Hingar bingar harga bawang putih yang sedang memuncak, semua ikut sibuk. Tidak lama lagi Presiden dan para Menteri akan kembali disibukkan dengan harga beras yang melambung tinggi, terutama di Ibu Kota Negara Jakarta. Saat ini harga beras paling jelek sudah menyentuh level Rp. 10.000,- per kg dan yang medium bawah ke tengah sudah di angka Rp. 11.000 – 12.000 per kg. Apabila harga ini berahan dalam waktu yang lama, maka dipastikan para Menteri dan Bulog akan kembali dengan jurus mautnya, Sidak dan Operasi Pasar.
Dalam pemberitaan yang dilansir beberapa media bahwa Bulog memiliki stock beras sekitar 2,4 juta ton. Mari kita analysis apakah jumlah ini mencukupi untuk operasi pasar di Jakarta dan sekitarnya, yang jumlah penduduknya sekitar 20 juta orang. Menurut BPS, kebutuhan beras adalah 3 ons tiap hari per orang. Jadi di Jakarta dan sekitarnya perlu ada persediaan beras sebanyak 6.000 ton perhari. Artinya stock Bulog yang 2,4 juta ton ini cukup untuk operasi pasar selama 400 hari. Mari kita tunggu apa operasi pasar ini akan effektif atau pasar akan selalu berjalan menurut mekanisme pasar alamiah dan harga beras tidak akan banyak berubah ?
Lalu akar persoalan (root problem) sehingga harga beras bertengger begitu tinggi di Jakarta? Kalau ada tuduhan bahwa pedagang berspekulasi dan menimbun barang, perlu pemahaman lebih jauh karena prinsip dagang membutuhkan stock yang cukup untuk mempertahankan harga, lalu kenapa mereka yang punya stock dikatakan penimbun. Kalau kemudian Bulog menyimpan 2,4 juta ton beras, apakah tidak disebut menimbun?
Mekanisme pasar selalu menganut dua parameter pokok yaitu suply and demand. Di Republik yang kita cintai ini, yang tidak ada parameter dalam ilmu ekonomi adalah isu. Parameter isu akan sulit terukur karena dia bertengger dalam bayang-bayang, namun peranannya sangat krusial dalam perubahan harga. Isu yang sangat dominan adalah kelangkaan barang dan konflik sosial, sehingga sesaat permintaan tiba-tiba meledak dan harga melambung tinggi. Kita bersyukur bahwa Indonesia sudah mampu meredam isu ini dengan situasi dan kondisinya sudah lebih kondusif. Sehingga parameter utama yang tersisa saat ini adalah Suply, karena Demand beras tidak banyak berubah, tetapi Sulpy sangat berperan dalam menentukan harga pasar.
Ada apa dengan Suply beras? Menurut data yang disampaikan pemerintah, luasan panen padi saat ini melimpah, jumlah panen mestinya berkorelasi dengan harga beras yang murah. Apa yang terjadi hari ini adalah pola/model lama estimasi dan proyeksi data, tanpa memasukkan Parameter baru yakni perubahan iklim dan pemanasan global. Menurut analisis TAC (Tropical Agriculture Center) ternyata inilah yang jadi biang keladi utama. Mari kita hitung secara kualitatif. Saat ini harga gabah kering panen sawah sekitar Rp 4.200,-, tetapi rendemen kering sawah jadi beras hanya sekitar 43%. Padi dari gabah jadi beras biaya per kg sudah tembus Rp. 9.800,-. Sampai grosir Jakarta sudah Rp. 10.100,-. Maka wajarlah kalau harga beras medium tengah bawah di Jakarta eceran berharga Rp. 11.000 – 12.000 per kg ? Dimasa lalu standar kering sawah jadi beras adalah 54%, jadi dengan harga gabah kering sawah Rp. 4.200,- biaya produksi beras adalah maksimal Rp. 7800,- beras sampai Jakarta Rp 8.000,-, jadi wajar dimasa lalu harga eceran Jakarta disekitar Rp 9.000,- per kg.
Apa dampak perubahan iklim dan pemanasan global terhadap padi, sehingga Rendeman hanya tinggal 43% dari jaman dulu yang 54% ? perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan daun tempat fotosintesis padi kepanasan. Loss energy sangat besar karena C- terfiksasi bahan organic kembali teroksidasi menjadi C O2 yang menguap karena Respirasi padi yang tinggi. Padi gagal mendeposit makanan dalam jumlah yang cukup.
Padi mengalami pematangan dini, rata rata 10 hari lebih cepat. Pengisian tidak maksimal, hanya sekitar 70%, jadi rendemen beras turun drastis karena score kulit dan beras meningkat dan beras jadi remuk ikut menjadi bekatul dalam jumlah yang banyak. Jadilah beras berendemen hanya kisaran 40%. Jadi meskipun luasan panen tidak berkurang, tetapi padi yang jadi beras berkurang 11%. Inilah kondisi rilnya, mari berbenah, jangan terlena dengan estimasi konvensional kalau tidak mau negara akan bergolak, kuncinya adalah isi perut. Kita sadar dengan kondisi ini, kenapa tidak berbuat sekarang. Tamah kupi sikhan.