ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Polemik mutasi Doto Zaini harus segera diatasi dengan pendekatan hukum yang lebih konprehensif, sebab pendekatan hukum normatif tidak ada ujungnya antara legal dan ilegal mutasi 10 Maret 2017 yang dilakukan oleh Gubernur Aceh.
“Kalau tidak diakhiri, maka kevakuman pemerintahan akan terjadi, dan otomatis memacetkan roda pemerintahan dan kegiatan pembangunan,” sebut Wiratmadinata, Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Kamis (30/3) saat dimintai pandangannya terkait mutasi yang dilakukan oleh salah satu calon gubernur petahana, Zaini Abdullah dipenghujung masa kerjanya sebagai gubernur Aceh.
Menurut mentan aktivis HAM dan Perdamaian yang akrab disapa Wira, polemik legal atau ilegal bagai diskusi humoris “mana duluan telur atau ayam.” Tidak akan berkesudahan, malah yang ada kesusahan. “Penyebabnya karena kesalahan dalam memahami paradigma hukum pelaksanaan kewenangan Otonomi Khusus Pemerintah Aceh, khususnya dalam soal pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN), dan terjebak pada perdebatan tekstual hukum semata.
Selama ini, dalam pencermatannya, baik pihak yang menyatakan tindakan Zaini Abdullah sah dan yang menganggap tidak sah, sama-sama berbasis pada teks normatif hukum tanpa melihat pada asas-asas, prinsip-prinsip dan paradigma pelaksanaan otonomi khusus di Aceh.
Yang lupa didiskusikan adalah bahwa paradigma, prinsip dan asas pelaksanaan otonomi khusus di Aceh itu, termasuk dalam pelaksanaan UUPA harus dilihat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai Pasal 1 ayat 1 UUD 1945. “Prinsip ini juga sudah disepakati sejak MoU Helsinki ditandatangani dan UUPA diterbitkan,” sebutnya lagi.
Wira menambahkan, sebagai negara kesatuan sifat dari pemerintahan Republik Indonesia itu memang sentralistik, dimana otonomi daerah sifatnya bukan pembagian kekuasan, melainkan pelimpahan kewenangan. Hal ini sangat berbeda dengan model otonomi yang sifatnya federatif.
Artinya, bahwa otonomi khusus di Aceh tidak bisa dilihat dalam pendekatan pemisahan kekuasaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, melainkan pelimpahan kewenangan Pemerintahan Pusat kepada Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintahan Aceh.
Di dalam UUPA, menurut Wira juga tidak ada pelimpahan kewenangan khusus tentang sistim kepegawaian nasional, karena hal itu mengikut UU ASN. Dengan demikian, urusan kepegawaian yang tidak diatur secara khusus di dalam UUPA maka sifatnya Lex Generalis dibawah otoritas Kementrian Dalam Negeri.
Dengan pendekatan paradigma negara kesatuan maka surat dari Menteri Dalam Negeri bersifat otoritatif dan memiliki legitimasi sebagai pemerintahan atasan untuk meminta Gubernur Aceh tidak menugaskan/mengaktifkan pejabat struktural yang dilantik berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor Peg.821.22/004/2017 Tanggal 10 Maret 2017. Karena ASN itu mengatur urusan kepegawaian secara nasional yang tidak diatur khusus di dalam UUPA.
“Sehingga tidaklah tepat argumen administratif yang disampaikan oleh Biro Hukum Pemda Aceh, bahwa hal itu harus diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini kan sifatnya arahan dari otoritas lebih tinggi kepada otoritas lebih rendah dalam hal kepegawaian, bukan gugatan dari bawahan atau aparatur atas adanya surat keputusan dari Gubernur sebagai pejabat tata usaha Negara,” tekan Wira mendudukkan soalan solusi mengatasi mutasi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
“Saya mendapat kesan bahwa, Zaini Abdullah mendengarkan advis dari Prof. Ryaas Rasyid, yang menekankan betul bahwa Pemerintah Pusat tidak boleh mencampuri urusan Pemerintahan Aceh. Prof., Ryaas mungkin lupa atau sengaja tidak menyampaikan, bahwa paradigma otonomi khusus itu adalah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Ryaas Rasyid bicara dalam pendekatan Negara Federasi sesuai dengan cita-citanya sejak lama. Kita tahu bahwa Ryaas Rasyid sangat gandrung pada negara federasi,” jelas Wira lagi.
Wira menekankan sekali lagi bahwa dirinya sengaja tidak mau lagi menyinggung perdebatan normatif hukum berbasis teks hukum terkait polemik ini, pertama karena memang secara normatif juga sudah sangat jelas, dan kedua, apabila argument-argumen yang berlawanan terus diajukan sehingga tidak ada penyelesaiaan, ia menyarankan agar polemik ini naik pada tingkat pengertian paradigma, prinsip dan asas otonomi khusus itu sendiri.
“Saya harus ingatkan bahwa norma hukum itu levelnya paling rendah dalam struktur ilmu hukum, di atasnya masih ada asas, prinsip, nilai dan paradigma. Bila kita buntu dalam ruang normatif, kita harus cari asas, prinsip dan paradigmanya,” pungkas Wiratmadinata. []