Oleh Hidayatullah*
Sebelumnya, perlu saya sampaikan, tulisan ini hanyalah murni analisa dan gagasan dari saya sendiri, jadi bukan suatu kebenaran mutlak. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan lebih serius. Apalagi ini menyangkut tentang ‘kanot bu’ sebagian orang. Namun pun demikian, hal ini tetap harus menjadi perhatian kita semua, dengan harapan apa yang kita khawatirkan tidak akan pernah terjadi.
Belakangan, pembahasan tentang mante begitu viral di Aceh bahkan menular hingga Nasional. Berbagai spekulasi bermunculan tentang kebenaran makhluk yang hingga saat ini belum ada bukti autentik tentang keberadaannya. Namun berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk dengan kabar bahwa Gubernur Aceh akan membentuk tim khusus yang akan ditugaskan untuk meneliti mante. Tentu saja tim ini harus menelusuri hutan dan diharapkan bisa melaporkan penemuannya kepada Gubernur juga kepada khalayak ramai. Dan, lagi – lagi hutan dan seisinya yang menjadi sasaran empuk yang harus menerima ‘tamu’ yang konon katanya akan menambah khazanah keacehan.
Lantas, bagaimanakah jika kelak yang terjadi bukanlah laporan mengenai suku mante, tetapi penemuan – penemuan lain yang akan jadi trending topik? Hal ini bukan tidak mungkin, apalagi kita ketahui hutan Aceh menyimpan banyak sekali kekayaan dan kandungan mineral dan energi. Salah satunya adalah potensi panas bumi dan bahkan tidak sembarangan, perut bumi Aceh juga konon kabarnya mengandung uranium.
Mante, Alasan Merambah Hutan Aceh
Bukan tidak mungkin, dengan semakin gencarnya berita tentang mante, makan akan semakin banyak pihak yang akan dengan berani dan dirasuki rasa penasaran merambah hutan Aceh. Alasannya sederhana: mencari mante. Terlepas alasannya logis ataupun tidak, ini merupakan salah satu bentuk ancaman bagi ‘kemakmuran’ penghuni hutan. Mereka akan merasa terusik dan terganggu dengan kedatangan tamu yang tidak mereka harapkan.
Yang terjadi kedepannya, kerusakan hutan Aceh tidak terelakkan. Manusia tidak lagi takut ke hutan. Kayu di tebang. Lahan baru di buka dan kebakaran hutan sulit di hindari. Dan, para ‘tersangkanya’ bisa saja berdalih lagi – lagi dengan modus: mencari mante. Mungkin analisa ini terlalu berlebihan, tapi bukannya tidak mungkin setelah orang – orang berkelas setingkat Gubernur Aceh saja sudah memiliki wacana yang sama. Jika hal ini terjadi, konflik dengan penghuni hutan, termasuk dengan mante jika memang mante benar – benar ada, tidak bisa di hindari. Dan, manusia akan teguh posisinya dan akan selalu di kenang sebagai makhluk perusak.
Mencari mante, juga menjadi alasan mencari harta karun lainnya seperti yang telah disebutkan di atas. Penemuan – penemuan tersebut nantinya akan di publikasi dalm bentuk jurnal – jurnal ilmiah ataupun dengan sebatas penyampaian persuasif yang mudah di terima oleh publik. Hasil publikasi ini tentunya akan mengundang orang – orang lainnya untuk beramai – ramai memasuki hutan, seperti yang pernah terjadi sebelumnya, ‘mabok’ batu giok.
Panas Bumi, Solusi Krisis Energi?
Saat kita lagi asiknya larut dalam cerita – cerita tentang mante, kita diusik dengan pemadaman listrik secara bergilir dengan durasi waktu hingga empat jam. Alasan pemadaman yang beredar, pemadaman dilakukan karena sedang dilakukan peremajaan dan perbaikan instalasi pembangkit listrik sehingga pada saat memasuki bulan Ramadhan, kaum muslimin tidak terganggu lagi dengan pemadaman listrik. Alasan yang patut kita pertimbangkan dan patut kita apresiasi.
Namun, pemadaman listrik, bukan Cuma kali ini saja dilakukan. Ingatan kita masih segar bahwa selama ini kita memang sering mengalami gangguan listrik, dan alasan yang paling dominan beredar adalah kita sedang mengalami krisis energi.
Bak gayung bersambut, menyikapi persoalan energi, ada potensi besar yang dianggap sebagai alternatif mengembalikan ketersediaan energy tanpa batas, yaitu panas bumi. Mungkin berita ini tidak terlalu tenar seperti mante, namun kenyataannya Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, untuk mendukung proyek geothermal di dalam zona inti TNGL ini, pada tanggal 16 Agustus 2016 telah mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendukung proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dalam Surat Bernomor: 677/14266, Zaini meminta KLHK merevisi sebagian zona inti menjadi zona pemanfaatan untuk kepentingan proyek itu. Kawasan Kappi, zona inti yang diajukan untuk proyek panas bumi adalah kawasan suaka margasatwa seluas 142.800 hektare yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Wilayah ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang penunjukan TNGL.
Keputusan itu tentunya ditentang oleh beberapa LSM dan kelompok peduli lingkungan di Aceh bahkan di tentang secara nasional. Hal ini wajar, mengingat di kawasan inilah tempat terakhir berteduh satwa kunci yang hampir punah, seperti badak, orang utan, harimau sumatera dan gajah. Bahkan bukan tidak mungkin, jika benar keberadannya, kelestarian suku mante juga sangat bergantung pada tempat ini.
Jadi lagi – lagi, hutan dan seisinya yang harus menjadi korban keserakahan dan melepas rasa penasaran manusia. Kenapa harus kawasan ini yang keberadaannya sangat jauh dari pemukiman yang harus dikorbankan? Bukankah binatang – binatang bahkan termasuk mante tidak membutuhkan pasokan listrik? Bila proyek ini jadi terealisasi, maka akan banyak sekali ‘pribumi’ yang harus kembali tersingkirkan dan pindah demi menyelamatkan diri.
Krisis energi memang kita akui menjadi problem yang harus diselesaikan. Potensi panas bumi juga memang bisa menjadi alternatif. Tapi bukanlah harus kawasan ekosistem Leuser ini yang harus di korbankan.
Dengan berbagai fenomena inilah, saya mulai berpikir adanya keterkaitan isu – isu yang selama ini menghujani masyarakat Aceh. Mante dan panas bumi seolah – olah hal yang harus segera di temukan dan dimanfaatkan untuk menyelamatkan kehidupan ummat manusia. Saya juga mulai mengaitkan berita tentang mante dan pemadaman listrik. Alasannya sama, supaya ada alasan merambah hutan. Hal ini juga yang menjadi pertanyaan kita, apakah benar ada sesuatu yang dikejar dan diperjuangkan dari pedalaman hutan Aceh.
Terlepas dari semua kemungkinan – kemungkinan dan spekulasi yang sudah terbentuk di masyarakat, yang paling penting adalah kita harus segera sadar. Kita jangan hanya terlena dengan isu mante, sedangkan yang lainnya dengan leluasa memburu ‘harta karun’ Aceh tanpa ada yang mencoba menghentikan. Menyelamatkan hutan dan penghuninya adalah tanggung jawab kita semua. Pemerintah juga kita harapkan bertindak lebih cerdas dan penuh perhitungan. Tidak perlu pemerintah ikut campur kehidupan sosial mante, yang belum jelas tergolong makhluk apa bahkan belum pasti keberadaannya. Pemerintah juga harus berperan aktif menjaga asset hutan Aceh sebagai salah satu warisan dunia, jangan sampai dimanfaatkan oleh oknum lain.
Dan kita masih sangat berharap dan berdoa, semoga mante – mante tetap hidup rukun dan damai di belantara Aceh bersama penghuni hutan lainnya tanpa ada yang mengusikknya, dan kita segera terbebas dari krisis energy dan tapa dibayang – bayang oleh pemadaman listrik berjam – jam, tanpa merusak sejengkalpun kawasan hutan lindung Aceh, karena ketakutan kita akan punahnya penghuni hutan Aceh lebih besar dari krisis energi itu sendiri.
*Mantan Presiden Mahaiswa Universitas Almuslim, Bireuen Tahun 2015.