Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh adalah sebuah paradoks. Semacam buah simalakama. Diamanahkan oleh MoU Helsinki, tapi “ditolak” oleh Jakarta secara halus. Rezim Abua yang “sukses” melahirkan Qanun KKR, pun setengah hati dalam bekerja.
***
Berbagai eksponen korban pelanggaran HAM di Aceh marah kepada Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Mereka menuding Safaruddin adalah pihak yang “diutuskan” oleh pihak lain untuk membuat gaduh. Lembaga yang selama ini konsen mendampingi rakyat kecil itu, dinilai lancang karena telah menyerukan agar KKR Aceh dibubarkan.
Ya, dilihat sepintas memang Safaruddin dan YARA-nya memang sangat keterlaluan. Seakan-akan tanpa mempertimbangkan kisah panjang perjuangan korban dan segenap elemen Sipil seperti Koalisi NGO HAM Aceh, KontraS Aceh, dan ragam organisasi lainnya, YARA begitu mudahnya meminta agar KKR Aceh dibubarkan, hanya karena tidak lagi memiliki cantolan hukum di Jakarta. Bagi Safar, hanya dengan bermodalkan semangat semata, KKR Aceh bermasalah.
YARA mengingatkan Pemerintah Aceh bahwa pembentukan KKR untuk Aceh landasannya jelas dengan diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 229 ayat (1) untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh. Ayat (3) Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan ayat (4) Dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh, KKR dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup di dalam masyarakat.
Dari penjelasan ayat pasal 229 ayat (3) YARA menjelaskan, yang dimaksud dengan peraturan Perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah ketentuan di dalam UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR (telah di cabut oleh Mahkamah konstitusi melalui keputusan Perkara Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006).
Dengan dicabutnya UU KKR tersebut, menurut YARA, Aceh telah kehilangan payung hukumnya dalam membentuk KKR di Aceh. Payung hukum terhadap KKR Aceh merupakan syarat penting, jika tidak ada payung hukumnya bagaimana landasan untuk pengaanggarannya dan kinerjanya, tentu akan menimbulkan permasalahan hukum lainnya di kemudian hari.
***
Dicabutnya UU KKR Nasional tentu tidak bisa dilihat sebagai proses alamiah semata. Ada cita-cita politik yang sedang dimainkan. Orang-orang yang mengaku nasionalis di Jakarta tentu tak ingin dituntut oleh rakyat Aceh yang dalam beberapa dekade lampau telah dinyatakan oleh Republik Indonesia.
Dilihat secara payung hukum, cantolan secara nasional memang sudah tidak ada lagi. Lex specialits UU Nomor 11 Tahun 2006 pun, khusus terkait KKR masih menyandingkan diri pada KKR Nasional. Artinya, tatkala UU tentang itu dihapus, maka mensokhlah amanah pelaksanaan KKR yang termaktub dalam UUPA.
Namun, lagi-lagi KKR Aceh bukan produk normatif. Ia lahir karena proses gugatan politik. Bertahun-tahun tak pernah maujud, hingga akhirnya disahkan oleh DPRA dalam bentuk Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013. Sebagai produk hukum yang lahir karena tuntutan politik, melihat keberadaannya juga tidak boleh seperti memandang UU biasa yang dilahirkan karena kesepakatan bersama di Jakarta. KKR Aceh adalah produk politik.
Semenjak dibentuk oleh DPRA, KKR Aceh mengalami ritme yang pasang surut. Berlarut-larutnya proses pelaksanaan Qanun, permainan saat menentukan komisioner, hingga pada 2017, komisi i i tidak kunjung mendapatkan sekretariat dan dana lainnnya. Sehingga mereka tertatih-tatih di tengah ekspektasi yang luar biasa dari keluarga korban. Ibarat menikahi gadis rupawan dari kelas Jetset, komisioner KKR Aceh sedang mengemban mission imposible.
Punca masalah adalah pihak SKPA terkait, enggan mencairkan dana untuk KKR Aceh karena ragam alasan. Alasan utama tentu tidak adanya nomenklatur yang bisa dijadikan rujukan pembenar. Hal ini yang kemudian membuat komisioner KKR berang. Pihak kegubernuran baru memberikan respon setelah adanya ancaman pengembalian SK oleh komisioner. Itupun pertemuan yang dijanjikan tak kunjung bermuara. Kabar terakhir Gubernur Aceh Zaini Abdullah baru akan bertemu dengan komisioner KKR, pasca Penas digelar.
Punca masalah ada di pihak Abua Doto. Tokoh politik GAM yang kini menjabat Gubernur Aceh dinilai kurang tanggap perihal KKR. Ia semestinya tahu bila Qanun KKR tidak memiliki cantolan di pusat. Ia pun tahu bahwa ia memiliki kewenangan untuk membuat pergub kesekretariatan KKR Aceh agar SKPA terkait bisa mencairkan anggaran untuk lembaga tersebut.
Selama ini banyak hal yang jauh tidak lebih penting dari KKR bisa dilakukan terobosan oleh Abua Doto. Sehingga uang Aceh jor-joran dihabiskan untuk proyek-proyek yang tidak jelas juntrungannya. Bahkan Abua sepertinya lebih serius menyoal KEK Arun daripada KKR Aceh. Apakah karena KEK Arun ada simbiosis mutualisme untuk kroninya dan KKR tidak? Entahlah.
Pada akhirnya, korban dan keluarga korban harus memahami, YARA bukanlah musuh mereka. Karena Safar bukan siapa-siapa di dalam menyusun niat baik bagi masa depan Aceh. Korban dan keluarga korban harus melihat bahwa Abua Doto sebagai main actor dalam masalah ini. Abua di penghujung masa jabatannya harus lebih sering dibangunkan, agar tidak terlelap. Abua harus dikasih tahu bahwa KKR Aceh jauh lebih penting ketimbang memborong semua proyek APBA untuk kroninya yang sedang memburu rente di detik-detik terakhir. []