ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur, mengatakan bahwa penyebab banjir dan longsor di Aceh adalah produk dari kebijakan Pemerintah Aceh sendiri. Pemerintah, dinilai tidak peka terhadap dampak lingkungan yang diakibatkan dari setiap kebijakan yang relatif hanya untuk menguntungkan sekelompok orang dan merugikan alam sekitar.
“Kenapa kami salahkan pemerintah, karena mereka (pemerintah) yang menganggarkan pembangunan berbagai proyek yang menghancurkan hutan dan lahan di Aceh, bukan malah membangun pola-pola yang sesuai dengan kelestarian lingkungan,” kata Muhammad Nur saat diwawancarai Fauzi Cut Syam, wartawan aceHTrend beberapa waktu lalu. Apa saja kata Muhammad Nur, berikut ulasannya:
Setiap akhir tahun banjir selalu melanda Aceh, tanggapan Anda?
Ada bebera faktor yang menyebabkan banjir di Aceh, diantaranya faktor perambahan hutan, pertambangan illegal dan perluasan perkebunan kelapa sawit serta alih fungsi lahan secara umum. Ini merupakan penyebab utama dari bencana banjir maupun longsor di Aceh.
Contohnya?
Sebagai contoh, sebelum dilakukan pembangunan sudah diketahaui bahwa daerah ini rawan longsor tapi dilakukan juga karena pekerjaan itu atau paket itu banyak keuntungannya dan cara bangunnya pun juga masih menggunakan cara-cara yang lama.
Baca : Banjir Lumpuhkan Aktivitas di Ibukota Aceh Utara
Harusnya, penyebab-penyebab banjir dan longsor ini sudah diketahui dan harus segera ditindaklanjuti dengan berbagai strategi, seperti mengevaluasi kegiatan yang dapat menghancurkan atau merusak hutan. Tapi, sampai saat ini masih tumbuh subur dan terus berlanjut tanpa tanpa upaya apapun.
Cacatan Walhi, daerah mana saja yang tinggi perambahan hutan?
Selama ini perambahan hutan banyak terjadi di kawasan-kawasan hutan strategis atau hutan lindung. Seperti di Kabupaten Pidie, Aceh Besar, Aceh Timur, Langsa, Aceh Utara, Bireun, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Selatan, Subulussalam, Abdya, Aceh Jaya dan Aceh Tengah. ada 15 kabupaten/kota yang rawan sekali terhadap kegiatan illegal logging, tapi yang paling tinggi berada di kawasan Aceh Tamiang, Aceh Tenggara Subulussalam dan Aceh Selatan.
Anda menyebutkan perkebunan kelapa sawit juga menjadi sebab banjir, kenapa?
Kenapa kelapa sawit menjadi faktor penyebab timbulnya banjir, pertama sifat dari tanaman sawit itu sendiri merupakan sejenis pohon yang tidak bisa menyerap air. Pohon ini tidak pernah menyimpan air dalam jumlah besar tetapi tapi kebutuhan airnya tinggi, satu pohon sawit itu membutuhkan sembilan liter per hari, lalu dikalikan saja dengan jumlah batang sawit yang ada, namun pada saat musim hujan pohon ini tidak pernah menyimpan air.
Baca: 10 Desa di Aceh Utara Terendam Banjir
Akhirnya, justru air langsung mengalir ke wilayah pemukiman penduduk. Jadi memang agak berbeda dengan tanaman-tanaman lain yang bisa menyerap air dan menyimpan air dengan mudah, sehingga ketika musim hujan begini air tidak cepat turun langsung ke pemukiman penduduk.
Selain itu?
Rusaknya sungai. Sungai adalah tempat yang paling efektif untuk menampung air dalam jumlah besar, tetapi pada kenyataannya sungai dikeruk untuk kegiatan galian C sampai-sampai jembatan di Bireuen pun putus gara-gara galian C. Begitupun, beberapa aliran sungai di pantai barat juga rusak berat diakibatkan oleh galian C. Akibatnya, air meluap ke pemukiman penduduk, sehingga orang dengan sangat mudah menyalahkan sungai dan musim hujan. Padahal, sungai dan musim hujan itu adalah satu kesatuan alami.
Seperti Krueng Tripa di Nagan Raya meluap ke rumah penduduk, karena hutannya sudah tidak bisa menampung debit air dalam jumlah banyak, ditambah lagi orang banyak menganggap remeh pohon-pohon kecil padahal pohon-pohon kecil itulah yang bisa menyimpan air dengan baik.
Kemudian, apabila tanah gundul maka air akan mencari tempat yang terendah. Seperti di Abdya, daerah yang selama ini menjadi lahan serapan air sudah menjadi perkebunan sawit sehingga mengakibatkan air tidak lagi terserap.
Jika demikian, bagaimana antisipasinya?
Dalam pengurusan izin hak guna usaha (HGU), pemerintah harus melihat proses administrasinya bagaimana, di perusahaan yang ada di Aceh skala besar mengurus yang namanya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Proses AMDAL ini ada tahapannya, mulai dari kerangka usulan acuannya, kemudian proses sidangnya. Karena proses sidang AMDAL ini merupakan bagian dari kajian akademik kemudian proses penerbitan izin dan hal-hal lainnya.
Maksud Anda?
Sebenarnya perdebatan ada pada proses perizinannya, dimana konsesi wilayah yang dimohonkan oleh penguasa tertentu kepada BPN langsung disetujui, kemuduian dibawa ke Bappeda untuk menentukan kesesuaian ruang untuk menyatakan mereka setuju dan sesuai dengan tata ruang. Pantauan kami, dari segi administrasi banyak yang lolos secara hukum juga banyak yang lolos dari aspek akademik. Kenapa ini menjadi kajian penting dari setiap bisnis, karena memang UU Nomor 32 Tahun 2009 merupakan bagian dari undang-undang yang mengontrol kebijakan-kebijakan bisnis di sektor sumber daya alam.
Namun kebiasaan-kebiasaan yang terjadi duluan AMDAL, sementara kajian-kajian akademiknya terlewati. Idealnya adalah, sebelum ada perkebunan baru kajian akademik dibutuhkan untuk setuju atau tidak terhadap perkebunan tersebut tetapi kebanyakan pemerintah mengejar pendapatan asli daerah hingga kini menjadi masalah hukum.
Tapi kalau dihitung-hitung, perkebunan di Aceh ini secara resmi yang dioperasikan oleh berbagai konsensi atau pemberian hak izin tanah mencapai 350 ribu hektar lebih. Punya rakyat mencapai 800 ribu hektar lebih, artinya wilayah perkebunan rakyat ini terutama kelapa sawit luasnya lebih lebih dari pada perusahaan.
800 ribu ini adalah murni punya rakyat, mereka membuka lahan per orang 2 hektar. Mereka tidak mengurus kajian akademik seperti AMDAL. Kalau dilakukan pemeriksaan seluruhnya banyak yang membuka lahan kecil-kecilan tapi seterusnya makin melebar tumbuh pesat, kemudian ditambah dengan perlakuan pemerintah yang menganggarkan pengadaan bibit sawit setiap tahunnya.
Berapa anggaran setiap tahun dianggarkan untuk bibit aswit ini?
Setiap tahunnya, ada Rp 150 miliar lebih yang dianggarkan oleh Pemerintah Aceh untuk pengadaan bibit sawit. Menurut kami, ini merupakan bagian dari kontribusi pemerintah dalam menciptakan bencana berupa banjir dan longsor. Karena itu, kami tetap menyalahkan pemerintah di saat musim hujan.
Kenapa cuma pemerintah?
Karena, pemerintah yang menganggarkan pembangunan berbagai proyek yang menghancurkan hutan dan lahan, bukan dengan pola-pola melestarikan lingkungan. Pemerintah ini tidak peka, mana kawasan lindung dan mana kawasan yang digunakan untuk pembangunan kemudian.
Selain itu, pemerintah juga masih memakai pola pikir yang lama untuk proyek waduk dan embung serta segala macamnya yang dianggap sebagai solusi untuk kelebihan air pada musim hujan. Mereka menganggap, waduk itu sebagai proyek strategis untuk mengatasi banjir.
Kemudian, pemerintah juga kita salahkan untuk pengadaan bibit sawit. Seharusnya, pengadaan bibit sawit itu dihapuskan. Pada periode yang lalu, kami masih melihat Dinas Perkebunan Aceh masih melakukan pengadaan bibit sawit. Untuk itu, kami berharap pada periode ini tidak diadakan lagi dan diganti dengan pengadaan tanaman yang dapat menjaga hutan dan dapat mendatangkan nilai ekonomi lebih dari pada tanaman sawit.
Selain itu?
Alasan lain kenapa kami menyalahkan pemerintah, karena mereka tidak patuh pada penataan ruang. Dan masih sering terjadi, di satu sisi mengatakan inilah fungsi lindung tapi pada sisi lain dijadikan skema pembangunan yang sangat merusak fungsi hutan.
Bagaimana pola penanganannya?
Pola penanganan illegal logging adalah pola yang responsif, bukan pola penegakan hukum. Selama ini banyak kasus umumnya yang ditangkap hanya tukang bawa kayu, tukang potong, dan mereka hanya bisa menertibkan panglong-panglong (tempat pengolahan kayu) tanpa pernah menanyakan apakah kayu ini legal atau illegal, dengan cara-cara seperti ini sehingga tidak pernah terungkap siapa faktor utama yang mengizinkan sehingga kayu boleh dipasok ke tempat pengolahan.
Misalnya?
Misalnya pelaku yang sering dijerat hanya rakyat jelata yang pendapatannya hanya Rp 60 ribu perhari. Sehingga kepastian hukum terhadap pelakunya itu masih lemah. Beberapa kasus, seperti di Subussalam yang ditangkap orang yang disuruh yaitu sopir truk yang membawa kayu hasil illegal logging, kayu itu disita, namun sitaan tersebut tidak tahu ke mana. Jadi, saran saya penindakannya itu mesti diperbaiki dan perlu diperkuat melalui kebijakan politik.
Untuk itu kepada Dinas Perkebunan dan juga Dinas Lingkungan Hidup agar memperkuat penegakan hukum, yang kedua perlu kembali merapikan seluruh data sektor hutan mana wilayah illegal logging dan bukan. Mereka harus membangun sinergi pertambangandengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memeriksa kembali mana-mana yang legal dan mana yang illegal. Jika tidak dirapikan, maka yang ilegal ini akan tumbuh seiring waktu berjalan dan itu tidak akan bisa dikurangi.
Kenapa?
Kerena dilihat dari luas area utama bencana adalah sektor pertambangan. Kenapa disebut dominan pertambangan karena pertambangan tersebut tersebarnya di kawasan hutan lindung, ini yang kemudian menurut saya sebagai aktor utama penyebab dari buruknya lingkungan hidup di Aceh. Yang kedua baru perkebunan yang banyak tersebar di areal hak pengelolaan (HPL). HPL Ini kebanyakan tersebar di wilayah penduduk atau pemukiman, kemudian juga ikut memicu konflik.
Daerah mana saja yang banyak tersebar wilayah tambang?
Untuk sektor tambang banyak tersebar di hutan lindung baik di Kabupaten Pidie, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Nagan Raya. Karena terjadi pertambangan, maka terjadi juga illegal logging, salah satu penyebab illegal logging adalah meningkatnya sektor pertambangan pembukaan lahan baru.
Harapan Anda untuk pemerintahan Irwandi?
Kepada kepemimpinan Irwandi Yusuf, kami meminta agar harus tahu bahwa Aceh ini rawan bencana, bukan saja sebuah kajian ilmiah tapi fakta yang menyatakan bahwa Aceh Ini daerah rawan bencana. Catatan kami ada 15 kabupaten yang menjadi langganan banjir, 7 kabupaten langsgaan tetap yaitu kabupaten Pidie, Aceh Utara, Nagan Raya, Aceh Barat, Singkil, Subulussalam dan Tamiang. []
Editor: Irwan Saputra