Bangsa Mongol tengah jenuh sebagai manusia, Ibnu Taimiyah kecil penuh risau. Betapa tidak, umurnya belum genap 10 tahun, Mongol mengamuk meluluh-lantakkan Kekuasaan Umat Islam di belahan timur. Ibnu Taimiyah kecil mesti hidup dalam masa pergolakan dan menikmati getirnya penumpasan dan pengusiran. Kekejaman bangsa Mongol, cukup membekas di benak ibnu Taimiyah dalam usianya yang sangat emosional itu.
Ibnu Taimiyah (rahimahullah) pun tumbuh besar bersama dengan kian besarnya kebencian terhadap Bangsa Mongol. Ya, kebengisan Bangsa Mongol adalah bagasi masa lalu yang menjadi dasar kuat mengapa ia di kemudian harus tampil menjadi tokoh pemersatu untuk menggulirkan perlawanan yang tiada ampun terhadap bangsa Mongol. Bagi Ibnu Taimiyah, Bangsa Mongol yang meski pada akhirnya turut mengislam, namun Islamnya sama sekali formalitas. Sehingga keislaman mereka tidak mampu mencegah kekejaman yang terus digilirkan kepada Islam kala itu.
Namun peristiwa yang membuat Ibnu Taimiyah beserta keluarganya yang cendikia terusir, agaknya juga merupakan jalan takdir tersendiri yang mengantarkannya pada puncak kemuliaan.Ya, Ibnu Taimiyah telah ditakdirkan lahir sebagai rangsangan kuat atas kebangkitan kembali Umat Islam saat itu. Di mana umat Islam sedang meluncur ke titik dasar peradaban.
Secara otoritas politik, di Timur umat Islam ditekuk oleh keperkasaan Mongol, dan di Barat terusir dari Spanyol lewat konfrontasi dari alam kristen. Lebih memprihatinkan, dalam perkara paling esensial (aqidah), saat itu kemurnian aqidah umat terancam, dikooptasi oleh kerancuan filsafat yang menyamar dan menyambar dengan memakai baju Islam lewat teologi mu`tazilah dan yang sebelas dua belas dengannya. Diperparah dengan mistifikasi-mistifikasi yang mengaburkan akal sehat, serta tokoh-tokoh kebid`ahan dan kesyirikan yang menjamur, dan seakan-akan mereka merasa telah mengambil sebagian peran dan kuasa Tuhan.
Dan itu semua, tersimpan rapi dalam ingatan kolektif Ibnu Taimiyah. Ingatan yang melahirkan semangat menggelegak dan mendorongnya mendesain rancang bangun perlawanan untuk membebaskan Umat Islam dari keterpurukan.
Benar saja, Ibnu Taimiyah yang punya kegemaran menyelisihi arus kebatilan, tak peduli dan tandas, ia berhasil mewujudkan diri sebagai gerbong perlawanan untuk merubah keadaan-keadaan yang memilukan. Dan bukan tanpa latar belakang yang cukup, kekuatan perlawanan yang dibangun Ibnu Taimiyah, adalah akumulasi sebab-sebab syar`iyyah dan kauniyyah yang Allah ta`ala kodratkan baginya.
Riwayat Keilmuan Ibnu Taimiyah
Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, mudah saja memang. Ya, kondisi sulit yang menyertai Ibnu Taimiyah kecil, ternyata dibersamai pula oleh keberuntungan-keberuntungan yang membuat Ibnu Taimiyah tetap hidup sehat dalam iklim keilmuan Islam. Pasalnya, ia dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga intelektual Islam.
Ayahnya, Syihabuddin, adalah seorang guru Hadits dan pengkhutbah yang terkenal di Masjid Besar Damaskus. Tak hanya itu, sang Ayah juga merupakan tokoh penting Mazhab Hambali kala itu. Sebuah takdir yang tentu berpengaruh besar terhadap pandangan-pandangan hukum Ibnu Taimiyah. Pamannya, Fakhruddin, masyhur sebagai cendikiawan Islam dan penulis yang ulung. Maka tak heran bila pertemuan Ibnu Taimiyah dengan lingkungan epistemik Islam dimulai cukup dini, dari keluarganya sendiri yang secara turun temurun dikenal sebagai ulama dan cerdik pandai.
Dan Damaskus, memang menjadi tempat di mana ruh ilmu berkumpul dalam akal dan Qalbunya yang sehat. Sebab, Damaskus adalah tempat yang menerima Taimiyah kecil dan keluarga ketika terdepak dari Syiria oleh Imperialisme Mongol.
Tentu tak seringkas itu, Ibnu Taimiyah yang dianugerahi kedalaman berfikir, terus membenamkan diri dalam luasnya samudera Ilmu, melampaui tingkat demi tingkat. Ia pertama sekali, menyungguhi pendidikan Islam di sekolah Ayahnya sendiri. Kemudian belajar kepada para ulama yang terkemuka di kota Damaskus pada saat itu. Ibnu Taimiyah memang beruntung, sebab ia berkesempatan menjadi murid para Ulama besar dari berbagai mazhab yang mereka terpaksa berkumpul di Damaskus sebagai tempat pelarian dari kejahatan Mongol.
Ada cukup banyak prestasi Ibnu Taimiyyah yang jelas menggambarkan kualitas-kualitas dirinya sebagai seorang ulama. Dalam bidang hadits, ia dipercaya menggantikan kedudukan ayahnya sebagai guru besar hadits di Damaskus untuk mengisi di berbagai lembaga pendidikan dan masjid-masjid besar di sana.
Kesempatan itu diraihnya dalam usia yang cukup belia, di umur 19 tahun ketika Ayahnya baru saja meninggal bertepatan dengan selesainya pendidikan Ibnu Taimiyah di sekolah.
Kesempatan itu diraih berkat akalnya yang cemerlang serta mata batinnya yang terang. Dan tak butuh waktu lama setelahnya, Ibnu Taimiyah segera menjadi populer sebagai ahli hadits melampaui Imam hadits yang masyhur di kala itu seperti Imam Daqiq al-ied dan Imam Adz-Dzahabiy, bahkan nama yang terakhir tercatat kemudian dalam daftar orang yang beristifadhah (mengambil faidah/ilmu) dari Ibnu Taimiyah.
Dalam pada itu, Ibnu Taimiyah berhasil merekrut murid-murid yang mengerikan. Kita bisa bertamasya ke kitab tarikh yang fenemonal seperti Al-Bidayah wan Nihayyah karya Ibnu Katsir (Pengarang Tafsir Ibnu Katsir). Atau, boleh juga Kitab tarikh fenomenal semisal, Siyar A`lam An-Nubala` karya Imam Adz-Dzahabiy, seorang imam hadits besar. Begitu pun, jangan lupa kitab-kitabnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah yang cukup jama` dan mencerahkan. Maka akan kita temukan uraian-uraian ketiga ulama tersebut tentang kekaguman-kekaguman serta ta`zim mereka terhadap Ibnu Taimiyah. Ketiga ulama tersebut adalah murid-murid Ibnu Taimiyah yang mengerikan itu. Dan kengerian ini, menjadi bertambah jika kita insaf bahwa ketiga ulama di atas ternyata tidak mewakili satu mazhab yang homogen. Dua nama pertama mewakili mazhab Syafi`i, dan nama terkahir mewakili mazhab Hambali. Ya, Ibnu Taimiyah memang telah menjadi guru lintas mazhab.
Sisi lain, lembar-lembar sejarah memang tidak pernah mewartakan Ibnu Taimiyah sebagai ahli ilmu dalam satu bidang ilmu tertentu saja. Ia memang cukup mendalam dan detail dalam segala bidang ilmu; Penafsiran Al-Quran, Ilmu Hadits, Aqidah, Fiqih, Balaghah, dan yang lainnya. Kendati demikian, ia cukup insaf tentang titik sentral pesakitan umat pada saat itu. Ya, Aqidah, Ibnu Taimiyah melihat masalah yang cukup esensial dalam hal aqidah pada umat Islam. Maka ia memancang konsentrasi lebih untuk terus berkelindan mendalami ilmu aqidah, guna mengkrofontasi pemahaman-pemahaman yang mengotori kemurnian Islam saat itu. Ia berikhtiar sungguh, untuk melestarikan dan memagari kembali kemurnian aqidah umat.
Ibnu Taimiyah dan Pelbagai Perbenturan
Ibnu Taimiyah yang cemerlang telah menjelma sebagai ulama besar dalam usia cukup muda. Dan tak memerlukan muqaddimah terlalu panjang setelahnya, Ibnu Taimiyah segera menceburkan diri dalam hingar bingar perbantahan intelektual dan keyakinan. Ia mendekap Al-Quran dan Sunnah dengan interpretasi pendahulu yang shalih (as-salaf as-shalih) sebagai asas juang. Dengan itu ia berjuang segenap keyakinan, melancarkan serangan kepada setiap rezim pemahaman yang dianggapnya sesat lagi mengancam akal sehat.
Sebab, Ia sangat membenci segala varian modifikasi syari`at (bid`ah), terutama dalam perkara aqidah. Maka tak heran bila para ahli bid`ah saat itu saling merangkul untuk menentang Ibnu Taimiyah. Sebab mereka tak lagi mampu bersendirian dalam menahan konfrontasi Ibnu Taimiyah dalam khutbah-khutbah dan tulisannya yang tajam menghujam.
Ahmadiyyah, kisrawaniyyah, rafidhah, mu`tazilah, filsafat pantheisme yang meminjam baju Islam (wahdat al-wujud), hingga tokoh-tokoh mistik, secara tegas mendapat kritik-kritik dan pembungkaman dari Ibnu Taimiyah. Dan bagaimana sekte-sekte ini tak kesal, karena Ibnu Taimiyah juga sempat menawan penguasa dan tentara dalam imperium Mamluk untuk turut memusuhi mereka, hingga banyak di antara tokoh-tokoh tersebut terusir dari kampung-kampung dan tertindas.
Bagi Ibnu Taimiyah, keseluruhan sekte itu adalah sebab-sebab logis dari dekadensi umat Islam. Terlebih para ekstrimis sufi dan tokoh mistik yang banyak mengambil peran dalam mengeksploitir kelemahan akal rakyat awam. Ya, pada masa degradasi itu, umat cenderung percaya kepada pelbagai kemustahilan serta menaruh harapan besar pada kemungkinan-kemungkinan supranatural yang merusak nalar.
Dan bagi kita, membaca riwayat-riwayat perbenturan yang dialami Ibnu Taimiyah selalu merupakan keseruan yang amat sangat. Dalam tiap perdebatan, ia bagai nirmala; tak tercacatkan. Kisah terkenal, dan sekaligus sebenarnya merupakan pembuka dari konflik yang berkepanjangan, adalah ar-risalah al-hamawiyyah. Sebuah risalah yang hingga kini menjadi referensi penting dalam diskursus ilmu Aqidah.
Syahdan, orang-orang Hamah meminta fatwa mengenai sifat-sifat Allah yang termaktub dalam Al-Quran. Ibnu Taimiyah memberikan jawaban dalam bentuk risalah yang berjudul ar-risalah al-hamawiyyah. Risalah ini merangsang benturan-benturan, mendorong penentangan dari para ahli hukum yang diketuai oleh Qadhi Jalaluddin dari Mazhab Hanafi di Damaskus. Ibnu Taimiyah dihadapkan kepada para hakim dan pakar hukum yang terkemuka untuk mempertanggungjawabkan pandangan-pandangannya di dalam risalah itu. Perdebatan sengit tak dapat dihindarkan yang akhirnya dimenangkan oleh Ibnu Taimiyah. Peristiwa ini adalah suatu pertanda penting, tentang polemik yang seru di kemudian hari.
Tapi riwayat jihad ilmiah Ibnu Taimiyah tidak terusan mulus. Jumlah penyelisih kebenaran yang berhadapan dengan Ibnu Taimiyah mulai terlalu menjama`, tak hanya dari ahlul bida` (ahli bid`ah), ia juga dibenci oleh kalangan ahlul ahwa` (penurut hawa nafsu), hingga ia mesti pula berhadapan dengan manuver para “ulama” dan “fuqaha” yang gemar mencari kehormatan di muka penguasa. Ibnu Taimiyah, walau tidak digaji oleh negara sebagaimana mereka para “ulama” dan “fuqaha”, namun lebih dihormati oleh sultan dan rakyat banyak karena keilmuan dan ketinggian akhlaknya. Ia bahkan sering diberikan peranan oleh sultan untuk pemulihan “ulama-ulama” yang akan diberi peranan penting dalam bidang hukum. Hal ini menyulut api hasad dari “ulama-ulama” yang merindukan penghormatan semisal.
Akumulasi kebencian dari para penentang di atas ternyata membentuk sebuah kekuatan dahsyat yang menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai korban permusuhan yang seakan tak hendak selesai itu. Ibnu Taimiyah harus rela menahan berbagai akibat dari perlakuan agitatif pembencinya; Ia, harus rela didekap penjara.
Namun adakah ia jera kemudian selesai? Ibnu Taimiyah tetaplah sebagai letupan pikiran dan jiwa yang merdeka di mana saja berada, tanpa jeda. Penjara menjadi saksi atas penyelesaian berjilid karyanya yang mengisi daftar literatur pokok keilmuan Islam hingga saat ini. Telah sampai tentunya, di tangan tiap generasi penggiat ilmu, yang merindukan kebenaran.
Oleh: Nauval Pally Taran,
Penuntut Ilmu, tinggal di Banda Aceh