ACEHTREND.CO, Singkil—Setiap datang musim penghujan, dalam lima tahun terakhir ini, Aceh Singkil, sangat parah dilanda banjir.
Akibatnya, sarana prasarana umum di Aceh Singkil, menjadi porak poranda. Sejumlah jembatan putus, dan badan jalan banyak yang rusak.
Bangunan pemerintah, rumah penduduk, dan sejumlah sawah luluh lantak dibuatnya.
Harta milik penduduk pun banyak yang ludes, rusak, dan musnah di gerus air. Sejumlah warga mengalami kelaparan dan kehilangan mata pencarian.
Dari setiap bencana banjir yang terjadi, setelah dikalkulasi, secara material kerugian mencapai miliaran rupiah lebih.
Ini belum ditakar kerugian secara non material, yaitu kerugian psikis dan kerugian dari aspek kesinambungan pembangunan yang terus amburadul.
Jika ini terus berlangsung, Aceh Singkil, sepanjang tahun, akan terus menjadi daerah termiskin di Aceh bahkan di Indonesia.
Malah, akan jatuh pada titik nadir kemiskinan yang memerihatinkan.
Untuk mendapatkan jalan keluar tentang musibah banjir yang terus melanda Aceh Singkil, AceHTrend, menayangkan pendapat Fadjri Alihar, seorang doktor alumni Uiniversity Of Kassel Jerman.
Seorang warga Aceh Singkil, Selamat Riady, kata Fadri Alihar pernah mensinyalir, selama 18 tahun Aceh Singkil menjadi daerah otonomi, orientasi pembangunannya, masih seputar daratan.
Program dan realisasi pembangunan, belum menyentuh aspek air, seperti sungai, rawa, pantai, dan laut.
Padahal menurut Selamat Riady, Aceh Singkil, termasuk wilayah yang dilingkupi laut, rawa, pantai, dan sungai.
Apa yang disampaikan Selamat Riady ini, dibenarkan oleh Dr Fadjri Alihar, seorang peneliti bidang Ekologi Manusia LIPI-Jakarta.
Menurut putra Aceh Singkil yang telah melanglang buana ke berbagai negara Eropa ini, sudah saatnya, pradigma pembangunan Aceh Singkil diubah.
“Kalau dulu, pembangunan berorientasi pada aspek daratan. Sekarang harus bersentuhan dengan air, seperti sungai, rawa, pantai, dan laut. Termasuk penanggulangan banjir yang sudah menjadi langganan Aceh Singkil saban tahun,” papar Fadjri Alihar.
Menurut alumni Uiniversity of Kassel Jerman ini, penanggulangan banjir di Aceh Singkil tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong.
Harus ditanggulangi secara konprehensif, mulai dari hulu hingga hilir.
Harus pula, melibatkan seluruh stakeholder yang ada. Tak terkecuali pemerintahan daerah lain.
Tidak hanya cukup dengan membuat tanggul yang tidak jelas fungsinya.
Sebab, Singkil terletak di wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang sangat luas dan panjang.
Mulai dari Aceh Tenggara, Subulussalam, Aceh Selatan, termasuk, Pakpak Bharat, Dairi, dan Humban Tobasa.
Kesemua air dari sungai-sungai ini mengalir dan bermuara ke Aceh Singkil.
Sehingga tak mengherankan, sungai yang kelebihan debit air meluap ke pemukiman penduduk yang berada di daerah aliran sungai.
“Nah, kebetulan daerah Aceh Singkil berada di daerah aliran sungai dan dekat pula dengan muara,” tutur Fadjri Alihar.
Dengan demikian, urai Fadjri, diperlukan kebijakan antar lintas provinsi dan antar kabupaten.
Karena itu, mantan Kepala BRR Wilayah V ini berpendapat, pusat harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah bencana banjir di bumi Syekh Abdurauf Al-Singkili tersebut.
“Untuk menanggulangi banjir di Aceh Singkil, Gubernur dua daerah, Aceh dan Sumatera Utara, harus terlibat. Bahkan Pemerintah Pusat (Jakarta red) pun harus turun tangan,” tegas Fadjri Alihar.
Lebih lanjut Fadjri menjelaskan, semua sudah mahfum salah satu faktor penyebab bencana banjir, karena gundulnya hutan.
Ini akibat eksploitasi hutan secara terus menerus tanpa henti mulai tahun 1960 hingga tahun 2000 yang dilakukan oleh perusahaan HPH dengan sekala besar.
Akibatnya, daerah tangkapan air atau catchment area semakin berkurang. Sehingga air hujan yang turun tidak bisa tertahan dan menjadi aliran permukaan yang sangat besar yang secara spontan, “bim salabim, abrakadabra” berubah menjadi air bah.
Parahnya, hutan gundul bekas babatan HPH tersebut, secara masif beralih fungsi menjadi lahan sawit dengan penanaman yang dilakukan oleh berbagai korporasi multinasional.
“Perkebunan kelapa sawit termasuk salah satu elemen yang memperburuk bencana banjir di Aceh Singkil. Hal ini mengingat karakteristik pohon kelapa sawit tidak bisa berfungsi sebagai penangkap air,” ungkap peneliti senior LIPI-Jakarta.
Akibatnya, tambah Fadjri, sudah bisa diduga berapa ribu mili meter pun hujan turun, tidak bisa tertampung.
Akhirnya, air yang seharusnya menjadi rahmat berubah menjadi laknat, merambat dan melanda pemukiman penduduk.
Dalam kesempatan itu, Fadjri Alihar mengatakan, ia masih yakin dan optimis, banjir yang terjadi di Aceh Singkil masih bisa ditanggulangi.
“Memang, penananggulangan banjir itu, tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi dengan kerja keras, sistematis, dan terprogram. Saya yakin banjir Singkil akan bisa diatasi,” tandas Fadjri.
Cara penanggulangan yang paling elegan. Pertama minimalisir dulu faktor penyebab banjir.
Ini adalah bagian dari pengurangan risiko bencana, yaitu dengan jalan membagi air ke seluruh wilayah Aceh Singkil.
Artinya, kata Fadjri, jangan bagian hilir saja khususnya Kota Singkil yang terkena bencana banjir yang paling parah. Akan tetapi, juga berbagi dengan daerah lain.
Cara membagi air tersebut, dibuat kanal atau terusan sehingga ketika hujan turun airnya menjadi terbagi.
Biasanya bagian hilir ketika banjir ketinggian airnya mencapai satu meter. Setelah dibagi, tinggi air menjadi setengah meter.
Kedua, untuk jangka pendek perlu dilakukan restorasi hutan dengan memperkuat program perhutanan sosial yang melibatkan masyarakat.
Perhutanan sosial tersebut dimaksud, agar masyarakat sadar akan arti pentingnya hutan bagi kehidupan.
Dengan demikian mereka akan menjaga sisa-sisa hutan yg ada dari gangguan ilegal loging.
Tiga, adanya moratorium (penghentian sementara) penanaman kelapa sawit, baik oleh perkebunan rakyat maupun korporasi.
“Maratorium itu perlu bagi lingkungan dan sumber daya untuk memulihkan sistem dan fungsi ekosistemnya,” papar Fadjri.
Semua opsi yang ditawarkan, kata Fadjri, bukan obat mujarab dalam menanggulangi bencana banjir. Masih banyak obat yang mangkus lainnya.
Namun paling tidak, opsi ini bisa mengurangi atau memperkecil bencana banjir yang terjadi berikut dampaknya.
“Selaku putera daerah, saya sangat perihatin dengan banjir yang saban tahun terus melanda Aceh Singkil. Kapan Aceh Singkil bisa bangkit dan berjaya?” pungkas Fadjri Alihar.[]