Lawatan Raja Salman ke Indonesia seolah mampu menyihir semua khalayak tanpa kecuali. Penulis yang tiba dihari sama dengan Raja Salman di Jakarta merasakan atmosfer kehadirannya memang mengundang decak kagum, terutama tentang harta dan uang yang miliki Raja serta pangeran.
Tulisan dimedia online dan cetak maupun melalui WA kebanyakan cerita soal itu, menyoal bantuan dan investasi Raja di Indonesia. Selain itu ada pula kisah ketampanan para pangeran yang hadir namun tetap harta mereka yang menjadi fokus. Inilah realitas bagaimana uang mampu membuat kita subjektif dalam menilai tujuan kehadiran Raja kaya harta tersebut.
Tak peduli berapa Riyal yang akan disumbangkan Raja tersebut, tak peduli sebesar apapun investasi yang katanya akan membantu perekonomian Indonesia, saya memiliki pandangan berbeda atas hadirnya Raja ke Indonesia. Mengapa? apakah saya anti-arab, atau saya anti-Islam, tidak dan bukan itu dasar tulisan singkat ini.
Pertama sekali mari kita bicara fakta sejarah, disana kita akan bertemu dengan rasa kecewa mendalam ketika faktanya Saudi Arabia dan Rajanya harusnya punya peran lebih dalam menyelematkan anak-anak Palestina bila memang dasar mereka aqidah membantu sesama seperti yang dikabarkan di media tujuan mereka kemari. Harusnya Palestina tidak seperti hari ini, toh bicara kebutuhan mereka lebih butuh dibandingkan Indonesia.
Kedua terkait korban mina dan keluarganya yang sampai hari belum terselesaikan, kita lupa itu dan kemudian mengagungkan Raja dan kekayaannya. Janji Raja yang akan menghajikan keluarga juga belum dipenuhi sehingga ajang unjuk kekayaan tak pantas dilakukan di negeri yang menjadi korban peristiwa itu. Ketiga terkait kunjungan ke Bali, kita harus cermat bahwa itu bukan kunjungan biasa, disana ada properti Donald Trumph yang luar biasa. Ada indikasi kunjungan lebih kepada kunjungan bisnis kaum kapitalis apalagi ditandai dengan dua fakta sejarah tadi.
Pandangan penulis bukan anti-arab apalagi Islam, toh mereka yang anti arab dan Islam hari ini bermesraan dengan Raja, menjual senyum guna mendapatkan Riyal. Prilaku Raja juga tidak mencerminkan kesederhanaan sebagaimana dicontohkan Rasul dan sahabat, staf serta biaya kunjungan terkesan mubazir. Bayangkan berapa yatim dan janda miskin bisa tertolong bila uang tersebut disedeqahkan, berapa banyak anak-anak di Palestina yang dapat tersenyum apabila Raja dan pangeran mau mengambil mereka dari daerah konflik dan menyekolahkan mereka.
Bagi saya kunjungan Raja dan Pangeran merupakan simbol kapitalisme yang sudah mengakar hingga ke kalangan yang sangat dekat dengan Mekkah dan Madinah. Menjadi tak aneh bila kemudian kita saksikan adanya kesenjangan sosial diantara negara-negara Arab, lalu masih banggakah kita dengan kehadiran si kaya yang tak peduli Palestina dan negara berpenduduk muslim? menurut pandangan saya yang subjektif, kunjungan Raja Salman lebih kepada kunjungan bisnis yang tak jauh beda dengan negara kapitalis barat dan Asia lainnya. Tentu setiap kita bebas menilai, dan penilaian saya mungkin salah namun penilaian and pun belum tentu benar. []