BACAAN LAINNYA
ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Gugat Pemerintah Aceh untuk mencabut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Rencong Pulp and Paper Industry (PT. RPPI), atas lahan seluas 10.384 Ha yang terletak di Kabupaten Aceh Utara.
Gugatan itu di ajukan oleh Kuasa Hukumnya Muhammad Zuhri Hasibuan bersama empat kawannya pada Selasa, (28/11/2017) dengan nomor: 6/P/FP/2017/PTUN.BNA. ke pengadilan Tata Usaha Pengadilan Banda Aceh yang di terima oleh wakil panietra Teuku Maimun.
“Lokasi Pemanfaatan Hutan PT. RPPI yang direncanakan dalam sosialisasi kajian dokumen Amdal terletak di empat Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara. Yaitu; Nisam Antara dan Meurah Mulia (Sekarang) dengan luas 8.234 Ha (Ex. PT. Aceh Prima Plywood Indonesia), Geureudong Pase dengan luas 125 Ha (Ex. Hak Pengusahaan Hutan PT. Alas Heula) dan Paya Bakong dengan luas 2.182 Ha. Adapun total luas keseluruhan yang direncanakan 10.541 Ha,” kata M. Nur Koordinator Walhi Aceh pada acehtrend.co, Minggu, (03/12/2017) .
Menurutnya, dalam Keputusan Gubernur tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Inudustri (IUPHHK-HTI) PT. RPPI izin yang diberikan hanya seluas 10.384 Ha. Ada selisih ± 157 Ha dari permohonan yang direncanakan pada awalnya. Selisihnya ± 157 ha (1,5%) masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tidak sesuai untuk pengembangan Hutan Tanaman. Sedangkan IUPHHK – HTI PT. RPPI diberikan pada tahun 2011 berdasarkan SK Nomor 522.51/569/2011, serta perubahan SK Nomor 522.51/441/2012, dengan jangka waktu selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun.
Data dari WALHI menyebutkan, izin diberikan melebihi kewenangan, tidak konsisten penentuan dasar hokum, tidak ada berita acara, ketidakabsahan amdal, tidak memiliki izin ingkungan, izin berada dalam kawasan hutan produksi yang masih produktif, begitu juga dengan Pelaksanaannya pun dimulai dari tumpang tindih kepemilikan lahan, tidak memiliki RKT, Mengancaman Kerusakan DAS Krueng Pase dan DAS Krueng Mane, tidak melaksanakan kewajiban, menelantarkan areal izin, penetapan DPSL kurang tepat, dan potensi hasil hutan non kayu.
“Dari hasil temuan WALHI di lokasi, PT RPPI diduga telah melanggar hukum terutama berkaitan dengan legal standing dan perdata,”jelasnya.
M. Nur menambahkan, sebelumnya Perwakilan masyarakat dari Kecamatan Nisam, Meurah Mulia, Geureudong Pase dan Nisam Antara sudah membuat laporan secara bersama dalam bentuk petisi yang disampaikan kepada Bupati Aceh Utara, DPRK Aceh Utara dan Gubernur Aceh.
“Petisi tersebut dilaporkan pada tanggal 25 April 2016, yang disampaikan tembusannya kepada Bupati Aceh Utara, DPRK Aceh Utara, Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Kepala BP2T Aceh, Kapolda Aceh, Kapolres Aceh Utara, Kepala Kejaksaaan Negeri Aceh Utara, Kepala Pengadilan Negeri Aceh Utara, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Utara dan Kementerian Lingkungan Hiudp dan Kehutanan,” ungkap M.Nur
Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat Bina Rakyat Sejahtera (LSM-BYTRA) juga sudah melaporkan dugaan pelanggaran IUPHHK-HTI PT. RPPI kepada kementerian lingkungan hidup dan kehutanan pada tanggal 29 Juli 2016 dengan nomor pangaduan 16.0352/ADU-LHK/VII/2016.
“Laporan LSM-BYTRA didasari atas kesimpulan dari petisi yang disampaikan oleh warga, serta temuan fakta lain terkait dampak dan dugaan pelanggaran hukum dalam proses pemberian IUPHHK-HTI PT. RPPI. Namun, sampai tahun 2017 tuntutan warga untuk pencabutan IUPHHK-HTI PT. RPPI belum dikabulkan oleh pemerintah,” jelasnya lagi.
Adapun proses lanjutan yang dilakukan oleh WALHI yaitu tanggal 6 november 2017, Walhi Aceh menyurati Gubernur Aceh nomor 176/de/Walhi Aceh/xi/2017, tertanggal 1 november 2017, perihal permohonan guna mendapatkan keputusan Gubernur Aceh tentang pencabutan/pembatalan atas putusan Gubernur Aceh nomor 522.51/441/2012, tanggal 4 mei 2012 tentang perubahan surat keputusan Gubernur Aceh nomor 522.51/569/2011 tentang pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri di kabupaten Aceh Utara kepada pt. Rencong pulp dan paper industry.
“Setelah itu dilalui, maka pada tanggal 28 november 2017 lalu, kami mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh bersama lima orang pengacara yaitu Muhammad Zuhri Hasibuan, Jehalim Bangun, Zulfikar, Wahyu Pratama dan saya sendiri dengan membawa alat bukti sebanyak 36 dokumen,” tegasnya.[]
Tag: #Headline