SEBAGAIMANA lazimnya setiap 10 November, tiap tahunnya Indonesia memperingati hari Pahlawan, yang mana pada tanggal ini terjadi peperangan di Surabaya antara Rakyat Indonesia melawan pasukan sekutu yang tergabung didalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies).
Pada peringatan hari Pahlawan ini masyarakat Indonesia mengenang perjuangan pendiri bangsa ini yang tersebar dis eluruh wilayah Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
Perjuangan mempertahankan harga diri dan tanah tumpah darah yang dilakukan oleh para nenek moyang bangsa Indonesia telah memberikan suatu hasil yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat Indonesia yaitu suatu Kemerdekaan secara Utuh dan berdaulat dalam sebuah negara yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Meskipun dalam kemajemukan dan perbedaan suku bangsa, namun semangat mengusir pendudukan bangsa asing terutama bangsa barat pada zaman itu telah menyatukan seluruh elemen bangsa tanpa membeda-bedakan asal-usul suku bangsa di Nusantara.
Khusus bagi bangsa Aceh, 10 November 2017 terasa amat istimewa. Sebab, seorang Laksamana Perempuan pertama lulusan ma’had Baitul Muqaddas, sebuah Akademi Militer bidang kemaritiman yang dibentuk oleh Kesultanan Aceh dengan beranggotakan para pelatih yang berasal dari perwira tinggi angkatan Laut Turki Utsmani di anugerahi gelar pahlawan nasional.
Para peerwira tersebut, dikirimkan ke Aceh untuk membantu memperkuat armada laut dan darat tentara Kesultanan Aceh di dalam menjaga wilayah teritorialnya dari serangan kapal Asing yang hilir mudik di selat Malaka.
Sebagaimana diketahui bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan putra seorang Laksamana Mahmudsyah bin Laksamana Muhammad Saidsyah bin Sultan Salahuddinsyah. Sehingga secara nasab dapat disebutkan bahwa beliau adalah seorang keturunan alias cicit dari seorang Sultan Salahuddin Syamsyusyah Meukuta Alam.
Secara teritorial dan geografis, gelar pahlawan bagi Lakasamana Keumalahayati yang disandangnya hari ini sebenarnya bukan hanya untuk bangsa Indonesia semata. Namun beliau, sebenarnya adalah pahlawan bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara khsususnya bangsa serumpun Aceh dan Melayu.
Sejatinya, seorang perempuan adalah mengurus keluarga dan rumah tangga dengan perlindungan kaum lelaki, namun sejak syahidnya sang suami yang juga seorang laksamana dalam sebuah pertempuran di Teluk Aru, mengakibatkan dirinya menjadi seorang janda (Balee) yang siap mendedikasikan seluruh jiwa raganya untuk mengusir portugis dari tanah Aceh dan Selat Malaka.
Hingga, siapapaun bangsa asing yang ingin melewati selat malaka dan punya niat untuk menguasai wilayah Nusantara maka harus terlebih dahulu menghadapi Sang Laksamana Wanita yang gagah berani ini di pintu gerbang Selat Malaka.
Tiga ratus tahun setelah era laksamana Malahayati, Aceh juga kembali pada penghujung era kesultanan, dimana sultan terakhirnya Alaidin Muhammad Daudsyah Dzilullahufil’alam menjadi sosok kunci gagalnya Belanda menguasai Aceh secara sah, karena tidak pernah ada pengakuan kalah perang dari Sultan Aceh terakhir ini.
Perjuangan Sultan sejak dari ketika Montasik jatuh di tahun 1878 dan beberapa pimpinan pejuang dan ulee balang mulai desersi ke pihak lawan terasalah bahayanya kawasan Indrapuri.
Segeralah dipilih pula calon pusat Pemerintahan Baru. Kali ini dipilh Pekan Keumala, dan di awal 1879 Sultan Muhammad Daudsyah, Tuanku Hasyim (bersama putranya Tuanku Raja Keumala) dan Panglima Polem (bersama putranya Teuku Raja Kuala) sudah berada di sana menggerakkan aparatur Pemerintahan.
Selain itu, beberapa tokoh penting lainnya yang sudah berada di sana Teuku Paya (Ketua bekas Panitia delapan di Penang), Putrannya Teuku Asan, Teuku Imuem Lueng Bata dan putranya Teuku Usen.
Hingga lebih kurang 25 tahun Sultan berhasil membuat gaduh petinggi Belanda di Batavia dan di belanda sendiri, hingga akhirnya cara liciklah yang harus ditempuh guna mengakhiri perjuangan Sultan ini.
Pasca ditahan di Kutaraja dan diasingkan ke Batavia, Sultan terus melakukan korespondensi dengan berbagai pihak baik kepada Turki Utsmani dan sempat meminta bantuan Jepang untuk mengusir belanda dari tanah Aceh.
Kepada para tokoh pejuang Aceh Sultan Berpesan “berkawanlah dengan jepang itu, jadikanlah jepang itu sebagai kawan untuk mengusir Belanda, tetapi harus berhati-hati berkawan dengan Jepang..”. sehingga apa yang pesankan Sultan terbukti benar adanya bahwa jepang berhasil mengusir belanda yang sudah mulai lemah akibat perang melawan jerman dan terpaksa menarik pasukan dari Nusantara.
Semangat dan keteguhan hati mempertahankan tanah air yang ditunjukkan Sultan adalah sudah sepantasnya dimaknai oleh generasi muda Aceh khususunya Indonesia pada umumnya sebagai pahlawan di hati dan pikiran kita.
Oleh : Tuanku Warul Waliddin (Pang Ulee komandan Al Asyi)