Pada 3 Mei 2017, tepat 18 tahun peristiwa Simpang KKA, Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh. Mengenang peristiwa ini bukan sekedar mengingat sejarah bangsa yang penuh luka yang belum diobati, tetapi juga keadilan yang terus diingkari oleh Pemerintah. Selain hak korban, pengabaian ini juga berdampak pada publik yang juga punya hak untuk mengetahui kebenaran sepenuhnya yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran, baik karena pelanggaran itu sendiri maupun untuk memastikan agar peristiwa atau kejahatan-kejahatan serupa tidak berulang di masa kini dan yang akan datang.
Dalam rangka mengenang peristiwa ini para korban dan keluarganya melakukan ziarah dan doa bersama di kuburan para korban, dan dilanjutkan dengan aksi diam di lokasi peristiwa Simpang KKA sebagai bentuk protes atas sikap Pemerintah yang terus mengabaikan pemenuhan hak-hak korban.
Peringatan 18 tahun peristiwa Simpang KKA kali ini bertepatan dengan penyelenggaraan periode ketiga Evaluasi Periodik Universal (UPR) Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations 3rd Cycle Universal Periodic Review) yang diadakan di Jenewa. Forum Sidang UPR empat tahun ini akan dihadiri sebanyak 193 negara termasuk Pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi kinerja pemenuhan, pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
Peristiwa Simpang KKA yang terjadi 3 Mei 1999 merupakan salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Operasi Militer di Aceh. Pada tahun 2000, Komisi Independen Pengusutan Kekerasan Aceh (KIPKA) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/1999-telah melakukan pengkajian dan penyelidikan. Dalam laporan KIPKA disebutkan bahwa pihak yang diduga bertanggungjawab penembakan adalah Kol. Inf Jhony Wahab (mantan Danrem Lilawangsa), Komandan Yonif 113/Jaya Sakti Letkol Inf Bambang Haryana, Komandan Detasemen Rudal 011/1 Mayor Art Santun Pakpahan, Danki Den Rudal Letnan Art Ismail, dan Danru masing-masing pasukan.
Komnas HAM pada 2014 juga telah melakukan penyelidikan projustisia terhadap peristiwa Simpang KKA. Dalam laporan Komnas HAM yang dirilis tahun 2016 menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara, Propinsi Aceh. Dalam peristiwa ini mengakibatkan 23 orang masyarakat sipil mati dibunuh, 30 orang melangalami persekusi. Komnas HAM menyebutkan para pelaku yang diduga bertanggungjawab, terdiri dari; Pangdam Bukit Barisan tahun 1999, Danrem 011/Lilawangsa pada saat peristiwa Simpang KKA, Dandim 0103/Aceh Utara, Danramil Dewantara, Komandan Detasemen Arhanud Rudal 001/Pulo Rungkom dan anggotanya serta pasukan Yonif 113/Jaya Sakti.
Dua Komisi yang dibentuk oleh Negara tersebut telah merekomendasikan agar Pemerintah menindaklanjuti kasus Simpang KKA ke proses hukum. Tetapi hingga saat ini tidak ada satupun pelaku yang diproses hukum-bahkan karier mereka terus menanjak dan memperoleh posisi-posisi penting.
Sesuai prosedur hukum yang berlaku seharusnya bahwa bukti permulaan awal hasil penyelidikan projustisia Komnas HAM ditindaklanjuti oleh penyidik (Kejaksaan Agung). Namun Kejaksaan Agung menolak melakukan penyidikan dengan alasan hasil penyelidikan Komnas HAM belum memenuhi syarat formil dan materiil untuk dinaikkan ke tingkat Penyidikan. Pengembalian Berkas Perkara Simpang KKA oleh Kejaksaan Agung merupakan upaya untuk menghambat proses hukum terhadap kasus Simpang KKA. Kejaksaan Agung sudah menjadi lembaga tameng untuk melanggengkan impunitas (kekebalan hukum bagi para pelaku).
Alasan tidak memenuhi syarat formil dan materiil merupakan persoalan politis penyidik (Kejaksaan Agung) yang tidak punya kemauan untuk melakukan penyidikan. Dalam amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-XIII/2015, 23 Agustus 2016 pada bagian pertimbangan menyampaikan bahwa sesungguhnya penyelesaian pelanggaran HAM berat sudah tidak berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik semua pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM berat sambil menjunjung bekerjanya supremasi hukum di atas pertimbangan lainnya, sesuai dengan amanat pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Atas kondisi itu, kami mendesak Pemerintah agar segera menuntaskan persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai amanat konstitusi UUD 1945 dan berbagai produk peraturan lainnya yang terkait. Jika Pemerintah tidak punya kemauan menyelesaikan secara sungguh-sungguh-tidak tertutup kemungkinan dunia luar atau internasional akan ambil alih urusan.
Presiden Joko Widodo yang telah menjanjikan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu secara berkeadilan dan menghapus impunitas supaya bisa bertindak tegas untuk mengintruksikan Jaksa Agung guna melakukan penyidikan terhadap kasus Simpang KKA, dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat lainnya.
Selain permasalahan mandegnya penyelesaian melalui proses hukum di Pengadilan. Penyelesaian melalui mekanisme non yudisial juga mengalami hal serupa hingga saat ini. Hal ini juga dikarenakan Presiden selama ini hanya menyerahkan persoalan ini dibawah kendali Menkopolhukam. Padahal Presiden Joko Widodo yang secara normatif menyebutkan dalam RPJMN 2015-2019 telah menyatakan akan membentuk Komisi ad hoc/temporer dengan tugas memfasilitasi proses pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu yang berada langsung dibawah Presiden dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presiden. Seharusnya Presiden dapat segera mengimplementasikan janji tersebut dengan membentuk Komite Adhoc/Komisi Kepresidenan. Pembentukan Komite adhoc atau Komisi Kepresidenan dapat menjadi solusi terbaik untuk menjembatani semua persoalan, dan mempercepat proses penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden harus memastikan figur-figur yang mengisi Komite Kepresidenan memiliki integritas, tidak diduga terlibat dalam pelanggaran HAM yang berat dan korupsi, berpihak pada keadilan dan kridibel.
Dalam konteks local Aceh, telah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh melalui Qanun (Peraturan Daerah) No. 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh. KKR Aceh merupakan inisitif lokal Aceh yang memiliki landasan hukum dan konsep yang jelas penyelesaian melalui mekanisme non yudisial-sebagai bagian dari implementasi mandate MoU Helsinki dan Undang-Undang No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Namun kehadiran KKR Aceh belum menjadi diskursus penting dikalangan pemerintah pusat, dan lebih jauh belum ada dukungan politik dan legal secara Nasional untuk memperkuat eksistensi KKR Aceh. Disamping itu juga hambatan lain, Pemerintah Aceh belum mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) terkait Operasional dan Kesekretariatan KKR Aceh. Sikap pemerintah ini berimplikasi terhambatnya kerja-kerja KKR Aceh-lebih dari pada itu terabainya pemenuhan hak-hak para korban. Mengingat urgensinya KKR Aceh-maka Pemerintah Pusat agar memberikan dukungan politik dan legal untuk memperkuat KKR Aceh. Begitu juga Pemerintah Aceh agar segera mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Kesekretariatan dan Operasional KKR Aceh.
Lemahnya dukungan pemerintah ini juga disebabkan oleh ketidakpedulian Parlemen, baik DPR RI maupun DPR Aceh yang selama ini cendrung diam dan membiarkan persoalan rakyat ini berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum. Legislatif seharusnya menggunakan kewenangannya memanggil pemerintah untuk mempertanyakan terkait proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
2 Mei 2017
K2HAU (Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara).
Didukung oleh:
Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) Aceh
KontraS, Koalisi NGO HAM, RPuK, LBH Banda Aceh, AJAR, ELSAM, BSUIA, Flower Aceh, SeIA, AWPF, PKBI Aceh, KPI Aceh, KPI Aceh, SP Aceh, Yayasan Pulih Aceh, KontraS Aceh, Kata Hati Institute, Yayasan Paska Aceh.