ACEHTREND.CO,Banda Aceh- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang lahir karena amanah MoU Helsinki dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), segera mendapatkan tantangan maha berat pasca dibentuk. Sejumlah pihak meminta Pemerintah Aceh untuk segera membubarkannya karena tidak memiliki payung hukum khusus di Jakarta. Di lain pihak, Komisioner KKR Aceh memikul beban berat. Seperti pendekar lambung berdarah, para korban pelanggaran HAM menyandarkan segenap harapan, di sisi lain, KKR Aceh seperti orang dimutilasi. Tanpa anggaran dan tanpa sekretariat.
***
Dibentuk sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, para Komisioner yang terdiri dari Afridal Darmi SH LLM (Ketua), Muhammad MTA (Wakil Ketua), serta lima anggota yaitu Fajran Zein, Mastur Yahya, SH, MHum, Fuadi SHI MH, Evi Narti Zain SE, dan Ainal Madhiah STP. Mereka dilantik pada Senin (24/10/2016) di Gedung Utama DPRA oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah.
Lembaga ini dibentuk dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding Between The Government of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005), Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua, dan para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan Rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang
demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahwa berdasarkan Pasal 230 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya
penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh, yang dibentuk berdasarkan Pasal 229 ayat (1) Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,diatur dengan Qanun Aceh.
Dalam Qanun KKR Aceh, bagian kedua tentang tugas, fungsi dan wewenang, pasal 8 KKR Aceh bertugas:
a. menyusun mekanisme pengungkapan kebenaran, reparasi dan rekonsiliasi;
b. mengumpulkan informasi dari organisasi pemerintah dan organisasi non pemerintah baik nasional maupun internasional, yang dilakukan atas inisiatif organisasi tersebut ataupun permintaan KKR Aceh sepanjang masih dalam lingkup kompetensi KKR Aceh;
c. melakukan penyelidikan untuk mencapai tujuannya termasuk mendapatkan laporan-laporan, dokumen-dokumen, atau bukti-bukti dari pihak berwenang dan badan pemerintah;
d. menerima pernyataan dan bukti lainnya dari para korban, perwakilan, ahli waris atau kerabat korban;
e. bertanggung jawab menjaga kerahasiaan orang yang melapor dan memberikan kesaksian;
f. memberikan perlindungan kepada saksi dan korban serta orang-orang yang terlibat dalam proses pengungkapan
kebenaran, apabila dibutuhkan;
g. menjaga arsip-arsip yang berkaitan dengan pelanggaran HAM untuk mencegah penyalahgunaan dan penghancuran arsip-
arsip dan/atau barang bukti lainnya;
h. melaporkan temuan tentang pelanggaran HAM dan dugaan pelanggaran HAM berat, berdasarkan bukti da fakta yang
telah dikumpulkan, termasuk analisis faktor penyebab dan peristiwa yang melatarbelakangi, motivasi politik dan/atau ekonomi, tindakan dan aktor baik lembaga negara maupun
non-negara serta dampaknya; dan
i. menyampaikan laporan akhir kepada pemerintah Aceh, DPRA, Pemerintah, lembaga-lembaga penegakan HAM dan publik.
***
Kabar tak sedap mulai berhembus enam bulan semenjak Komisioner KKR Aceh dilantik. Tujuh orang “pendekar HAM” dihadapkan pada fakta, KKR Aceh ada tapi tak memiliki nyawa. Sekedar seumpama manekin di etalase toko fashion terkemuka. Sampai sekarang, KKR Aceh belum memiliki sekretariat, juga tak memiliki anggaran.
Di sisi lain seruan agar KKR Aceh dibubarkan semakin kencang disuarakan. Safaruddin, S.H Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) dalam siaran persnya, Jumat (5/5/2017) mengingatkan Pemerintah Aceh bahwa pembentukan KKR untuk Aceh landasannya jelas dengan diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 229 ayat (1) untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh. Ayat (3) Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan ayat (4) Dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh, KKR dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup di dalam masyarakat.
Dari penjelasan ayat pasal 229 ayat (3) YARA menjelaskan, yang dimaksud dengan peraturan Perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah ketentuan di dalam UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR (telah dicabut oleh Mahkamah konstitusi melalui keputusan Perkara Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006).
Dengan dicabutnya UU KKR tersebut, menurut YARA, Aceh telah kehilangan payung hukumnya dalam membentuk KKR di Aceh. “Payung hukum terhadap KKR Aceh merupakan syarat penting, jika tidak ada payung hukumnya bagaimana landasan untuk pengaanggarannya dan kinerjanya, tentu akan menimbulkan permasalahan hukum lainnya di kemudian hari,” kata Safar.
YARA memberi dua solusi, pertama KKR bisa dibentuk kembali di Aceh sampai di sahkannnya UU KKR. Kedua, ketentuan penjelasan dalam pasal 229 ayat (3) tersebut di hapus atau diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
“Kami pada saat akan dibentuknya KKR di Aceh telah menyampaikan kepada Pemerintah Aceh dan DPRA agar memperhatikan landasan hukum dalam menyusun qanun KKR Aceh, namun tidak di tanggapi. Jika sudah seperti ini maka akan timbul masalah lagi terhadap kelembagaan KKR Aceh, bagaimana KKR Aceh mau mengurusi tentang pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi konflik di Aceh jika lembaganya sendiri tidak ada payung hukum yang kuat,” kata Safaruddin.
Untuk itu YARA mendesak kepada Pemerintah Pusat ataupun pemerintah Aceh agar membubarkan KKR Aceh dan membentuk kembali setelah di sahkannya UU KKR, dan YARA akan melakukan kajian untuk melakukan judicial review Qanun No 17 Tahun 2013 tersebut ke Mahkamah Agung karena qanun tersebut bertentangan dengan UU.
Salah seorang Komisioner KKR Aceh Muhammad MTA, Sabtu (6/5/2017) mengatakan pihaknya tidak mau berdebat soal payung hukum. Bilapun ada yang menggugat, itu di luar kewenangan pihaknya. “Itu urusan DPRA dan Gubernur Aceh. Komisioner hanya fokus pada tugas, fungsi dan wewenang seperti amanah Qanun Nomor 17 Tahun 2013,” kata mantan aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).
Lalu bagaimana dengan rencana pihaknya yang berencana mengembalikan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 162/796/2016 Tentang Penetapan Anggota Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Aceh Periode 2016-2021 Tanggal 17 Oktober 2016. Kabarnya akan dilakukan pada pukul 20.00 WIB, Kamis (4/5/2017).
“Ancaman itu ada historinya. Tidak serta Merta lahir tanpa sebab,” kata lelaki yang akrab disapa MTA itu.
MTA bercerita, sejak dilantik enam bulan lalu komisioner terus melakukan komunikasi dengan pihak pemerintah. Terutama terkait ketersediaan kantor dan sekretariat. Tetapi hal tersebut tidak pernah terwujud. Semua pihak di tingkat Pemerintah Aceh sudah berkali-kali diadakan rapat. Tetapi tidak ada solusi.
“Yang paling terasa paska pilkada. Sampai-sampai anggaran tidak bisa dijalankan oleh dinas terkait dengan alasan administrasi. Untuk itu perlu arahan pimpinan di atas, minimal Satu Aceh. Tetapi sampai sekarang solusi tidak pernah ada,” terang MTA.
Hal lainnya yang membuat MTA berang, beberapa waktu lalu Ketua KKR Aceh dipanggil ke kantor Gubernur Aceh. Katanya ada rapat. Sampai di sana tidak ada rapat, justru Ketua KKR Aceh ditunjuk-tunjuk ke wajahnya oleh oknum pejabat yang berbicara sembari berdiri. Si pejabat yang namanya enggan disebutkan oleh MTA, menolak untuk duduk karena beralasan akan menghadiri rapat yang lebih penting di pendopo.
“Itu kan penghinaan kepada kami. Ketika ketua kami dilecehkan seperti itu maka mereka telah menghina kami semua.
Hal itulah kemudian yang membuat kami berang, dan untuk membangunkan Gubernur Aceh atas perilaku bejat pejabat tersebut maka layak kita ancam kembalikan SK jika tidak pernah ada solusi utk KKR,” kata MTA.
Ia berujar, Baru pasca ancaman mundur itu, Barulah pihak kegubernuran sibuk merespon. Mereka segera membuat agenda pertemuan Komisioner KKR dengan Zaini Abdullah. Namun jadwal tersebut terus berubah-ubah dan terakhir, meeting itu akan digelar usai PENAS.
“Tentang pejabat yang menghina kami, nanti akan kami laporkan ke Gubernur Aceh,” katanya.
MATA juga mengatakan, KKR Aceh membawa beban berat. Ada luka sejarah yang harus dipikul oleh para komisioner. Luka, dendam, harapan dan mimpi para korban konflik, telah disandarkan kepada pihaknya.
“Bergerak tanpa anggaran, tanpa sekretariat dan dihadapkan dengan ekspektasi yang luar biasa besarnya dari korban konflik, posisi kami justru berbahaya. Kami berpeluang menjadi public enemy, rentan fitnah. Padahal mandat yang diberikan tak dibarengi keseriusan pemerintah,” katanya.
***
Lalu akankah KKR Aceh akan mampu bertahan? MATA berharap seluruh rakyat Aceh harus mendoakan agar lembaga adat hoc itu terus ada sampai semua persoalan tuntas. Hal itu juga sesuai dengan harapan para korban.
“Doakan semoga KKR Aceh tetap ada untuk mewujudkan cita-cita mewujudkan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh,” kata MATA.
Dalam tiap kesempatan, berbagai organisasi komunitas korban pelanggaran HAM di Aceh selalu berharap agar KKR Aceh bekerja maksimal, bukan hanya sebatas menjalankan tugas, tapi demi tujuan yang lebih mulia, mewujudkan kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh.
Tapi, para korban pun harus berbesar hati. Bila kelak KKR tak berjalan, bukan karena komisionernya berkhianat pada tugas, tapi murni karena anggaran “tak bisa” disediakan oleh Pemerintah Aceh, dengan ragam alasan. []