Coba bayangkan bila militer di negara Eropa dan Amerika Latin, ikut campur dalam urusan sepakbola modern. Sungguh kita takkan pernah melihat mega bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo bermain di klub itu. Ia bahkan tidak akan pernah beranjak dari negara asalnya Portugal. Kita juga tidak akan pernah melihat gocekan maut Leonel Messi di Barcelona, bersebab militer Argentina memasung kelincahannya atas nama nasionalisme.
Sejarah sepakbola modern adalah bukan saja tentang liga, tapi juga tentang hijrahnya pemain-pemain top ke berbagai negara, dalam hubungan kontrak kerja dengan klub profesional, yang menggaji mereka gila-gilaan. Tiap gelaran tarung antar negara mereka pun kembali ke negara masing-masing, untuk bertarung membela panji negara. Di gelaran piala dunia, Gabriel Batistuta haruslah bertempur dengan punggawa timnas Italia, yang dalam kesehariannya, Gabriel justru bermain untuk klub Italia seperti Fiorentina serta A.S Roma. Tak ada yang canggung, tak ada pula yang saling membelakangi, konon lagi mengkhianati negara asalnya demi pamor di negara tempat ia ikut bermain sepakbola.
Bahkan, bagi para pemain top dunia, kemampuan mereka semakin terasah karena kesempatan bermain di klub luar negeri. Selain itupun, mereka bisa mengumpulkan pundi-pundi dolar untuk mengubah nasip keluarganya dari tiada menjadi sangat kaya raya. Hal itu pula yang membuat Samuel Eto’o pindah ke Liga Cina, sebuah liga semenjana yang tak dikenal dunia, tapi memberikan uang yang sangat banyak untuk sang pemain.
Sudah seharusnya pemain profesional itu kaya dan harus kaya.
Adalah hal yang tidak masuk akal terjadi di Indonesia. Ketua PSSI Letnan Jenderal Edy Rahmayadi, Rabu (6/12/2017) di Kantor Makostrad, mengatakan akan memanggil Evan Dimas dan Ilham Udin Armaiyn, karena keduanya memilih hijrah ke Selangor FC, dan meninggalkan Bhayangkara FC, yang mereka bela di Liga 1 tahun 2017
“Kalau mata duitan ya repot juga kita. Gak ada jiwa nasionalisme. Nanti akan saya kumpulin,” kata sang Letnan Jenderal, seperti dikutip dari bolasport.com.
Alasan sang perwira militer itu simpel saja, baginya bila kedua punggawa timnas Indonesia U-23 itu bermain di Malaysia, maka tim lawan akan mampu membaca teknik permainan mereka.
“Siapa mereka seenak saja mengontrak-ngontrak,” kata Edy.
Dua pernyataan konyol itu seharusnya tidak pernah keluar dari mulut seorang ketua PSSI. Bagaimana ia bisa mengatur sejauh itu kehidupan dan masa depan seorang pemain bola? Ketika ia membenturkan nasionalisme dengan pilihan karir di klub, sungguh ini sebuah pikiran sontoloyo.
Bahasa akan mengumpulkan Evan Dimas dan Ilham Udin Armaiyn, juga kalimat penuh pressure. Khas gaya militer ketika gagal menemukan cara melakukan pendekatan terhadap seseorang. Kalimat penuh makna sangat berkuasa, hingga ke karier dan kehidupan orang lain, yang seharusnya tidak perlu diatur.
Dalam hal kaitannya dengan hijrahnya kedua pilar timnas ke klub Selangor FA, murni tentang nilai kontrak dan pengalaman kerja. Keduanya atau siapapun pemain sepakbola tentu memimpikan akan membela klub yang berani menggaji mereka lebih tinggi. Ini tentang pilihan yang logis dan halal dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tidak mengandung unsur subversif dan tidak berpaham komunis yang dilarang oleh negara. Tidak pun bughah. Memilih membela klub luar negeri bukan sikap melawan negara.
Perihal ketakutan sang jenderal bahwa teknik permainan kedua pemain itu akan mampu dibaca oleh pemain Malaysia, hello! Ini sangat mengada-ngada. Brazil yang mengimpor pemainnya keseluruh dunia, berhasil juara dunia lima kali. Inggris yang memiliki liga terhebat di dunia dengan gaya kick and rush, tak kunjung mampu mengangkat tropi piala Eropa, konon lagi piala dunia. How about with Holland? Sama saja.
Sebaiknya, Edy Rahmayadi fokus saja ke peningkatan kualitas timnas. Jangan sibuk mengurus sesuatu yang tidak penting. Indonesia harus mengeskpor pemain berkelas ke luar negeri. Selain karena pundi uang di luar bisa mengentaskan kemiskinan berketurunan pemain bola di Indonesia, juga mengibarkan Panji Indonesia sebagai pabrik pemain yg berkualitas di Asia Tenggara.
Atau gelar saja Liga Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Gaji pemain dibayar mahal, sehingga pemain bola tak perlu lagi nyambi sebagai tukang semir sepatu untuk memberikan makan keluarga. Kemudian politik tidak masuk ke dalam liga di Indonesia. Serta ciptakan iklim liga yang profesional,pasti serta tidak ada intervensi negara. Juga glamournya, sehingga pemain lokal berbakat tetap tak pindah, dan pemain luar ikut hijrah ke Indonesia.
Kalau banyak melarang tanpa solusi dan selalu membungkam orang lain dengan jampi nasionalisme, maka tak heran, melawan Kyrzistan saja di Piala Lumpur Tsunami Aceh (PLTA) atau Aceh World Solidaritas Cup (AWSC) 2017, timnas Indonesia pun tumbang. Padahal, kiprah timnas negara itu nyaris tak diberitakan oleh media di Indonesia.
Sumber foto: Liputan 6.com