Usai kenduri politik (2017) rakyat Aceh disuguhi Quick Count Discount yang sumbernya tak jelas. Menambahkan kata Discount dibelakang Quick Count dikarenakan apa yang dilakukan lembaga atau kelompok terorganisir atas hasil pilkada ada indikasi potongan harga atau tidak sesuai dengan harga atau nilai yang sebenarnya.
Selain perlu dipertanyakan secara empirik, hasil Quick Count harus disikapi dengan kemerdekaan berpikir bagi kita yang mendapat suguhan itu. Bila kita memiliki kemerdekaan berpikir maka dengan sendirinya kitapun akan menjadi pribadi yang merdeka. Pribadi-pribadi yang merdeka akan membentuk komunitas merdeka dan selanjutnya Aceh pun merdeka.
Usai kenduri politik juga terdengar sayup kabar akan keluar negeri salah seorang kandidat yang kalah. Kabarnya menuju Swedia, sebuah negara yang dibandaranya tertulis Stockholm is a State of Minds. Mengapa State of Minds, bukan State of Power sebagaimana kebanyakan negara-negara diatas muka bumi ini.
Menjadi state of power ternyata harus dimulai dengan state of minds, sebuah negara yang menjadikan pendidikan sebagai panglima. Pendidikanlah yang akan memberi instruksi kemana sebuah bangsa akan melangkah. Visi sebuah bangsa seperti Aceh diarahkan oleh pendidikan, Aceh memiliki pemikir-pemikir visioner, reflektif, efektif, taktis dan empirik.
Tokoh seperti Muhammad Hasan Tiro adalah contoh dari produk pendidikan, nah Aceh dikemudian hari menjadi teritori yang sadar akan hak-hak terabaikan oleh ketamakan pemimpin politik maupun militer dari negara induk (Indonesia). Tokoh pemikir seperti Hasan Tiro mampu menciptakan peluang perlawanan, menghasilkan state of power. Belum ada Propinsi lain di Indonesia yang memiliki level sederajat dengan pusat pemerintahan dan dijembatani pihak luar negeri dalam melakukan perjanjian damai.
Konon lagi bila Aceh kemudian memiliki lebih banyak tokoh pemikir yang progressif dan idealis seperti beliau, tentu saja Aceh akan menjadi state of minds. Ketika itu Aceh menjadikan pendidikan sebagai panglima, ruang bagi kaum terdidik dan peneliti diperbesar, kaum bangsawan di Aceh adalah mereka yang terdidik. Kita boleh membuka lembaran sejarah state of power diatas muka bumi ini, selalu ada seseorang atau sekelompok orang cerdas yang menjadi pengarah langkah taktis dan strategis.
Harapan Aceh menjadi state of minds sehingga melahirkan state of power bukanlah mustahil. Aceh dengan segala daya yang dimiliki akan mampu melakukan itu, tinggal bagaimana seluruh komponen memiliki saboh pakat menjadikan pendidikan sebagai panglima. Pendidikan harus menjadi ruang terbersih, paling diurus, paling banyak mendapat asupan gizi. Masa kampanye kenduri politik kemarin nyaris tak ada yang tak bicara politik, bayangkan bila kemudian energi kita diarahkan pada pendidikan generasi.
Kalau pada masa kampanye kita begitu mudah mengeluarkan uang, pikiran, harta, dan semangat untuk politik, mengapa untuk memanusiakan manusia, membentuk karakter generasi, memajukan peradaban, kita masih enggan? Andai saja kita patuh pada panglima kita (baca; pendidikan), kita serius memajukan pendidikan kita, bahkan kita rela mengeluarkan harta dan uang pribadi untuk pendidikan, maka Aceh menjadi state of minds dan diikuti dengan kelahiran state of power tinggal dalam hitungan hari saja.
Anak usia sekolah tak lagi menjadi pengemis jalan, mereka mau dan mampu melahab ilmu bak melahab makanan kesukaan. Kitab Islam dan buku-buku kontemporer dikonsumsi tanpa batas, sekolah dan Universitas menjadi tempat idola baik bagi rakyat Aceh maupun pengunjung. Tradisi diskusi empiris dilakukan layaknya hobi personal, koruptor dianggap penista agama, yang berprestasi diberi ruang lebih, anggaran penelitian ditingkatkan, pemimpinnya selalu meminta masukan dari institusi pendidikan.
Inilah jalan dan saat yang tepat bagi kita ucapkan salam panglima, salam untuk panglima yang kita taati, panglima yang mampu mengubah wajah Aceh, panglima yang selalu memberi solusi atas permasalahan dunia dan akhirat, panglima sejati kita semua yang selama ini terabaikan, yaitu pendidikan.