Malam itu, Doorrrrr . . . Doorrr . . . Senapan Mesin memuntahkan peluru, hatinya mulai gemetar, badannya terasa menggigil, seakan-akan malaikat maut berada disampingnya.
Aku terjatuh bukan berarti aku mengalah,namun aku Terjatuh mengajarkan ku untuk kembali berdiri . .
Dia adalah seorang anak petani, hidup pas-pasan yang diwarnai dengan kesederhanaan. Sejak dari kecil, dia dibimbing dan dibina oleh sebuah keluarga kecil yang tinggal agak jauh dari perkotaan. Didesa, dia disibukkan dengan belajar, bermain dan membantu orang tua, seusai pulang sekolah dia bergegas ganti pakaian untuk segera pergi ketempat pengajian. Meskipun dia tergolong anak yang bodoh, bandel, namun rasa ingin tau yang dimiliki olehnya membuat dirinya untuk terus maju selangkah demi selangkah.
Ganasnya kehidupan yang dijalaninya bukan menjadi sebuah penghalang baginya untuk berkarya. Sejak pertama kali kedua kakinya menginjak lahan pendidikan (SD), di situ dia bingung, karna banyak hal-hal baru yang ditemuinya, mulai dari lingkungan, teman, dan para dewan guru yang ketika itu sangat asing baginya. Selama ini dia hanya mengenal lingkungan rumah, saudara-saudaranya, kedua orang tuanya dan orang-orang yang ada di desanya.
***
Jarum jam mulai berputar, hari-hari yang dilaluinya semakin terasa berat, ketika dia sedang digalakkan untuk belajar, tiba-tiba hal yang tidak diharapkan datang merusak segalanya, mentalnya terjatuh, mimpinya menjadi kelam, cita-citanya mulai pupus, seakan-akan dunia begitu kejam baginya.
Pagi itu di tahun 1999, tiba-tiba suara taburan pecahan kaca terdengar begitu mengerikan, dinding-dinding kokoh jatuh berserakan. Ya Allah, Ternyata Gedung Sekolah dibakar. Pagi itu juga, ratusan pasang mata jadi saksi, ratusan hati jadi pilu, amarah yang tidak bisa tertahankan menjadi linangan air mata, siapa yang tega melakukan semua ini.
Ketika itu semuanya berubah, dia hanya bisa melihat si jago merah dengan lahapnya memakan gedung sekolahnya, mentalnya jatuh, rasa ingin belajarnya kurang, semua yang dilakukannya terasa sia-sia.
Bejat, biadap, kata-kata inilah yang keluar dari mulut orang-orang desa, seakan-akan mereka begitu menaruh kebencian kepada orang-orang yang dengan kejinya melakukan perbuatan terkutuk tersebut, namun apa daya, amarah hanya bisa dikeluarkan dari kata-kata, disebabkan Aceh ketika itu sedang mengalami konflik yang berkepanjangan dengan Negara Republik.
***
Dia hanya terdiam, lidahnya terasa kaku, dia hanya seorang anak kecil yang ingin belajar, namun seolah-olah masa depannya direnggut, dia terpuruk dalam kesedihan, bak bunga yang ingin mekar namun kemarau kunjung tiba.
Namun tak patah arang, motivasi dan bimbingan yang diberikan oleh orang tuanya, dia dipindahkan ke salah satu sekolah yang ada di kota kecamatan, di situ dia kembali bingung, karena harus kembali beradaptasi dengan lingkungan sekolah, teman baru dan guru-guru baru.
Malam itu, Doorrrrr . . . Doorrr . . . Senapan mesin memuntahkan peluru, hatinya mulai gemetar, badannya terasa menggigil,seakan-akan malaikat maut berada disampingnya.
***
Dia hanya anak kecil yang belum tau persoalan apa yang terjadi dinegerinya, apa yang mereka pertahankan, mereka rebut, dan untuk apa mereka bertikai, sehingga ketika itu banyak pertumpahan darah yang dilihat olehnya, nyawa manusia tidak ada harganya, pembunuhan, penyiksaan seakan-akan sudah menjadi kelaziman ketika itu. Dia hanya bisa menangis, ketika melihat tank-tank milik tentara negara Indonesia memuntahkan pelurunya kepegunungan.
Kesedihan dan kepiluan setiap hari dia rasakan, tidurnya tidak nyenyak belajarnya tidak menentu, hingga pada saat itu dia ikut serta meninggalkan kampung halaman untuk mengungsi ke daerah pegunungan bersama orang-orang desa lainnya.
Dikala itu bagaikan mimpi buruk yang jadi kenyataan, dia harus rela meninggalkan bangku sekolah, padahal anak seusia dia sedang digalakkan dengan bermain, kalaulah anak sekarang main perang-perangan dengan senjata mainan, tapi dia dengan teman-temannya ketika itu sudah bermain dengan senjata benaran.
Dipegungan yang bertikarkan tanah berdindingkan rimba, di situ tempat dia dan seluruh orang desa rebahkan badan, dinginnya malam menjadi saksi bisu atas penderitaan yang dialami olehnya beserta orang-orang desanya.
Beberapa hari mengadukan nasib di gunung, akirnya dia beserta orang-orang desa kembali ke tempat kediaman masing-masing, namun apa hendak dikata, ketika mendung hujan pun tiba, hari itu hari yang sangat bersejarah baginya dan seluruh orang-orang yang ada di desanya, tiba-tiba suara pengeras suara berbunyi di surau (masjid): “Diumumkan kepada seluruh penduduk desa agar segera kemaskan barang, sebentar lagi kita akan diungsikan”. Bagaikan petir menyambar pohon, begitulah analogi hati seluruh orang-orang desa. kenapa harus kami (masyarakat) yang terus menjadi korban, apa salah dan dosa apa yang telah kami perbuat . . . ?
Ketika itu dia bingung, dia hanya bisa melihat kedua orang tuanya memasukkan barang kedalam tas, dia ingin bertanya, tapi seakan-akan suaranya tidak keluar. Tdak menunggu lama, dia pun segera pergi ketempat pengungsian. Lagi-lagi dia harus rela berpisah dengan baagku belajar.
Dalam perjalanan, timbul berbagai pertanyaan dihatinya, kemana orang seramai ini akan pergi? Lalu dia bertanya kepada orang tuanya, “ibu, kemana kita akan pergi?” Ketika itu ibunya tersenyum melihat ke arah wajahnya, meskipun linangan air mata membasahi kedua pipi ibunya, lalu ibunya menjawab “kita ikuti saja ke arah mana orang yang ramai pergi”.
Saat itu hari mulai gelap, di situ lah dia melihat sebuah lahan besar yang dipenuhi gedung-gedung kecil, ribuan orang sudah mulai memadati lahan tersebut, dia kembali bingung, tempat apa yang dia datangi, hingga akhirnya dia melihat sebuah palang yang berisikan tulisan, namun sayang dia hanya bisa melihat, disebabkan dia tidak pandai membaca. Apa daya dan upaya, sangat banyak anak-anak yang sebaya dengannya mengalami nasib seperti dirinya.
Di pagi itu, dia dan ribuan orang terbangun dari tidur, disitulah dia melihat begitu ramainya manusia berkumpul disebuah tempat, seakan-akan sudah terjadinya penghakiman dipadang mahsyar. Tidak lama kemudian, dia kembali bertanya kepada Ibunya, “Ibu kita di mana ? “Kita ada di sekolah menengah keguruan (SMK),” sahut ibunya.
SMKN 1 Pasie Raja, menjadi sejarah yang tidak bisa dihilangkan dipikiran orang-orang dikecamatan tersebut, tempat dimana ribuan orang menyelamatkan nyawa di sekolah yang terkenal megah di era 90-an di kala itu.
***
Leuh bak rimueng, mekemat bak buya (lepas dari harimau,berhadapan dengan buaya) pribahasa itulah yang sehari-hari ketika keluar dari mulut masyarakat, kenapa tidak, ternyata penderitaan semakin hari semakin subur, tidak hanya di desa, di tempat pengungsian, muntahan timah panas saban hari dikeluarkan, belum lagi berbagai penyakit kulit mulai menjamah, kekurangan air bersih dan kurangnya obat-obatan menjadi kendala di saat itu.
Apa yang harus dilakukan, ketika kita hanya mangsa saat itu. suara senapan tidak asing lagi ditelinga, seakan-akan sudah menjadi musik tidur siang. Waktu itu dia sudah mulai mengerti, waktu itu dia sudah faham fenomena apa yang terjadi dinegerinya.
***
Dengan tiba-tiba, di siang itu. . Dooooorrrrr Dooorrrrr Dooooorrrr . . . . “Lari-lari . . . ” Terdengar salah seorang laki-laki berteriak dari arah jauh. Saat itu tangannya digenggam oleh ayahnya untuk lari dari tempat pengungsian menuju semak-semak belukar, agar tidak terlihat dari pasukan berbaju coklat muda dikala itu.
Kurang lebih 2 minggu ditempat pengungsian, akirnya dia dan seluruh penduduk kembali kedesa.
Perjalanan hidup yang dilalui semakin hari semkin memburuk, buktinya, sepulang dari tempat pengungsian, dia jua tak kunjung duduk dibangku belajar. Anak-anak yang sebaya dengannya juga mengalami nasib yang sama, mereka bagaikan tumbal di kala itu. Selama ini buku tulis yang saban hari mereka jinjing berubah dengan jinjingan tas yang berisikan baju, papan tulis yang selama ini mereka lihat, kini hanya tinggal kenangan.
Kedua mata mereka tidak lagi menawarkan keindahan, hanya kebencian dan dendam yang setiap harinya terlintas di kepala mereka.
***
Bangsa ku, Tanah air ku, Tapi kenapa kami bagaikan orang asing di negeri kami sendiri . . .
Semenjak pertikaian kedua belah pihak itu terjadi, sangat banyak orang-orang yang dirugikan, yang paling sangat fundamental adalah, ruginya pendidikan bagi generasi bangsa.
***
Hari itu ditahun 2000, dia sudah agak sedikit tersenyum, karna dia dan teman-temannya sudah bisa kembali mencicipi dunia pendidikan, meskipun hanya bisa belajar di gedung sekolah yang dipenuhi arang. Dia sudah mulai bermain seperti biasa, meskipun dia belum sembuh dari trauma yang melandanya, mentalnya masih lemah, nafsu belajarnya masih kurang.
Ketika dia dan teman-temannya sedang disibukkan bermain di halaman sekolah, tiba-tiba dorrrrr dorrrrr dorrrr . . Lagi-lagi timah panas dilepaskan dari sarangnya.
Ketika itu dia hanya bisa pasrah dengan teman-temannya, linangan air mata mulai mengalir membasahi kedua pipinya, hatinya gemetar, jantungnya berdenyut, seakan-akan dia bagaikan tahanan di kala itu.
Seusai pertikaian itu terjadi, dia beserta temannya bergegas kembali pulang, sesampai di rumah dia melihat linagan air mata diwajah ibunya, ternyata siapa sangka, ketika itu ibunya baru saja disodorkan senapan mesin oleh salah satu pihak yang bertikai, mereka menanyakan dimana tempat persembunyian lawan mereka.
Saat itu mentalnya benar-benar melemah, dia hanya bisa menangis, karna belum pantas anak seusianya mengalami hal-hal yang sedemikian rupa, semuanya sirna, dia hanya berpikir kapan saatnya nyawa terpisah dari badan.
Dia hanya anak desa, tapi dia punya mimpi, dia punya cita-cita, tapi dengan sekejab semuanya direnggut darinya . . .
Wahai negeri yang berjulukan ibu pertiwi, kemanakah naluri seorang ibu, dimanakah belai kasih sayang layaknya seorang ibu, apakah julukan itu hanya sekedar sebutan semata, ataukah itu hanya kata-kata ukiran dikertas yang dengan mudah terhapus oleh tangan manusia.
Kini dia bersama teman–temannya sudah dewasa, dia sudah mengerti persoalan apa yang selama ini terjadi di negerinya, semoga sejarah kelam tidak akan pernah terulang kepada generasi selanjutnya.[]