Di Aceh terkenal dengan stigma peng griek atau peng bicah. Ini stigma untuk mereka yang bersedia meninggalkan ideologi. Cara bagi pejuang untuk mencegah pengkhianatan atas perjuangan.
Tapi soal penguasaan rupiah juga bisa menunjukkan pola perubahan zaman. Jika di zaman perang jumlah orang menentukan, tapi untuk zaman sekarang dan ke depan, jumlah penguasaan atas uang mampu menggerakkan orang.
Itu artinya, meminjam pencermatan politisi muda Ryan R. Syafruddin mayoritas versus minoritas meski masih sah secara tekstual, tapi secara kontekstual sudah kehilangan daya pengaruhnya.
Lembaga Oxfam, dalam laporan awal tahun, menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, ini setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Disebutkan juga, hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya itu bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya, lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan akan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan.
Orang-orang yang kaya karena adanya dukungan kebijakan ini, pada masa Indonesia dihantam badai krisis tahun 1997, bukannya menolong tapi justru memanfaatkan fundamentalisme pasar dengan mempengaruhi kebijakan dengan mengorbankan banyak hal.
Gaji buruh rendah dan ketidakamanan kontrak kerja menjadi unsur penyumbang ketidakserataan ekonomi. Demikian pula akses dan infrastruktur tidak merata antara daerah pedesaan dan perkotaan, seperti misalnya penyediaan listrik dan jalan raya. Belum lagi, konsentrasi kepemilikan tanah di tangan perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang kaya.
Itu artinya kekuatan mayoritas apapun, pribumi, agama, ideologi, dan suara sudah tidak lagi bermuara pada hadirnya kebijakan yang oleh Soekarno disebut “semua untuk semua.” Dengan kekuatan uang, minoritas yang hanya empat orang mampu menggerakkan mayoritas untuk terus menerus memberi jalan bagi minoritas menjadi pengendali keadaan, penentu arah jalan Indonesia. Indonesia mau bagaimana sudah tidak lagi ditentukan oleh kekuatan yang didapat dari mayoritas, melainkan kekuasaan yang diberikan oleh mayoritas berdasarkan kemauan minoritas diri tapi mayoritas atas uang.
Maka tidak ada lain cara, Pemerintah Aceh harus pandai-pandai bernegosiasi dengan para orangkaya. Segenap kerjasama hendaknya yang saling menguntungkan dan membuka jalan bagi terwujudnya Aceh yang lebih setara, bukan yang makin memiskinkan si miskin dan mengayakan si kaya. Dengan rakyat yang lebih setara, semua fokus pada usaha membaikkan dan memajukan Aceh, dan stigma politik Peng Griek pun tidak muncul lagi. []