salahsatu kandidat(tim sukses/tim pemenangan/relawan/simpatisan). Sehingga dalam pergaulan sehari-hari ketika berkomunikasi tak jarang mendiskriminasi dan menyudutkan yang tidak sepaham alias tidak sepandangan dalam mendukung kandidat tertentu yang berimbas pada terciptanya jurang pemisah antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Tak jarang hal demikian juga berimbas dalam satu kaluarga yang tidak sejalan pandangan politiknya. Seharusnya perbedaan pilihan bukan alasan menciptakan jurang pemisah karena sejatinya perbedaan adalah rahmat, dimana dari perbedaan itulah lahir semangat untuk saling melengkapi satu sama lain sehingga hubungan persaudaraan antar sesama tetap harmonis.
Sangat ironi rasanya melihat Karakteristik politik meuawak-awak,meunomboi-nomboi dan meuwarna-warna ketika pilkada. Karena lazim terjadi komunikasi dan silaturahmi hanya akan terajut dan terjalin mesra dengan sesama awak,sesama nomboi dan sesama warna, sedangkan selebihnya dianggap orang lain, hal demikian barangkali berangkat dari filosofi “menyoe koen ie leuhop,menyoe koen tanyoe goeb” (kalau bukan air lumpur,kalau bukan kita orang lain).
Perbuatan meletakkan seseorang di posisi leuhop/lumpur sudah menjadi hal lumrah yang terjadi dari pilkada ke pilkada, dengan tindakan demikian akan berkembang anggapan kita lebih baik dari orang lain, karena ketika kita meletakkan seseorang di posisi leuhop maka secara tidak langsung kita sudah mengatakan diri kita air, yang mana air lebih bersih dari leuhop, pesan demikian rasanya akan mudah tersampaikan kepikiran orang lain karena kata-kata menyoe koen ie leuhop, sehinngga hal tersebutlah yang menyebabkan lahirnya fanatisme berlebihan tanpa pertimbangan benar dan salah, baik dan buruk,fakta ataupun retorika. Karena tak jarang ketika fanatisme berlebihan cenderung akan mengarah ke hal-hal membenarkan yang salah sejauh itu menguntungkan dan menarik minat orang lain.
Pada akhirnya di sisa tahapan masa kampanye yang akan habis pada 11 februari 2017, sejatinya pasangan calon harus memanfaatkannya dengan baik, efektif dan seefesien mungkin,berusaha meraih hati masyarakat dengan kejujuran bukan dengan kebohongan bukan juga dengan menghujat,memaki dan menjelekkan pasangan calon lain. Ataupun dengan membanggakan diri sendiri sebagai yang terbaik dan yang paling pantas menang berkuasa dan memimpin, sudah sepantasnya model kampanye demikian ditinggalkan karena tidak memberi manfaat dan pencerdasan kepada masyarakat dalam berpolitik Biarkan masyarakat yang menilai pantas atau tidaknya, pesan kepada politisi yang maju di pilkada aceh 2017 “majulah tanpa menyingkirkan orang lain dan naiklah tinggi tanpa menjatuhkan orang lain” demi masa depan yang lebih baik.pesan kepada timses/tim pemenangan/simpatisan/relawan.
“bek politik meuawak-awak,menomboi-nomboi,dan meuwarna-warna,tetap meukupi saboeh meja walau hana saboeh warna dan hana sama nomboi yang neu top/pileh ni bak uroe H.
*Mahasiswa Ilmu Politik,Fisip,UIN Ar-Raniry. Ketum:koalisi mahasiswa politik aceh(KMPA)