Siapa sangka Soekarno-Hatta yang merupakan sepasang proklamator, memiliki intelektual dan visi yang sama dikemudian hari harus saling tatap. Mereka akhirnya harus mengambil jalan berbeda karena melihat Indonesia dengan cara pandangan berbeda pula.
Kisah romantis Irwandi-Nazar pada periode pertama GAM bertarung dalam pilkada Aceh juga berakhir tak semanis diawal cerita. Saat itu GAM belum mendirikan parlok sehingga Irwandi-Nazar menang dari jalur perseorangan. Mereka akhirnya bercerai, memilih jalan berbeda.
Pasangan Zaini-Muzakir pun bernasib sama, bahkan belum setengah perjalanan mereka sudah memilih jalan berbeda. Masing-masing merasa ditinggalkan dan saling meninggalkan serta saling tatap dari kejauhan. Disharmonis yang sangat merugikan keduanya dan terutama rakyat Aceh.
Kemarin sore dua orang teman yang sangat intens menganalisa politik Aceh mengabarkan bahwa Irwandi-Nova menuju disharmonis. Sulit mempercayai apa yang mereka sampaikan apalagi usia pemerintahan Irwandi-Nova masih belia. Sayangnya fakta sejarah berpihak pada mereka, sudah pernah terjadi di masa lalu.
Bagi saya itu probalitas pertama, artinya kemungkinan itu sah dan wajar terjadi di dalam politik. Faktor “gemuknya” tim pemenangan pasangan Irwandi-Nova, konstelasi politik nasional dan pilpres 2019 bisa dijadikan argumen. Walaupun ada yang beranggapan lemah akan tetapi proses pencalonan mereka tentu melalui deal politik.
Tanpa Demokrat Irwandi bisa batal menjadi cagub dan sebaliknya tanpa Irwandi Partai besutan SBY itu bisa gagal mendapatkan kursi Aceh-2. Kalkulasi itu barangkali sudah lama dibicarakan dan sekarang Irwandi-Demokrat sudah memimpin Aceh.
Politik een eerschuld (balas budi) akankah masih berlaku mengingat kepentingan 2019 begitu dekat. Nova sendiri merupakan kader yang patuh pada pimpinan pusat (SBY) dan Irwandi tipikal sebaliknya. Siapapun akan dijadikan lawan dan siapapun akan dijadikan demi kepentingannya.
Kita pernah saksikan bagaimana perlawanan Irwandi terhadap Partai Aceh (PA) yang kemudian diwujudkan dengan mendirikan partai lokal. Kini dengan dukungan partai penguasa tentunya Irwandi lebih percaya diri, dan tak ada kekuatan politik manapun akan mampu menghadangnya.
Sementara itu Partai Demokrat tentunya berharap banyak pada Nova. Kunjungan kader-kader Partai Demokrat dari pusat ke Aceh adalah signal kuat bagi Irwandi sekaligus dukungan moril untuk Nova. Gubernur boleh Irwandi akan tetapi pengambil kebijakan harus kita, demikian signal yang bisa kita tangkap.
Teori kedua, bila disharmonis itu salah berarti disharmonis memang sengaja dihembuskan. Propaganda ini bagus dalam manajemen konflik, sebuah pengkondisian yang membuat setiap personil saling berkompetisi. Selain itu ada manfaat bagi Irwandi-Nova untuk mengetahui mana penjilat, munafik, professional, amatir dan mana loyalis Aceh yang sesungguhnya.
Isu disharmonis akan memudahkan Irwandi-Nova dalam penempatan SKPA. Mereka yang gemar menjilat serta bermental munafik akan melobi Irwandi sekaligus Nova. Metode ini juga akan menemukan orang-orang yang hobi ghibah, berhati iri dan dengki serta “penyakit” halalkan segala cara demi kekuasaan serta uang.
Bagi rakyat Aceh tak peduli siapa lebih dominan dalam pemerintahan. Boleh Irwandi dan silahkan Nova namun jangan melupakan rakyat karena sibuk berebut kuasa dan uang. Kita percaya keduanya berpotensi membawa Aceh better than before namun tetap pula berpotensi sebaliknya.
Abdullah bin Al-Mubarak berpesan, ada dua kelompok manusia yang bila keduanya baik maka akan baik pula manusia. Sebaliknya bila keduanya buruk maka manusia pun menjadi buruk; mereka adalah penguasa dan ulama.