Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menggelar sidang dengan agenda pengucapan putusan pada 3-4 April 2017, dan hasilnya sudah diketahui bahwa sejumlah gugatan di tolak, termasuk gugatan yang diajukan oleh pasangan calon gubernur Muzakir Manaf dan TA Khalid.
Meski MK sudah memutuskan, tetap muncul wacana yang bernada kecewa terhadap MK yang tidak memakai UUPA untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Sebelumnya, guru besar ilmu hukum, Yusril Ihza Mahendra bahkan ikut “turun gunung” dengan mendikotomikan UUPA versus UU Pilkada, yang kemudian memicu dugaan bahwa MK telah mengeleminir UUPA.
Senada dengan persoalan pilkada, mutasi yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh juga ditarik dalam dikhotimi UUPA dengan UU Pilkada dan UU ASN. Alhasil terbangun emosi politik bahwa keberadaan UUPA dalam ancaman.
Benarkah UUPA berada dalam ancaman? Berikut wawancara dengan Mawardi Ismail, pakar hukum Unsyiah yang dikenal sebagai sosok intelektual organik, Rabu (5/4) sore di Banda Aceh.
***
Bagaimana anda melihat Putusan MK, adakah yang janggal?
Begini, sejak awal memang sempat ada pandangan bahwa Pilkada 2017 tidak punya payung hukum karena waktu itu qanun pilkada yang baru belum disahkan. Menurut saya, pandangan itu keliru. Sebelum ada qanun yang baru Aceh sudah punya Qanun 5/2012 tentang Pilkada. Ini Qanun tentang Pelaksanaan Pilkada di Aceh, dan tidak secara khusus diperuntukkan untuk Pilkada 2012.
Hanya saja, keberlakuannya itu disesuaikan dengan asas-asas hukum. Pasal 199 menegaskan posisi UU Pilkada, bahwa: “Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.”
Pasal ini, dalam ilmu hukum disebut dengan kaedah penunjuk. Ada dua point penting di pasal ini, pertama sepanjang tidak di atur lain dan kedua dalam Undang-Undang tersendiri.
Ketika disebut Undang-Undang tersendiri artinya bukan peraturan perundang-undangan. Kalau di Aceh yang harus dilihat UUPA-nya. Jika tidak ada di atur lain dalam UUPA maka berlakulah UU 1/2015 sebagaimana diubah terakhir dengan UU 10/2016.
Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi perlu dikritik karena salah menyebut UU itu. Bukan UU 10/2016, sebab UU ini termasuk perubahan terhadap UU 1/2015. Harusnya disebut UU 1/2015 sebagaimana diubah terakhir UU 10/2016. Sebab orang bisa keliru karena Pasal 158 dan 199 tidak ada di UU 10/2016. Yang tidak berubah pada UU 1/2015 maka tidak perlu dimuat pada perubahannya yaitu UU 10/2016.
Dikaitkan dengan permintaan Yusril Ihza Mahendra agar sengketa Pilkada 2017 di adili dengan UUPA?
Soal ini juga sudah pernah saya sampaikan lewat media. MK tidak mengadili dengan undang-undang tertentu, tetapi MK mengadili dengan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku itu dicari sumber yang relevan dalam rangka melaksanakan hukum, bukan menguji undang-undang.
Maka sumber pertamanya adalah UU Pilkada. Ketika dalam UU ini ada ketentuan Pasal 158 maka dicari tahu apakah berlaku untuk Aceh, yang jawabannya ditegaskan pada Pasal 199 UU Pilkada itu sendiri.
Lalu, MK mencari tahu apakah ada substansi yang sama di UU 11/2006, dan ternyata tidak ada. Kalaupun misalnya ada, katakanlah selisihnya harus 5 persen untuk bisa menggugat, maka sudah pasti MK akan memakainya karena diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Sama seperti dukungan untuk pasangan calon yang dalam UUPA diatur 15 persen sedangkan dalam UU Pilkada 20 persen. Karena ada diatur secara lain di UUPA maka berlaku ketentuan di UUPA.
Makanya, menurut saya Pak Yusril keliru dalam memahami perbedaan kedua UU ini. Kenapa harus mengambil yang 20 persen, karena memang diatur secara lain dalam Undang-Undang tersendiri, yaitu 15 persen. Jadi Yusril keliru dalam memahami makna Pasal 199 UU Pilkada.
Begitulah Mahkamah melihat. Karena tidak diatur secara lain dalam UU tersendiri (UUPA) soal legal standing untuk mengajukan permohonan maka dipakailah Pasal 158 UU 10/2016.
***
Kalau begitu, bagaimana memahami Pasal 71 di UU Pilkada, apakah juga sama?
Harusnya sama! Untuk diketahui Pasal 71 UU Pilkada (yang setelah berubah) ini mengatur kewenangan kepala daerah terkait Aparatur Sipil Negara yang di daerahnya berlangsung pemilihan. Apakah dia maju atau tidak, bahkan jika dia pejabat pelaksana tugas sekalipun, jika di daerahnya berlangsung pemilihan, maka berlaku Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016.
Artinya dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Jadi, siapapun dia, mau yang ditetapkan sebagai paslon atau PLT tidak boleh melakukan pergantian pejabat kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Jadi, keberlakuannya ini adalah karena di daerahnya berlangsung pilkada, bukan karena ia ikut pilkada. Jadi tidak benar, jika sesudah pemungutan suara, tidak terpilih lalu kembali menjadi gubernur difinitif. Boleh saja, dan terhadap gubernur difinitifpun juga berlaku Pasal 71 UU Pilkada ini.
Sama dengan Pasal 158 yang sudah dijadikan pertimbangan Mahkamah dalam memutuskan sengketa Pilkada maka pemahaman tentang Pasal 71 UU Pilkada juga berlaku bagi Aceh sebab soal tata cara mutasi tidak diatur secara khusus dalam UUPA. Karena tidak di atur secara tersendiri dalam UUPA maka berlaku UU lain yang mengatur, seperti Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada dan Pasal 108 ayat (3) UU 5/2014 yang mengatur pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama secara terbuka dan kompetitif.
Itu artinya, jika mutasi dilakukan sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Menteri maka mutasi tidak sah, dan jika pergantian pejabat pemimpin tinggi pratama tidak dilakukan secara terbuka dan kompetitif maka tidak punya kewenangan untuk bertindak sebagai Kepala SKPA.
Terkait perlakuan Pemerintah Aceh terhadap APN, apakah saat ini lebih maju?
Jelas mundur. Pada periode Irwandi Yusuf (2006-2012) sudah diterapkan standar yang lebih maju melalui seleksi terbuka, dan ini belum dilakukan oleh daerah lain, tapi kini masak mundur lagi, meninggalkan apa yang pernah dipakai oleh Irwandi Yusuf dulu. UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah koreksi total terhadap UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang masih sarat KKN dan sarat kepentingan politik.
Pada masa Irwandi Yusuf sudah mulai menuju penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, mestinya tidak boleh lagi kembali ke masa lalu dengan tata kelola pemerintahan yang tidak sehat.
***
Ada yang bilang Putusan MK sudah mengeliminir atau mengancam UUPA, apa pandangan Anda?
Itu kesimpulan yang terlalu jauh, dan saya tidak melihat itu. Sebab, jika sesuatu di atur secara jelas dalam UUPA, pasti tidak diganggu. Contohnya itu menyangkut dengan persentase dukungan, MK mengakui ketentuan syarat 15 persen dalam UUPA. Atau tentang partai lokal.
Ada juga yang menyebut MK harusnya berkonsultasi dengan Aceh sebelum memutuskan soal UU terkait Aceh
Begini, perlu dipisahkan antara kewenangan mahkamah dengan kewenangan legislasi. Pengadilan tidak perlu berkonsultasi dengan berbagai pihak.
Tapi, kalau pembentuk UU seperti DPR RI mau membentuk atau mengubah UU yang terkait dengan Aceh maka dia wajib berkonsultasi dan mendapat pertimbangan dari DPR Aceh.
Kalau pengadilan tidak, sebab pengadilan adalah lembaga independen. Lebih-lebih lagi lembaga pengadilan yang punya kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD. Jika dipandang ada kewenangan yang bertentangan dengan UUD maka ia berwenang untuk menguji.
Apa memang sudah perlu dilakukan revisi UUPA, apa ini tidak menghilangkan kesaktiaan UUPA?
Kita harus jujur, UUPA sudah berumur 11 tahun. Di Indonesia, usia UU 11 tahun itu terlalu lama untuk tidak mengalami peninjauan kembali. Misalnya, UU 32/2004 sudah diubah. Perlu perubahan karena masyarakat memang sudah berubah.
Jadi, tidak boleh alergi jika ada wacana merevisi UU 11/2006. Hanya saja yang perlu dipikirkan bagaimana melakukan revisi yang lebih baik.
Misalnya tentang dana Otsus, tanpa kita revisi UUPA maka Dana Otsus akan berakhir pada 2023. Bisa tidak dengan revisi UUPA dana otsus bisa berlanjut lebih lama lagi. Juga hal lain, seperti mengajukan perselisihan hasil pilkada ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung sendiri sudah tidak punya kewenangan untuk itu, makanya ketika diajukan ke MA ditolak. Akhirnya Pasal 74 UUPA menjadi pasal yang mati.
Jadi, agar tidak ketinggalan zaman maka wacana merevisi UUPA jangan dikucilkan, dengan catatan bahwa revisi itu harus lebih baik. Mensakralkan UUPA secara fanatik itu akan kontraproduktif.
Cara menuju perbaikan UUPA bisa dipikirkan strategi dan taktiknya, apakah efektif dilakukan sendiri, atau dilakukan secara bersama, misalnya bersama dengan Papua yang juga membutuhkan revisi atas UU Papua. []