ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Direktur Aceh Institute Dr. Fajran Zein berharap, HUT RI ke 72 kali ini ada sesuatu yang signifikan yang bisa didapat oleh Aceh dalam hal penegakan hak asasi manusia (HAM) demi kelangsungan kedamaian di Aceh.
“Selama ini HUT RI hanya menjadi ritual rutin saja saya lihat, yaitu kebahagiaan yang dibalut dengan pesta rakyat, kegiatan-kegiatan yang menurut saya hanya melenakan rakyat, tapi pada kenyataannya tidak demikian,” katanya saat bincang-bincang dengan AceHTrend, Kamis (17/8/2017).
Namun katanya, setelah pesta usai masyarakat kembali terjebak dengan kehidupan berbiaya tinggi, fasilitas mahal serta belum memadai, potret itu menurut Fajran terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
“Menurut saya kemerdekaan ke 72 tahun ini belum memberikan makna apapun bagi masyarakat Aceh, terutama terhadap penegakan hukum dan HAM,” katanya.
Dia menyebutkan, kasus HAM di Aceh yang diusut oleh Komnas HAM dan diserahkan pada Kejaksaan untuk kemudian ditindaklanjuti ditolak karena dianggap kurang lengkap dan Komnas HAM diminta untuk melengkapi data itu kembali, padahal menurutnya data tersebut sudah sangat lengkap.
Oleh karena itu, Kendatipun usia Republik Indonesia tak lagi muda namun perubahan masih jalan di tempat.
Fajran mengungkapkan, ketika Jokowi dipilih menjadi presiden karena dia adalah orang sipil dan diharapkan mengerti tentang sipil, namun kenyataannya belakangan ini Jokowi malah dinilai anti demokrasi.
Fajran juga sangat menyayangkan ketika orang-orang yang berada di lingkaran Jokowi adalah orang- orang yang tersandung kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Misal katanya, di dalam konteks Aceh pihaknya ingin merealisasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sementara payung nasional belum ada, sehingga harus meminta kepada pusat untuk mengadakan payung hukum di nasional, sementara di sana Menkopolhukamnya adalah Wiranto.
“Apalakah mungkin Wiranto mengabulkannya, sementara dia sendiri adalah orang yang dicekal di Amerika gara-gara kasus pelanggaran HAM,” katanya.
Begitupun, kata Fajran, awalnya Menteri Pertahanan adalah Ryamizard Ryacudu, kemudian masuk nama Luhut Binsar Panjaitan.
Fajran melihat kondisi saat ini memang sangat anomali semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal itu katanya belum lagi berbicara tentang ekonomi, budaya, sosial dan segala macam, seperti harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pangan yang terus meroket, penghapusan subsidi, kemudian bertambahnya angka pinjaman ke luar negeri dan segala macam.
Soal Undangan-undang Pemerintah Aceh (UUPA), Fajran menilai pemerintah pusat telah melakukan tindakan semena-mena dalam mencabut dan merevisi pasal-pasal yang ada dalam UUPA.
Menurutnya, pengesahan rancangan UU Pemilu yang telah mereduksi dua pasal UUPA tentang Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panwaslih Aceh memang dapat dilihat dari sisi positif dan negatifnya.
“Positifnya, kita ingin pemilu yang berkualitas itu dilakukan oleh penyelenggara yang berintegritas, tentu rekrutmen harus dilakukan oleh lembaga di luar parlemen, dengan demikian saya yakin akan lebih berintegtitas dan bebas dari kepentingan,” katanya.
Bayangkan saja kata Fajran, kalau yang rekrutbpenyelenggara pemilu atau pilkada adalah anggota DPRA maka sudah barang tentu akan melahirkan orang-orang yang berafiliasi dan berkepentingan dengan DPRA. Namun, apabila rekrutmen dilakukan oleh tim yang independen akan maka akan melahirkan penyelenggara yang berintegtitas.
Namun, katanya, yang menjadi masalah adalah mekanismenya pencabutan kedua pasal tersebut yang menyalahi aturan.
“Kalau dari segi konten tidak ada masalah, yang menjadi persoalan dari segi mekanisme. Pemerintah Indonesia mencabut tanpa mengikuti mekanisme yang ada, maka ke depan juga ditakutkan persatu-persatu pasal di UUPA semuanya diambil, “katanya. []