Tak lebih dari 100 hari dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh (2017-2022), ada harapan besar di pundak Sang Captain (baca: Irwandi Yusuf) demi membangun rekonsiliasi paska konflik yang lebih solid setelah satu dekade MoU Helsinki. Kehadiran KKR Aceh sebenarnya cukup memberikan angin segar terhadap upaya ini. Apalagi, institusi ini telah diamanatkan dalam gentlemen agreement antara Pemerintah Indonesia dan GAM di tahun 2005 silam. Dan sesuai dengan proram kerja ‘Aceh Ade’ yang ditawarkan oleh sang Captain pada masa kampanye sebelumnya.
Dalam kerangka peacebuilding, rekonsiliasi merupakan tujuan utama dalam mencegah keberulangan kekerasan maupun konflik kembali dan membangun perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace). Hal ini menurut Lederach (1997) – yang bersandar pada ide Galtung (1967) – bertujuan mentransformasikan masyarakat dari budaya kekerasan kepada budaya damai. Atau menurut idealisme Pugh (2000), mampu me-regenerasi-kan budaya damai dalam masyarakat pasca konflik yang hilang akibat periode kekerasan, sehingga mampu memprioritaskan kembali pembangunan manusianya.
Lazimnya, berbagai kawasan yang pernah mengalami konflik kekerasan maupun rezim represif mengimplementasikan mekanisme keadilan transisional (Transitional Justice) sebagai ikhtiar dalam rangka pemenuhan keadilan bagi korban (victim-oriented), demi tercapainya rekonsiliasi. Berbeda dengan konsep Disarmament, Demobilization, & Reintegration (DDR) yang berorientasi pada aktor konflik (actor-oriented) ataupun pembangunan kapasitas (capacity building) yang berorientasi pada pemerintahan (governance-oriented) dan masyarakat (society-oriented). Secara tradisional, konsep ini dapat berupa pengungkapan kebenaran, peradilan, reparasi, dan/atau mekanisme alternative demi mencegah keberulangan kekerasan seperti amnesty terhadap pelaku (sebagai bargaining untuk pengungkapan kebenaran seperti yang berlaku di Afrika selatan), reformasi institusi, pemberlakuan regulasi, pencopotan jabatan, memorialisasi, serta apapun yang terkait dengan kepentingan korban.
Tantangan
Dalam konteks Aceh, konsep keadilan transisional telah termaktub dalam MoU Helsinki. Diantaranya tentang pengadilan HAM, reparasi, ratifikasi kovenan internasional tentang HAM, reformasi institusi militer dan keamanan di tingkat lokal, serta mekanisme pengungkapan kebenaran. Khusus yang disebutkan terakhir ternyata cukup menyita waktu dan tenaga berbagai stakeholders of peace beberapa tahun belakangan. Padahal ruh pemenuhan keadilan paska konflik terletak pada “kebenaran yang terungkap dan diungkapkan”. Walaupun akhirnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang bertugas mengungkap kebenaran, terbentuk dan bekerja sejak akhir 2016 silam.
Meskipun telah diamanatkan dalam gentlemen agreement, berdiri dan berjalannya KKR Aceh ternyata harus apoh-apah menghadapi berbagai tantangan. Beberapa diantaranya seperti: sense of victimhood yang kian menyusut di kalangan masyarakat korban, meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat korban terhadap penyelesaian pelanggaran HAM oleh institusi Negara, minimnya dukungan dari Pemerintah yang notabene merupakan bagian dari aktor konflik masa lalu, berkurangnya perhatian dan prioritas masyarakat di level nasional maupun internasional terkait Aceh paska konflik, serta kurangnya sosialisasi tentang KKR bagi masyarakat. Apalagi, program reparasi dalam bentuk kompensasi telah mulai dilakukan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sejak 2006 (baca: Diyat). Dalam pandangan penulis, program ini pun sebenarnya mengalami tumpang tindih dalam implementasi konsep DDR, capacity building dan keadilan transisional. Sehingga banyak muncul anggapan bahwa kompensasi adalah “tanda penghentian klaim” serta terkesan tidak transparan dan akuntabel. Akhirnya, persepsi negative tak jarang dialamatkan kepada lembaga ini.
Berkaca pada KKR lainnya ataupun institusi dengan fungsi yang sama di berbagai kawasan paska konflik maupun rezim represif lainnya, pembentukan KKR lazimnya merupakan langkah awal dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Laporan yang dihimpun oleh KKR menjadi dasar utama ataupun rekomendasi dalam melakukan langkah-langkah selanjutnya dalam rangka pemenuhan keadilan bagi korban, termasuk reparasi, memorialisasi, refromasi institusi, dsb. yang harapannya mampu berujung pada rekonsiliasi (islah).
Sama halnya di Aceh, implementasi KKR di kawasan lainnya pun memiliki tantangan yang tidak jauh berbeda, seperti masih kuatnya legacy kekuasaan dari aktor konflik sebelumnya di Brazil, Indonesia, dan hampir diseluruh kawasan paska konflik dan rezim represif; tensi permusuhan di tingkat grassroots yang masih ‘panas,’ seperti yang terjadi di Kosovo; kondisi demokrasi dan institusi pemerintahan yang masih lemah seperti di Rwanda, Kamboja, dan Hungaria; lebih dari satu aktor yang melakukan pelanggaran HAM seperti di Filipina selatan; menguatnya identitas satu kelompok dan mendiskreditkan kelompok lainnya seperti yang terjadi di wilayah bekas Yugoslavia ataupun paska politik apartheid di Afrika Selatan; dsb.
Hematnya, berbagai realita yang mempengaruhi keadaan paska konflik maupun rezim represif (transisi), mengkonstruksikan orientasi konsep dan implementasi keadilan transisional itu sendiri. Begitu pula halnya yang berlaku di Aceh, walaupun gentlemen agreement memiliki “legitimasi” yang diakui oleh Hukum Internasional (apabila GAM dianggap sebagai belligerent). Namun ketika diturunkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), orientasi keadilan transisional mengalami penyesuaian merujuk pada perundang-undangan yang berlaku, plus ‘sentuhan’ politik dan kepentingan di dalamnya.
Keberulangan kekerasan
Meskipun demikian, berjalannya fungsi KKR Aceh yang bertujuan menciptakan rekonsiliasi dengan bersandar pada konsep keadilan transisional perlu di-urgensi-kan. Pasalnya, trend konflik kekerasan di Aceh selalu timbul tenggelam, terutama setelah kemerdekaan Indonesia (1945). Legacy politik pemisahan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang berujung pada tercetusnya perang Cumbok dan revolusi sosial di tahun 1946. Paska konflik, pimpinan Aceh saat itu melahirkan beberapa resolusi, termasuk membentuk majelis peunimbang (wiseman’s chamber) yang mengumpulkan dan mengelola harta para uleebalang. Ada keraguan sejauh mana reparasi terhadap korban dilakukan, namun upaya rekonsiliasi tidak berjalan.
Begitu pula yang terjadi paska pemberontakan DI/TII. Memang benar terdapat poin pemberian kompensasi terhadap para non-kombatan yang menjadi korban, tetapi tidak ada penjelasan sejauh mana kompensasi itu diberikan dan kepada siapa. Apalagi dengan lahirnya perjanjian Lamteh, DI/TII di Aceh terpecah menjadi dua, antara yang menyerah dan yang melanjutkan perjuangan bersama Teungku Daud Beureueh. Alhasil hal ini melemahkan kekuatan DI/TII sendiri yang berujung pada kembalinya Teungku Daud Beuereuh ke pangkuan ibu pertiwi di pertengahan 1962. Paska turun gunung, penguasa militer Aceh saat itu menggelar Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA), semacam kenduri akbar yang melahirkan “Piagam Blangpadang” di akhir tahunnya. Esensinya ialah “melupakan yang terjadi di masa lalu, dan menatap masa depan yang lebih cemerlang.” Tindak lanjutnya, program rekonsiliasi dengan mekanime reparasi dilakukan tanpa pengungkapan kebenaran dan pendataan korban terlebih dahulu. Lagipula, program reparasi ini dilekatkan pada rencana pembangunan daerah yang bersifat generic, bukan yang berorientasi korban (Zain, 2016). Terlebih beberapa pelanggaran HAM yang cukup dikenal pada masa itu tidak diselesaikan dengan baik, salah satunya Tragedi Pulot Cot Jeumpa (1954). Tragedi ini sendiri cukup menyita perhatian diaspora Aceh di luar, termasuk Hasan Tiro yang mengecam perlakuan militer – yang dikenal dengan Tentara Pancasila – ketika ia masih menjadi staf Kedubes Indonesia di New York.
Kemudian ketika Aceh tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dalam kurun waktu 1960an – 1970an, pemberontakan kembali lahir di tahun 1976 (Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin oleh Hasan Tiro. Menariknya, legacy DI/TII masih begitu tampak dengan bergabungnya para keluarga mantan kombatan yang menjadi korban dalam perjuangan GAM. Dari sini terlihat bahwa rekonsiliasi yang dilakukan sebelumnya tidak berjalan efektif. Hal ini menjelaskan bahwa pembangunan tidak selalunya berkorelasi positif dengan pencegahan konflik kekerasan.
Belum lagi berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada periode 1965 (PKI) dan berkaitan dengan program pembangunan (Negara dan korporat). Aura dendam dari masyarakat korban dan impunitas bagi pelaku masih begitu terasa, sehingga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap Negara. Yang pada akhirnya, membuka peluang terjadinya konflik kekerasan kembali di Aceh ke depannya, apabila upaya rekonsiliasi tidak dijalankan dengan efektif.
Urgensi Rekonsiliasi
Oleh karena itu, mekanisme keadilan transisional yang diamanatkan dalam MoU Helsinki dan diturunkan dalam UUPA serta Qanun no.17/2013 sebagai upaya rekonsiliatif bagi korban perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Pemerintahan sang Captain. Hal ini menjadi momentum untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang pernah terjadi selama konflik yang terjadi 1976-2005.
Selain itu, pada bagian pertimbangan, poin c, Qanun Aceh no. 17/2013 tentang Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi juga diamanatkan “bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh harus ditelusuri kembali untuk keberlanjutan perdamaian di Aceh … serta meluruskan sejarah demi pembelajaran bangsa agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia.” Dalam hal ini, upaya rekonsiliasi oleh KKR Aceh diharapkan nantinya tidak hanya sebatas menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM selama 1976-2005 saja, namun juga periode kekerasan sebelumnya, demi mentransformasikan budaya kekerasan yang telah mengakar dalam masyarakat kepada budaya damai. Harapannya pula, dapat berujung pada tercapainya perdamaian yang berkelanjutan serta meningkatnya kepercayaan masyarakat korban terhadap Pemerintah. Tentunya ini akan menjadi prestasi fenomenal bagi sang Captain untuk “menerbangkan” Aceh pada atmosfer perdamaian yang lebih tinggi. Serta dapat menjadi model pemenuhan keadilan bagi korban paska konflik, baik di level nasional maupun global. Semoga.