Oleh Dili Munanzar*)
12 tahun silam, peristiwa bersejarah tercipta untuk tanah Aceh. Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat untuk berdamai setelah terlibat konflik 30 tahun yang merenggut hampir 15 ribu korban jiwa. Perjanjian damai yang dicetuskan Wakil Presiden kala itu, Jusuf Kalla, ditandatangi di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Indonesia diwakili Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, sedangkan GAM mengutus Malik Mahmud Al Haytar untuk menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) tersebut.
Sejumlah kesepakatan diteken, yang intinya GAM mencabut tuntutan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Sedangkan Pemerintah Indonesia memberi kebebasan kepada GAM untuk membentuk partai politik dalam rangka menjamin kehidupan berdemokrasi mereka. Indonesia juga sepakat untuk membebaskan tahanan GAM.
“Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara terhormat bagi semua pihak, dengan solusi yang damai, menyeluruh, dan berkelanjutan. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.”
12 Tahun setelah Perjanjian Damai RI-GAM banyak perubahan yang terjadi di Provinsi Aceh, beragam isi perjanjian damai pun telah terwujud baik reintegrasi sosial maupun ekonomi eks combatan dan masyarakat Aceh secara keseluruhan, namun kita tentunya tidak menutup mata pula ada hal-hal yang masih sangat miris dan masih terjadi di kehidupan sosial maupun ekonomi khusunya eks combatan Gerakan Aceh Merdeka.
Salah satunya Mawardi, pria kelahiran Batee Pila, Alue papeun, Nisam Antara ini kesehariannya dia hanyalah seorang Buruh Harian Lepas (BHL) di sejumlah perkebunan pinang di Gampong Alue Papeun. Sebelum perjanjian damai helsinky, Wardi sapaan yang kerap dikenal oleh masyrakat sekitar ini dulunya merupakan salah seorang “Pateng” (penjaga ring 1) sejumlah petinggi GAM yang bersembunyi di belantara hutan Nisam Antara.
Pria berpostur kecil ini bertempat tinggal di Dusun Drien Kawan, Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara Kabupaten Aceh Utara, rumahnya terlihat sederhana sekali, meskipun hanya sebagai pekerja harian lepas di sejumlah perkebunan warga ia telah mampu membangun sebuah “istana kecil” untuk kedua putranya yang diperoleh dari seorang istri yang ia sunting 4 tahun silam. Dari hasil upah yang diberikan pemilik kebun serta bantuan istri yang giat mengantar kerupuk ubi ke beberapa kios di seputaran ia tinggal, dia dan keluarganya merajut perekonomian selama ini.
Rumah berkontruksi papan dan berlantai tanah seluas 3×4 inilah Mawardi dan keluarganya berlindung dari terpaan hujan dan terik nya matahari, tidak ada keputusasaan di wajahnya. Ia terus melanjutkan kehidupannya bersama keluarga, meskipun cipratan dana reintegrasi belum ia rasakan selama 12 tahun damai bersemi di nanggroe indatu. Sepenggal kata dari mawardi untuk pemimpin negeri “Perjuangan Aceh Meurdekha njoe Muhai that, adak muploeh trilitun dibaye le RI getanjoe bek sagai tuwoe Amanah Wali Alm.Hasan Di Tiro.”
Kehidupan Mawardi salah satu dari sekian contoh kehidupan eks kombatan di masa Damai bersemi. 12 tahun sudah MoU Helsinky ditandatangangi oleh kedua belah pihak, namun masih menyisakan berbagai persoalan sosial ekonomi dikalangan eks combatan maupun keselurahan masyarakat Aceh, selama 10 tahun (2008-2017), Aceh telah menerima Dana Otonomi Khusus sebesar Rp 59,87 Triliun.
Total Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) mencapai Rp. 13-14 Triliun per tahun.
Dari jumlah dana yang sangat fantastis itu,belum mampu mensejahterakan eks kombatan maupun Rakyat Aceh secara keseluruhan.Semoga pemimpin Aceh mampu mewujudkan cita cita perdamaian serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh. Perdamaian ini merupakan batu loncatan untuk seluruh warga Aceh menatap masa depan lebih baik. Memang naif jika tidak ada rintangan mewujudkannya. Tapi kami sadar, Pemerintah Aceh harus bekerja keras.
*) Penulis adalah sarjana yang memilih berdikari di sektor swasta. Mantan aktivis mahasiswa di Universitas Almuslim.