PROSES pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe (KEKAL) cukup menguras waktu dan diperkeruh dengan di terbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe pada 17 Februari 2017. Di satu sisi proses penentuan konsorsiumnya (pada masa Plt. Gubernur) telah ditentukan yaitu PT Pertamina yang merupakan pengusul menjadi pemimpin konsorsium yang terdiri dari 3 BUMN dan 1 BUMD, disisi lain Pemerintah Aceh ingin mengembalikan ketentuan sebelumnya dengan Pemerintah Aceh sebagai pengusul sesuai kesepakatan dari hasil rapat terbatas tanggal 7 Agustus 2015 bersama Presiden Joko Widodo dan Pemerintah Aceh yang pada saat itu Gubernur Zaini masih belum nonaktif untuk mengikuti pilkada.
Pasalnya dalam ketentuan MoU yang telah ditanda tangani 3 BUMN (PT Pertamina, PT Pelindo I dan PT PIM) dan 1 BUMD (PDPA), saham Pemerintah Aceh yang diwakili PDPA selaku pihak yang telah disetujui untuk diberikan hak kelolanya sebesar 25 persen dimana partisipasi kepemilikan sahamnya berbentuk setoran modal yang bersumber dari APBA. Sebagian pihak yang berpolemik mendukung KEKAL untuk cepat direalisasi untuk meningkatkan partumbuhan ekonomi meskipun “pusat” sebagai “penggeraknya”. Hal ini tentu akan mempercepat terlihatnya hasil dari pengoperasionalan KEKAL yang diprediksi dapat menyerap tenaga kerja baru mencapai 200.000 orang. Sedangkan sebagian pihak lainnya menganggap isi PP tersebut melemahkan posisi Pemerintah Aceh dalam mendapatkan hak KEKAL. Pandangannya yaitu sudah seharusnya Aceh diuntungkan dengan porsi kepemilikan saham yang lebih besar melalui PDPA dan keberadaan BUMN hanya sebagai mitra strategis. Yang pada awalnya menurut pihak tim Pemerintah Aceh, untuk membangun KEK di Aceh tidak sebesar kebutuhan KEK di daerah lain. KEKAL memiliki 90 persen infrastruktur dasar yang dibutuhkan. Hasil proyeksi mereka menunjukan bahwa biaya investasi yang dikeluarkan oleh pengelola KEKAL untuk tiga tahun pertama hanya sebesar Rp 171 miliar. Dengan struktur pembiayaan 70 persen berasal dari pinjaman dan 30 persen dari ekuitas, maka dana yang perlu dikeluarkan mitra strategis hanya sekitar Rp 51 miliar. Pun menurut Gubernur KEK merupakan bisnis cashcow karena, sebelum KEKAL beroperasi calon penyewa telah beroperasi seperti PLN dan PAG (sumber : berbagai media, 2017).
Saat ini salah satu titik berat negosiasinya adalah bagaimana Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dan Pemerintah Kota Lhokseumawe (sebut saja ketiganya Pemerintah Aceh) memperoleh saham 51 persen tanpa penyertaan modal melainkan dengan goodwill. Goodwill yang dimaksud disini dapat diartikan nilai potensi ekonomi, yang keuntungan berlebihnya akan didapat di masa depan. Potensi ekonomi merupakan sebuah keunggulan dalam investasi sebuah proyek.
Namun, goodwill yang ingin dinilai sebesar 51 persen saham Badan Usaha KEKAL tersebut merupakan angka yang sangat besar bila Pemerintah Aceh tidak mampu menjelaskan posisinya sebagai entitas yang layak dan memiliki keunggulan yang sangat besar pula dalam proyek KEKAL kepada Pemerintah Pusat. Karena, seandainya hal ini bisa terealisasi, BUMN yang tergabung didalam konsorsium akan menggelontorkan dana lebih besar untuk Badan Usaha KEKAL, dibandingkan dengan jika direalisasikannya MoU hasil ketentuan PP Nomor 5 Tahun 2017. Dan, jika goodwill dalam posisi dianggap terlalu berlebih maka yang berlebih tersebut akan dihitung sebagai beban oleh penyertaan modal BUMN. Potensi ekonomi yang kemungkinan melampaui nilai sebenarnya ini tentunya dapat mengurangi return on investment (ROI) ketiga BUMN yang tergabung dalam konsorsium, sehingga menjadi pertimbangan besar bagi mereka karena akan mempengaruhi nilai perusahaannya kedepan. Hal ini menjelaskan meskipun BUMN juga berperan memberikan manfaat untuk rakyat, namun juga tidak menghilangkan fungsinya sebagai lembaga pencari profit yang tentunya memiliki posisi tawar (bargaining power) tertentu.
Jika sesuai dengan scenario MoU hasil PP no.5 Tahun 2017 saat ini, maka proses pembangunan KEKAL tentunya akan cepat berjalan mengingat Pemerintah Pusat tentu sudah siap dengan segala sumber dayanya. Namun Pemerintah Aceh tentunya akan mendapatkan pembagian dividen yang lebih rendah daripada menurut skenario Gubernur Aceh saat ini, dimana penyertaan modal melalui PDPA harus dilakukan oleh pemerintah Aceh sebesar 25 %, dengan menguras APBA. Belum lagi permasalahan pihak pengelola yang belum ditentukan dalam PP tersebut. Sedangkan jika skenario Gubernur Aceh saat ini berjalan, Pemerintah Aceh menggunakan goodwill kawasan tersebut sebagai pengganti saham 51 % untuk Badan Usaha KEKAL, tentunya akan berdampak pada pembagian dividen yang jauh lebih besar dan dapat menjadi pendapatan Aceh yang berkesinambungan kedepannya. Namun tentunya goodwill tersebut harus bisa meyakinkan pemerintah pusat sehingga memaksa BUMN menggelontorkan modal yang cukup besar dan tentunya keuntungan BUMN akan lebih kecil dari dijalannya scenario MoU hasil PP no.5 Tahun 2017, dan memperlemah pendapatan Nasional.
Negoisiasi KEKAL ini memang bukan hanya berfikir untuk keuntungan dan kerugian secara bisnis saja, namun nilai akhirnya harus berdampak pada society. Pada proses negosiasi, tentu yang dikedepankan adalah nilai tawar dari masing-masing pihak, tidak hanya masing-masing perusahaan yang mencari keuntungan, bahkan Pemerintah yang mempertaruhkan kesejahteraan rakyatnya. Pada posisi nilai tawar Pemerintah Pusat sangat tinggi tentunya MoU yang telah ditandatangani akan dijalankan sementara jika posisi nilai tawar Pemerintah Aceh sangat tinggi tentunya saham 51 % akan diperoleh melalui goodwill. Namun ketakutannya jika salah satu keputusan tersebut berhasil, tentunya akan ada keputusan yang dianggap tidak berhasil yang akan menimbulkan dampak negatif (atau yang dianggap negatif) yang sangat besar, yang akan berimplikasi pada aspek ekonomi hingga sosial.
Selain kedua opsi tersebut, kemungkinannya ada juga posisi yang bisa disepakati dimana posisi Pemerintah Pusat memiliki nilai tawar yang sedikit lebih rendah dari Pemerintah Aceh. Posisinya adalah mengkondisikan dimana MoU hasil dari PP Nomor 5 Tahun 2017 tersebut bisa menyepakati adanya “peralihan” saham ketika KEKAL itu sudah beroperasi dan menghasilkan keuntungan pada titik waktu tertentu bagi BUMN konsorsium dengan proses yang akan ditentukan segera. Dalam hal ini posisi BUMN adalah sebagai pemilik modal sementara untuk mengungkit proses pembangunan saja, meskipun ada fase dimana mereka dapat meraih keuntungan yang layak tentu dibatasi waktu sesuai kesepakatan porsi peralihan saham. Posisi ini tentunya harus dinegosiasikan kembali bagaimana mengalihkan kepemilikan saham yang nanti tentunya harga sahamnya sudah tinggi ketika Badan Usaha KEKAL itu sudah maju, dan bisa dengan tehnik hedging (kunci nilai) dengan kesepakatan pendukung lainnya, atau bahkan bisa dengan kesepakatan lainnya, melalui proses pengkajian.
Ada juga posisi dimana Pemerintah Aceh memiliki nilai tawar yang sedikit lebih rendah dari Pemerintah Pusat, dimana Pemerintah Aceh harus rela mengurangi nilai goodwillnya untuk dikonversi ke saham untuk kurang dari 51 persen. Hal ini tentu tentu akan mempengaruhi pembagian dividen. Namun jika tetap ingin mempertahankan pada posisi 51 % saham, tentunya goodwill harus ditambahkan dengan penyertaan modal dari APBA hingga tetap mendapati 51 % saham. Dengan begini bisa jadi akan mendapati keuntungan yang juga besar kedepannya dan dapat menjadi pendapatan daerah yang berkesinambungan.
Selain komposisi kesepakatan diatas tentu kemungkinan ada komposisi lainnya mengingat banyaknya kondisi dan situasi yang berkembang. Tentu kekhususan Aceh akan dimasukkan dalam pertimbangan negosiasi. Namun apapun hasil negosiasinya, KEKAL ini memang harus direalisasikan secepatnya. Tidak mungkin hanya karena salah satu pihak menjadi tidak setuju dan merasa “kalah” sehingga membatalkan proyek KEKAL. Kemakmuran rakyatlah yang dalam hal ini menciptakan “zona negosiasi”. Dan kondisi ini menjelaskan “waktu” merupakan variable yang harus dipentingkan, karena opportunity cost akan terus berjalan dan akan merugikan rakyat sebagai penerima manfaat sesungguhnya dari proyek KEKAL. []