Penulis: Firdaus Yusuf*
SAYA menulis tulisan ini di sebuah rumah panggung sederhana di Kecamatan Mutiara, Pidie. Di belakang rumah panggung ini, ada sebuah jalan setapak yang dilalui warga kampung yang hendak pergi ke sawah. Di sisi kiri dan kanan jalan setapak tersebut, ada begitu banyak pohon melinjo. Kau harus berusaha melongok ke atas dengan susah payah jika hendak melihat awan yang bergerak di atas sana, sebab dedaunan dan cabang-cabang pohon menutupi pandanganmu.
Agak sedikit ke depan, ada anak sungai yang sunyi. Hanya ada lumpur, dedaunan kering, dan ranting-ranting pohon di dalam sana. Di sebelah kirinya, ada “pintu gerbang persawahan”: potongan bambu yang disusukkan ke sebuah tiang yang juga terbuat dari bambu. Dulu, ketika masih kecil, saya suka menghabiskan senja di sana seraya melihat nyiur, bangau, dan bukit barisan. Di tengah-tengah persawahan itu ada sebuah ladang.
Saya kerap membanyangkan, ladang itu umpama sebuah pulau yang asing. Agak jauh ke depan, ada gundukan tanah yang besar. Di sana, dulu, saya kerap menjadikan gundukan tanah itu laiknya sebuah perosotan.
Pada suatu sore, bertahun-tahun silam, saat saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Nenek, dengan langkah yang tergopoh-gopoh, memanggil nama saya dengan suara yang parau.
Saya sedang duduk di atas cabang pohon sambil melihat ke bawah ketika Nenek berdiri di bawah dengan berkacak pinggang. Kala itu, saya sedang melihat pemandangan.
“Pulang,” kata Nenek, setengah berteriak. Ia membuyarkan lamunan saya tentang cita-cita saya: sebuah rumah pohon yang suatu hari nanti akan saya bangun. “Capek dicari, di sini kau rupanya. Kontak senjata tadi. Pulang!”
Mendengar kata-kata Nenek, saya mengangguk dan turun seketika itu juga.
Simon Bolivar
HARI INI, saya mengenang kembali peristiwa itu dan mencoba memberi makna padanya. Tulisan ini saya biarkan mengalir begitu saja. Biar “ia” meracau ke mana-mana.
Saya pernah membaca cerita tentang Simon Bolivar, pembebas Amerika Selatan dari penjajahan Spanyol. Cerita itu ditulis oleh seorang sastrawan cum jurnalis Kolombia, Gabriel Garcia Marquez. Menghindari racauan yang kosong, saya mencoba untuk tidak mengulas sosok Gabriel Garcia Marquez dan Simon Bolivar secara berlebihan agar pesan yang hendak saya sampaikan melalui tulisan ini tidak melebar dan tidak lepas dari konteks.
Simon Bolivar mendapati hari tuanya dengan kegagalan menyatukan Amerika Selatan setelah ia dengan susah-payah membebaskannya dari “cengkraman” Kerajaan Spanyol. Hal itu terjadi bukan dengan tindakan jenderal-jenderal kecil—mereka yang lebih mementingkan jabatan daripada kepentingan nasional—yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah lewat jalur perseorangan atau menjadi “sarung tangan pusat”, melainkan, nafsu pribadi itu dilampiaskan dengan perang saudara yang berdarah-darah. Venezuela, Panama, Ekuador, Bolivia, Kolombia, dan Peru.
Narator dalam cerita itu—penutur dengan sudut pandang orang ketiga terbatas—mengetengahkan salah satu isi pikiran Simon Bolivar tentang perebutan kekuasaan:
“Tetapi, selama malam-malam kelam di Soledad, ia mengingatkan Urdeta dalam sebuah surat yang buruk bahwa perang saudara selalu dimenangkan oleh pihak yang paling kejam.” (hal. 230 Sang Jenderal dalam Labirinnya, Penerbit Jalasutra).
Sebuah kesimpulan sekaligus sebuah pertanyaan kritis, yang meskipun masih prematur, bisa kita tarik dan kita ketengahkan untuk konteks Aceh hari ini: adakah manusia yang lebih kejam dari seseorang yang telah membangun rumah, memiliki mobil pribadi, mobil dum truk, mobil perontok padi, pernah dimenangkan sebagai gubernur Aceh, atas jasa Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA), namun, karena nafsu pribadi justru—ada yang mungkin dengan sadar dan yang tidak sepenuhnya sadar— rela “dipakai” untuk menghancurkan PA dari dalam dan/atau dari luar. Politik lama digunakan untuk mencapai hal itu (masih saja relevan hingga saat ini):politik pecah-belah.
Aceh
Adalah satu kesalahan, jika kita “membaca” Aceh hanya lewat data statistik BPS baru-baru ini, lalu dengan terburu-buru kita membandingkannya dengan provinsi lain. Kita juga seyognya harus mengetahui pula, bahwa saat Palembang atau Surabaya tengah merumuskan program-program pembangunan provinsi, tidak ada tragedi Cot Pulot Jeumpa di tahun 1955, tidak ada DOM beserta tragedi Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Beutong Ateuh di sana, sehingga apa yang kita sebut dengan “pembangunan” bisa berjalan dengan lancar.
Pun demikian, apakah hanya tentang data statistik yang rigid-rigid itukah, yang menjadi alasan utama pemberontakan Aceh terhadap Jakarta? Rasa-rasanya bukan hanya sekedar itu. Harkat, martabat, dan sejarah panjang, yang kemudian mengguncang kesadaran kritis masyarakat Aceh untuk kemudian menuntut hak-haknya pada Pemerintah RI.
Kewenangan untuk memerintah sendiri adalah salah satu buah dari pemberontakkan tersebut. Lalu, mengapa kita memilih untuk membawa Aceh mundur—secara politik— jauh dan jauh lebih mundur dari Zaman Perang Aceh-Belanda, DI/TII, dan konflik bersenjata dulu?
Di lain sisi, apakah adil melimpahkan kesalahan seluruh rezim penguasa sebelumnya ke pada Aceh pasca-2005? 16 tahun pasca-MoU Helsinki untuk memperbaiki tatanan sosial yang dirusak rezim Orde Baru selama 30 tahun lebih berkuasa, dan segala kehancuran yang disebabkan perang yang bekerpanjangan, bukanlah waktu yang cukup untuk memenuhi seluruh keinginan praktis kita.
Kita mesti bertolak pada potensi dan peluang yang ada. Sekali lagi, patut kita garis bawahi: yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di Aceh adalah Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Berikut ini gambaran, sekilas-pintas, ihwal kewenangan Pemerintah Aceh menurut MoU Helsinki:
Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Dan Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Persetujuan-persetujuan internasional terkait Aceh berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
Keputusan DPR RI terkait Aceh dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. Lalu, Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil pemerintah terkait Aceh dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
Selanjutnya, pembentukan lembaga Wali Nanggroe dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Pendirian partai politik lokal di Aceh. Pemilihan lokal yang bebas dan adil untuk memilih kepala pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya, serta anggota legislatif Aceh. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah.
Aceh memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara di wilayah Aceh. Dan, pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Guna menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) akan dibentuk sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (http://www.suduthukum.com, diakses pada 27 Januari 2017).
Partai Aceh
Partai Aceh mengandung “konotasi” Bangsa Aceh. Dan, sebagaimana disebutkan oleh Carlton Clymer Rodee dkk, “… bangsa lebih besar daripada negara.”
Para guru besar ilmu politik University of Southern California itu menuliskan, “Kita mengetahui bahwa Negara terdiri dari institusi-institusi formal yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan manusia…”
Sebagaimana kita ketahui bersama, sejarah Indonesia sebagai sebuah negara tidak lebih panjang dari sejarah bangsa dan kerajaan Aceh sendiri. Otto Syamsuddin Ishak, dalam bukunya Aceh Pasca-Konflik Kontestasi Tiga Varian Nasionalisme, secara implisit menyebutkan bahwa Partai Aceh adalah wadah para anggota GAM untuk menstansformasikan diri dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik.
“Awal kontestasi antara pihak GAM, yang kemudian disebut varian keacehan dengan Pemerintah yang merepresentasikan varian keindonesiaan, di pasca-konflik adalah pembentukan partai politik lokal… Hal-hal yang menjadi isu utama dalam kontestasi tersebut, antara lain, penggunaan nama dan lambang-lambang partai yang masih terkait dengan GAM, atau yang disebut oleh pihak pemerintah masih berhubungan dengan gerakan perlawanan atau separatis bersenjata,” tulis Otto, menyinggung penggalan latarbelakang dan sejarah berdirinya PA yang diwarnai pelbagai protes dari pusat.
Aceh adalah sebuah ingatan bersama. Aceh adalah tentang kejayaan-kejayaan di masa silam: kerajaan Aceh yang mashyur dan berdaulat. Apakah kita tetap menyangkal, bahwa Partai Aceh (dengan anggota terbanyak di parlemen) mempunyai karakteristik kedaulatan, yakni memiliki otoritas untuk membuat undang-undang dan melaksanakan undang-undang? Lantas mengapa kita hendak percaya pada satu-satu individu dan sarung tangan pusat, atas nama “pembangunan” dan “kesejahteraan” yang semu dan abstrak, yang hendak mengerdilkan Aceh menjadi lebih kecil dari sejarah panjangnya sendiri?
Mengapa kita tidak melihat satu kemenangan, bahwa kita sendiri telah memiliki otoritas untuk membuat dan melaksanakan undang-undang; memiliki otoritas untuk membentuk institusi-institusi formal guna memenuhi kebutuhan kita sendiri tanpa campur-tangan berlebihan dari pusat?
Teks tentang Aceh haruslah kita baca dengan sebuah sikap kritis agar kita tidak membiarkan diri kita sendiri menjadi, sebagaimana dituliskan oleh salah seorang filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, “Aku dimiliki oleh Yang Lain; pandangan Yang Lain membungkus tubuhku dalam ketelanjangannya, menyebabkan ia dilahirkan, mengukirnya, memproduksinya seperti adanya kini; melihatnya dengan cara yang tak pernah kubayangkan untuk melihatnya. Yang Lain memegang sebuah rahasia—rahasia tentang (si) apa aku sebenarnya.”
Penulis adalah warga Kota Sigli.