ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Partai Nasional Aceh (PNA) bukan partai lokal pertama di Aceh. PNA lahir 4 Desember 2011 dan baru didaftar pertama sekali pada Selasa (24/4/2012).
Kehadiran partai lokal pertama sekali di Aceh ditandai dengan lolosnya 6 partai lokal dari 20 partai lokal yang diajukan pembentukannya. Enam parlok yang lolos menjadi peserta Pemilu 2009 itu adalah Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), dan Partai Daulat Aceh (PDA).
Pembentukan partai politik yang berbasis di Aceh adalah perintah MoU Helsinki terkait partisipasi politik. Antusiasme pendirian parlok juga diperlihatkan oleh mereka yang bergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pada 2007, dengan berbekal mandat dari Malik Mahmud bertanggal 19 Februari 2007, Yahya Mu’ad dan kawan-kawan mulai menggagas pembentukan parlok, yang menimbulkan faksi politik, senior dan junior. Senior muncul dengan nama Partai Gerakan Aceh Merdeka (Juni 2007), yang mendapat penolakan dari junior, dan akhirnya berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri (April 2008), dan ujungnya berubah menjadi Partai Aceh usai disepakati oleh Jusuf Kalla dan Malik Mahmud.
Dari 6 partai lokal, hanya PA yang tampil digdaya di Pemilu 9 April 2009 dengan perolehan suara 48.89% untuk DPRA. PA juga tampil maksimal diperolehan kursi DPR Kabupaten/Kota.
Misalnya di Aceh Besar (75%), Pidie (95%), Pidie Jaya (90%), Bireun (98%), Aceh Utara (95%), Lhokseumawe (97%), Aceh Timur (90%), Langsa (75%), dan Aceh Tamiang (70%). Selanjutnya Aceh Jaya (70%), Aceh Barat (75%), Nagan Raya (80%), Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan (75%), Simulue (70%), Singkil dan Subulussalam (65%). Kemudian Aceh Tenggara (60%), Aceh Tengah dan Bener Meriah (48%) dan Gayo Luwes (70%).
Kemenangan besar PA meraih kursi di DPRA dan DPR Kabupaten/Kota pada Pemilu 2009 itu tidak terlepas juga dari faktor keberadaan Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh kala itu, dan keberadaan para bupati dari kader mantan GAM seperti di Aceh Timur, Aceh Utara, Lhok seumawe, Pidie, Sabang dan Aceh Jaya.
Sebagai kepala daerah yang adalah kader GAM, mereka tentu berkepentingan agar politisi PA menguasai DPRA dan DPR Kabupaten/Kota sehingga dapat menjadi pendukung di parlemen. Di Singkil misalnya, Irwandi Yusuf dengan mantap berkampanye dan menyebut dirinya berada di dalam Partai Aceh.
***
Potret politik lokal Aceh berubah begitu memasuki Pilkada 2012 dan Pileg 2014. Meski PA masih menguasai jagat politik Aceh tapi pendulum politik sudah menunjukkan trend perubahan arah. PA memang masih menjadi “panglima” politik tapi kepemimpinan politiknya tidak efektif lagi, baik untuk mempertahankan dominasi politiknya di DPRA maupun kendali politiknya atas kepemimpinan politik dan pengaruh di pemerintahan.
Dalam situasi itulah, meski PNA minoritas di politik legislatif namun politik individu dari politisi di PNA justru mampu mewarnai cara pandang dan akhirnya menentukan sikap politik publik dalam memahami kekinian Aceh dan keinginan publik terhadap masa depan Aceh. Kreatifitas dan progresivitas politik inilah yang kemudian menuntun pasangan yang diusung dua partai lokal, PNA dan PDA berhasil meraih simpati tiga partai nasional (PD, PKB, PDIP) dan akhirnya mengalahkan pasangan yang diusung oleh partai lokal terkuat, Partai Aceh. Sementara PA terus mengalami krisis internal, mulai dari pecahnya elit utama PA hingga kompetisi internal paska Pilkada yang oleh publik dimaknai bahwa PA mengarah ke politik konservatisme.
Hari ini, Senin (1/5) PNA seperti sedang menyampaikan pesan politik simbol bahwa PNA sudah menjadi partai yang berhasil menempatkan pemimpin mereka menjadi orang nomor 1 di Aceh, mengalahkan pasangan nomor urut 5. Dan, politik simbol ini akan semakin mengancam keberadaan politik PA jika PNA berhasil merumuskan dirinya sebagai partai politik lokal yang progresif dan modern untuk mewujudkan marwah masa depan rakyat Aceh yaitu kesejahteraan dan kemajuan. Benarkah? Mari kita simak Kongres I PNA. []