ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh memaparkan hasil temuan dari investigasi yang dilakukan beberapa waktu lalu di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.
Paparan itu disampaikan oleh Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur dan Kepala Devisi Advokasi Nasir pada wartawan di kantor Walhi Aceh di Banda Aceh, Selasa (4/10/2017).
Menurut Nasir, investigasi tersebut dilakukan di beberapa gampong di Kecamatan Beutong yang dinilai telah lama menjadi lokasi penambangan emas secara ilegal yang mencakup wilayah pemukiman penduduk, aliran sungai, kawasan hutan serta hutan produksi dan hutan lindung.
Beberapa gampong yang diketahui menjadi ladang tambang emas illegal tersebut adalah Gampong Blang Baroe, Gampong Panton Bayam, Gampong Blang Leumak, dan Gampong Kreung Cut yang masing-masing luas administrasi sekitar 1.108,93 hektar.
Selain kegiatan penambangan emas dalam pemukiman warga, kegiatan penambangan tersebut juga dilakukan di kawasan sungai aliran yang melintasi pemukiman warga maupun hulu sungai yang berada di kawasan hutan produksi dan hutan lindung.
Sungai-sungai yang memiliki aktivitas pertambangan emas tersebut adalah Krueng (sungai) Cut, dan Krueng Pelabuhan yang merupakan sub daerah air sungai Krueng Cut.
Nasir mengungkapkan, pola penambangan emas yang dilakukan oleh warga Beutong lebih jauh jangkauannya dibandingkan dengan aktivitas pertambangan emas illegal di Kecamatan Geumpang Pidie.
Pertambangan emas ilegal di Geumpang, lokasinya berada di aliran sungai kawasan hutan lindung, sementara pertambangan emas illegal di Beutong dilakukan tidak hanya di aliran sungai dan kawasan hutan tapi juga dilakukan dalam pemukiman penduduk dengan sama-sama menggunakan alat berat berupa beko.
“Areal penambangan emas dalam pemukiman penduduk ini mencakup wilayah pertanian dan perkebunan warga, seperti lahan sawah, kebun pinang, coklat, kelapa, durian, rambutan yang digunakan sebagai Areal tambang,” paparnya.
Pertambangan di areal pemukiman warga di empat gampong tersebut yang belum digunakan adalah tapakan rumah warga, fasilitas umum seperti masjid dan meunasah serta lahan kebun yang belum diizinkan atau belum disepakati warga.
Sehingga pertambangan emas ilegal di dalam kawasan pemukiman warga memiliki potensi di areal areal 1. 108, 93 hektar.
Kemudian pertambangan emas ilegal di wilayah Krueng Cut, Krueng Pelabuhan serta kawasan hutan yang menjadi bantaran sungai.
Walhi Aceh kemudian melakukan pemetaan aktivitas pertambangan di wilayah sungai, diketahui setidaknya berpotensi untuk dijadikan lokasi tambang seluas 261,73 hektar.
Memang secara ekonomi kehidupan keluarga penambang emas tergolong baik. Berdasarkan pengamatan dan pengakuan warga kepada Walhi, selama ada aktivitas pertambangan emas setiap keluarga yang berprofesi sebagai penambang emas sudah mampu membeli mobil mewah tidak hanya itu warga juga memiliki perhiasan emas yang merupakan hasil dari pertambangan emas ilegal.
Kendatipun di sisi lain warga juga mengakui bahwa dengan pertambangan emas telah menghilangkan sektor perekonomian lainnya seperti pertanian, sawah, dan kebun keluarga, lantaran telah dijadikan tambang emas illegal.
“Masyarakat juga bercerita bahwa pernah ada se orang warga yang mendapatkan hasil pertambangan 15 kilogram emas selama 15 hari kerja,” ungkap Nasir.
Muhammad Nur mengatakan, dampak yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan emas secara Illegal tersebut diantaranya akan mengakibatkan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan warga.
“Lahan pertanian sawah yang ada di desa sudah menjadi areal perkembangan begitu pula hal dengan lahan perkebunan, “katanya.
Aktivitas penambangan emas di pemukiman warga juga berdampak terhadap rumah warga karena kegiatan pertambangan berada dekat dengan rumah warga dan masjid.
Bahkan ada temuan di lapangan, pertambangan berbatasan langsung dengan rumah penduduk warga setempat.
Selain itu, aktivitas pertambangan emas ilegal ini juga berdampak terhadap terbukanya peluang dan akses illegal logging.
Walhi Aceh menemukan tumpukan kayu hasil tebangan dari hutan alam di lokasi pertambangan emas.
Dalam waktu yang sama, Walhi Aceh juga menemukan warga yang membawa balok atau kayu hasil illegal logging melalui aliran sungai yaitu Krung Kila.
“Berdasarkan pengakuan warga, kayu tersebut dijual ke Sawmil di Nagan Raya dan Aceh Barat. Jenis kayu yang ditemukan di lapangan diantaranya jenis merante, ” katanya.
Selain itu, pertambangan emas illegal tersebut juga telah berdampak cukup serius terhadap fisik dan kualitas sungai setempat, kondisi ini akan berdampak terhadap 261, 73 hektar lebih wilayah sungai.
Walhi Aceh juga menemukan lokasi-lokasi bantaran sungai yang rusak akibat aktivitas pertambangan.
Aktivitas perkembangan secara tidak langsung juga telah memperluas bantaran sungai, akibatnya beberapa lahan pertanian warga yang berada di pinggir sungai telah hilang akibat semakin meluasnya sungai.
Sementara air sungai berwarna kuning dan berlumpur hal ini dikarenakan ada aktivitas penambangan di dalam sungai dan kawasan hutan di hulu sungai.
Selain itu, dampak dari tambang emas illegal tersebut Walhi menemukan kondisi jalan dari keempat desa tersebut rusak parah, disebabkan oleh alat berat yang melintasi jajan tersebut.
“Dampak terbesar yang berpotensi akibat dari pertambangan emas ilegal tersebut adalah bencana banjir. Kondisi fisik sungai yang rusak akan menjadi pemicu potensi bencana tersebut terjadi,” kata Muhammad Nur.
Jika terjadi banjir bandang, maka akan banyak memakan korban tidak hanya korban jiwa, tetapi juga korban harta, rumah dan fasilitas umum lainnya.
Karena kondisi saat ini sebagian pemukiman penduduk sejajar dengan bantaran sungai.
Untuk itu Walhi mendesak agar Bupati Nagan Raya dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf agar menertibkan atau menutup aktivitas pertambangan emas illegal di Kecamatan Beutong tersebut.
“Kami juga mendesak agar Polres Nagan Raya dan Polda Aceh melakukan penindakan dalam bentuk penyitaan alat pertambangan emas ilegal serta memproses secara hukum terhadap pemilik alat berat sebelum bencana melanda Beutong, ” katanya. []