Ia telah memilih jalan yang berbeda. Ia menjadi pemberi bukti bahwa perempuan Aceh adalah pejuang bagi bangsanya. Namun, setelah kehilangan semuanya dalam medan laga. Kini ia sendiri, sembari menikmati penderitaan, di sebuah desa yang sunyi.
Namanya Mutia. Perempuan kelahiran Pidie 1979 adalah aktivis perempuan Aceh yang bergerak di era 1998. Lakap angkatan 98 tak bisa dipisahkan dari dirinya. Kala itu, hari-harinya adalah penggiat kemanusiaan di Posko Mahasiswa untuk rakyat Aceh (PeMRaKa) yang berpusat di Banda Aceh. Hari-hari yang seharusnya dihabiskan untuk studi di perguruan tinggi, tersita pada aktivitas advokasi rakyat.
“Sebagai aktivis, ia bukan saja pekerja kemanusiaan, akan tetapi juga propagandis ulung yang naik turun mimbar bebas, kala itu,” kenang Sri Wahyuni, istri almarhum Ridhwan H. Mukhtar, yang juga seorang aktivis.
Dalam membela Aceh, Mutia kehilangan segalanya. Kedua adiknya tewas. Satu adiknya yang kala itu berusia 18 tahun, dieksekusi oleh tentara pemerintah, kepalanya ditembak, dan jasadnya dicampakkan begitu saja di persawahan kampung mereka.
“Adik satunya lagi, ditahan di Penjara Lhok Nga, Aceh Besar. Pada usia 16 tahun. Perempuan belia itu harus merenggang nyawa kala tsunami menghempas penjara. Adik Mutia dipenjara bersama Cut Nur Asyikin. Mereka satu gedung tahanan. Keduanya menjadi syuhada tsunami,” kenang Sri Wahyuni, sembari menghela nafas.
Belum usai maha duka itu, sang ayah juga hilang kala Darurat Militer diberlakukan di Aceh. Lelaki yang selalu menjadi pelindung Mutia kala kecil, tidak diketahui rimbanya, hingga hari ini. “Ayah Mutia itu juga seorang anggota GAM,” kisah Sri.
Kini, Mutia, tidak bisa lagi beraktivitas normal. Kaki sebelah kanan hancur karena kecelakaan.
Mutia hidup serba kekurangan. Ia dan suaminya menyewa sebuah rumah berdinding triplek — yang sudah lapuk–di Gampong Cot Geunduk, kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie. Ia memiliki empat anak dan juga merawat ibunya yang sudah mengalami kebutaan. Sedangkan suaminya tidak memiliki pekerjaan yang pasti. “harta mereka sudah habis untuk berobat. Konflik telah membuat hidup mereka menjadi sekarat,” kata Sri Wahyuni.
Ibunya Mutia pun mengalami trauma tersendiri. Selain harus kehilangan tiga orang yang sangat dicintai, ia juga mengalami kerusakan pendengaran, karena tentara pemerintah sempat menembakkan senapan di dekat telinga perempuan tua itu.
Sri bercerita, tadi malam, Sabtu (2/12/2017) ia dan Rahma Matan–juga aktivis perempuan kala konflik Aceh– bertandang ke rumah Mutia. Usia Mutia lebih muda dari kedua aktivis yang juga masih hidup serba terbatas itu. “Kami hanya ingin melihat beliau,” kata perempuan yang juga sering dipanggil Adik, oleh suaminya saat ini.
Note: Kisah ini diceritakan kembali oleh Sri Wahyuni kepada Muhajir Juli dari aceHTrend.