Menarik menyimak teriakan netizen di dunia Maya terkait dengan merebaknya wacana bahwa Pemerintah Aceh akan membangun Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Tanpa tedeng aling-aling mereka menyerang bahwa rencana hadirnya institut itu di Kota Jeumpa karena semata tentang kampung halaman sang gubernur.
Saya menyimak, dari beberapa akun yang berteriak, ada dua kelompok,pertama lawan politik, kedua beberapa orang Aceh Besar yang merasa kampung halaman mereka lebih pantas untuk diberikan lagi jatah didirikannya perguruan tinggi tinggi negeri.
Saya memaklumi bila suara petantang-petenteng mengejek Bireuen sehingga tidak pantas dijadikan sebagai tempat untuk IPDN. Mulai dari tiadanya bandara internasional, juga jauh dari ibukota propinsi. Pantas, kenapa karena sudah menjadi tugasnya lawan politik untuk terus mengampanyekan hal-hal negatif kepada pemenang pilkada, konon lagi sudah dekat dengan pileg 2019. Dengan minimnya prestasi sudah tentu menjatuhkan lawan politik adalah solusi yang paling mungkin untuk dilakukan.
Lagian mau ngomong apa lagi? Semua yang pernah diwacanakan di masa lalu,semua hanya jadi pengisi septic tank.
Nah, menarik ketika akun-akun yang menyatakan diri sebagai putra atau Puteri Aceh Besar ikut membully Bireuen dengan ragam argumen bahwa tanah kelahiran saya tidak pantas untuk dibangunnya IPDN. Aceh Besar lebih pantas. Bahkan isu nepotisme pun dihembuskan. Duh!
Ini tentu lucu, ketika mereka sedang berteriak bahwa Aceh Besar dianaktirikan,mereka justru lupa bahwa berbagai kampus negeri sudah didirikan oleh pemerintah di tanah yang mulia itu. Saya pun tak hendak menyebut apa saja, karena hampir semua orang Aceh tahu itu, apalagi saudara-saudara saya di Aceh Besar.
Perihal jarak, bahwa Bireuen dianggap tak cocok untuk IPDN karena berada 250 km dari Banda Aceh serta tak memiliki bandara besar. Benar, itu tidak saya bantah. Akan tetapi, sejak kapan itu menjadi aturan? Apakah IPDN adalah sebuah hotel atau mall besar, sehingga itu harus ikut dihitung?
Kedua, jalur transportasi darat ke dan dari Bireuen, sudah sangat layak untuk ukuran Sumatera. Bireuen memiliki jalan aspal yang sama kualitasnya dengan Banda Aceh. Sangat sedikit jalan di Bireuen berlubang-lubang. Walau lubang tetap ada.
Ketiga, Bireuen adalah sebuah wilayah yang masyarakatnya sangat beragam dan cepat sekali menyesuaikan diri. Mungkin sama dengan perilaku rakyat Aceh di wilayah lain yang sudah tersentuh kosmopolit sejak ratusan tahun lalu. Tidak ada suku yang tidak boleh hidup di Bireuen. Tidak ada agama yang tidak boleh beribadah di Bireuen. Kalaupun orang Bireuen saling cakar cakaran, itu hanya sesama sendiri. Antara NU dan Muhammadiyah, antara segelintir kaum dayah dan segelintir non dayah. Di luar itu, kami bisa rukun dengan siapapun. Bukankah di kabupaten lain juga demikian?
Keempat, Bireuen memiliki ibukota yang berdenyut 24 jam. Mari datanglah, dan menginaplah di kota kami, Anda akan mudah mendapatkan makanan dan minuman dari pagi hingga pagi lagi. Bahkan beberapa ibukota kecamatan di Bireuen pun berdenyut 24 jam. Semua perusahaan oto bus yang melintas di jalur pantai timur pasti bisa singgah kapan saja di kota kami, baik untuk menyeruput kopi ataupun hendak makan sate matang.
Bahkan kalau tiba-tiba pegal di perjalanan, singgah di Bireuen, di warkop kecamatan, selalu ada tukang kusuk.
Nah, terkait hal keempat itu, saya yakin tidak semua kabupaten memiliki kemampuan berdenyut 24 jam. Kalau siang? Dari barat hingga timur Bireuen, pelintas bisa makan dan minum dimanapun. Konon lagi untuk beli baju dan celana. Sampai ke kampung -kamoung ada toko baju.
Ah, sudahlah. Berlama-lama menjelaskan kepada orang yang tidak mau mendengar, ya percuma saja. Mereka tak butuh alasan apapun. Yang penting jangan di Bireuen, kan itu saja. Meunyo di gampong jih jeut, hana dawa. Yang bek di gampong lon. Kon nyoe meunan?
Mari minum kopi dan kita tetap bersaudara.