Jamri M. Suid*
Hal unik dengan judul yang menarik melihat kondisi Aceh yang sangat disayangkan ini, orang berlomba-lomba untuk bisa kuliah tanpa peduli biaya yang besar dengan pendapatan yang kecil. Bagi keluarga terkhusus orang tua rela bekerja apa saja yang terpenting anaknya bertitel sarjana.
Pernahkah terpikirkan selesai kuliah ke mana tujuannya dengan kondisi negeri kita yang susah dapat pekerjaan? Seharus nya menjadi sebuah motivasi, titel bukan satu-satunya membawa masa depan yang cemerlang dan juga bukan satu-satunya kebanggaan yang selalu kita dambakan. Bahkan kadang-kadang titel membawa kepada keegoisan yang membuat dirinya sulit dapatkan pekerjaan.
Hal yang lumrah di negeri ini mayoritas kuliah tujuan dapat gaji dari pemerintah. Maka kali ini penulis ingi mengajak kita semua, khusus mahasiswa untuk tidak terlalu ambisius menjadi PNS ketika studi selesai. Caranya? Ciptakan peluang-peluang kreatif yang berpotensi melahirkan pendapatan.
Banyak mahasiswa berhasil karena sambil kuliah ia memulai bisnis. Mulai dari pedagang kaki lima hingga ia berhasil membuka restoran, dari reseller kaos produk orang hingga ia bisa punya distro milik sendiri. Serta banyak jenis usaha lainnya, menjadikan wirausaha bagian dari kehidupan belajar bekerja untuk diri sendiri. Apalagi tujuan dasar kuliah adalah mempersiapkan diri untuk mendapatkan kerja, swa bisnis merupakan salah satu jalan menuju menjadi individu yang merdeka secara keuangan.
Dalam konteks ini alangkah bagusnya pihak perguruan tinggi membuat program yang bisa menstimulasi tumbuhnya anak bangsa dari kalangan kampus untuk berwirausaha. Sebut saja seperti memberikan permodalan start-up bussines dan pemahaman yang mampu mewujudkan embrio wirausahawan baru dari kampus. Atau memberikan Beasiswa wirausaha mandiri kepada mahasiswa untuk memudahkan kreativitas mereka.
Dengan demikian akan muncul nilai-nilai positif misal mampu mengaplikasikan tindakan praktis yang tidak terjebak dengan teoritis saja, menghasilkan pikiran yang lebih kreatif atas pengalaman yang didapatkan ketika bekerja. Terciptanya jiwa profesionalisme, meningkatkan soft-kill karena langsung terlibat dalam dunia kerja dan yang terpenting bisa menyesuaikan kurikulum pada usaha yang lebih aplikatif sehingga bisa mempererat dunia akademis dengan dunia usaha.
Salah satu persoalan yang krusial adalah mengenai peluang kerja. Tingkat permintaan tenaga kerja lebih besar dari lowonga yang ada. Ini permasalahan harus dihayati dengan semaksimal mungkin supaya ke depan ada perubahan yang lebih baik.
Aceh yang sejauh ini angka pengangguran semakin meningkat, bulan Februari 2016 kemarin saja Aceh menduduki peringkat tertinggi setelah Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Jawa Barat yang dikutip dari data Badan Pusat Statistik (serambi,26/9/16).
Maka terkait ini timbul satu pertanyaan “sarjana yang diraih, apa bagian dari solusi atau bagian masalah baru bagi negeri ini dalam bidang ketenagakerjaan?” Sudah tentu jawaban, kita adalah solusi permasalahan bagi negeri ini. Namun kenyataannya malah menimbulkan beban baru bagi pemerintahan.
Kita sadari negeri kita bukan seperti Finlandia yang pengangguran diberi gaji Rp 7,8 juta per bulan (serambi,3/1/17). Kita hidup di negeti antah berantah, yang kian timpang. Walau kita memiliki SDA yang kaya, namun belum memiliki keberanian untuk mengelolanya. Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa, keberanian berspekulasi lahir dari pembangunan karakter dan mental yang dimulai dari unit bisnis kecil-kecilan.
*Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan chef DonerKebab di Darussalam.