Dua tahun lalu, seorang bocah menderita buta total pasca dijangkiti cacar. Selain itu, sistem imun anak malang yang bermukim di Kecamatan Sawang itu, juga rusak.Hasil pemeriksaan relawan kesehatan, sang bocah sudah mengalami kebutaan permanen. Usut punya usut, lelaki belia itu tidak pernah diimunisasi. Kedua orang tua anak itu keukeuh bahwa pemberian vaksin merupakan proyek yahudinisasi untuk merusak umat Islam.
Akhir 2017, difteri dikabarkan kembali menjangkiti Aceh. Padahal penyakit tersebut sudah lama tak terdengar kabarnya.
Dikutip dari detikCom, Maret 2017, sepanjang tahun 2017, 53 warga dari beberapa kabupaten di Aceh terkena difteri. Tiga di antaranya meninggal dunia dan selebihnya dinyatakan sehat. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan tahun 2016.
Berdasarkan data yang dirilis Dinas Kesehatan Aceh, penyakit menular mematikan ini banyak tersebar di beberapa kabupaten di Tanah Rencong. Di antaranya 18 kasus di Aceh Timur, 6 penderita di Aceh Utara, 10 kasus di Pidie Jaya, 7 kasus di Banda Aceh, dan 3 kasus di Aceh Barat.
Sementara di Aceh Besar, Lhokseumawe dan Aceh Selatan masing-masing satu kasus. Tiga warga yang menghembuskan nafas terakhir akibat penyakit ini yaitu asal Aceh Timur, Pidie Jaya dan Bireuen.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh dr Hanif mengatakan, penyakit difteri ini mulai muncul kembali di Aceh sejak tahun 2010 lalu. Jumlah penderita penyakit ini meningkat pada tahun 2016 dan 2017.
“Tempat kita (Aceh) timbul kembali penyakit difteri padahal dulu sudah kita anggap sudah tidak ada,” kata dr Hanif saat ditemui wartawan di kantornya, Kamis (2/3/2017).
Angka penderita penyakit difteri ini meningkat tajam dalam dua bulan terakhir. Pada tahun 2016 lalu, jumlah warga yang terkena difteri yaitu 11 orang dengan rincian 4 di antaranya meninggal dunia.
Menurut dr Hanif, penyebab difteri akibat rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengimunisasi anak mereka. Rata-rata, pasien difteri yang dirawat di rumah sakit di Aceh berusia di bawah 20 tahun.
“Penderita difteri ini rata-rata anak-anak. Orang dewasa ada juga yang terkena. Penderita dewasa kurang fatal. Kalau anak-anak itu cukup fatal,” jelas dr Hanif.
Masih seperti yang diberitakan oleh detikCom, Senin (11/12/2017) penyakit difteri di Provinsi Aceh ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Sepanjang 2017, tercatat ada 93 pasien suspect difteri dan empat di antaranya meninggal dunia.
Kepala Bidang Penanganan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Aceh, dr Abdul Fatah, mengatakan jumlah penderita difteri di Aceh pada 2017 meningkat tajam dibanding 2016, yang hanya 11 kasus. Data pada 2017 itu tercatat dari Januari hingga 11 Desember.
“Aceh sudah KLB difteri. Dalam konteks difteri, ada satu saja terduga difteri sudah dikategorikan KLB,” kata dr Fatah kepada wartawan, Senin (11/12/2017).
Dari 93 kasus pada 2017, 4 di antaranya meninggal dunia, yaitu pasien dari Aceh Timur, Pidie Jaya, Bireuen, dan Aceh Utara. Saat ini empat pasien masih dirawat di ruang Respiratory High Care Unit (RHCU) RSUZA.
Berdasarkan data yang dirilis Dinkes Aceh, ada 12 kabupaten/kota yang warganya terinfeksi bakteri difteri di Aceh. Di antaranya di Aceh Timur 18 orang, Pidie Jaya 14 orang, Banda Aceh 13 orang, Bireuen 11 orang, Aceh Utara 11 orang, Pidie 6 orang, Aceh Besar 6 orang, Aceh Barat 4 orang, Lhokseumawe 2 orang, Sabang 2 orang, serta Aceh Selatan dan Aceh Tamiang.
Menurut Fatah, penyakit difteri menular sangat cepat melalui udara, seperti batuk, kena percikan air liur, dan terkena sentuhan penderita penyakit difteri. Penyakit ini menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, disertai demam dan sesak napas.
“Awal dari terkena penyakit difteri ini akibat belum meratanya proses imunisasi di seluruh pelosok Aceh. Kemudian ada sebagian orang tua yang tidak mau anaknya diimunisasi,” jelas Fatah.
Kasus kematian akibat difteri menjadi momok bagi sejumlah daerah. Setidaknya ada 11 provinsi yang melaporkan kejadian luar biasa (KLB) akibat difteri.
“Pada kurun waktu Oktober-November 2017, ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri di wilayah kabupaten/kota-nya,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Oscar Primadi.
Sebelas provinsi itu adalah Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
***
Dikutip dari Kesmas Id, dr. Aslinar, Spesialis Anak RSUD Aceh Besar, menjelaskan program imunisasi Nasional di Indonesia sudah dijalankan oleh Kementerian Kesehatan sejak 1977. Namun sebenarnya imunisasi di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, program imunisasi dilaksanakan sejak tahun 1956 melalui pemberian imunisasi cacar (variola) dan BCG. Kini, jenis dan jumlah vaksin yang diberikan kepada masyarakat Indonesia terus bertambah. Saat ini vaksin yang beredar di Indonesia dan direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) adalah vaksin Hepatitis B, Polio, BCG, DPT- HiB, Campak.
Adapun berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian vaksin adalah Polio, Hepatitis B, Hepatitis A, Tuberkulosis (TB), Difteri, Pertusis, Tetanus, Meningitis, Pneumonia, Otitis Media, Sepsis, Diare karena Rotavirus, Campak, Gondongan, cacar air, Tifoid/tifus, influenza dan kanker leher rahim.
Penyakit Polio ditargetkan bisa musnah pada 2000. Sayangnya harapan tersebut tidak terwujud sehingga strategi eradikasi Polio terus dilakukan, termasuk Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio yang baru saja dilaksanakan pada 8-15 Maret 2016 lalu. Penyakit lain yang bisa dicegah dengan imunisasi yaitu difteri, yang kembali mewabah pada 2012. Tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada 2010, 806 kasus pada 2011 dan puncaknya pada 2012 mencapai 1.192 kasus.
Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari 2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pasien berasal dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Pidie Jaya. Difteri merupakan penyakit saluran nafas berbahaya. Upaya pencegahannya melalui pemberian imunisasi DPT yang mulai diberikan usia 2 bulan, dilanjutkan usia 4,6 bulan dan pada saat anak memasuki SD.
Anti Vaksin
Masih dalam tulisan yang sama,dr. Aslinar juga menuliskan, Vaksin sering ditakuti karena mengandung bahan kimia yang dikhawatirkan membahayakan kesehatan. Sebagai produk bahan kimia, vaksin terdiri atas bahan aktif dan bahan tambahan. Bahan aktif yaitu virus atau bakteri yang merupakan antigen. Tubuh diharapkan menjadi kebal terhadap penyakit akibat virus/bakteri itu sehingga tidak menjadi sakit. Bahan aktif bisa berupa virus/bakteri utuh, virus sub unit, komponen bakteri, dan toksin bakteri. Sedangkan bahan tambahan yaitu berupa ajuvan, pelarut, stabilisator, pengawet dan komponen trace.
Sejak bermunculan kelompok antivaksin yang menyebar informasi tentang bahaya imunisasi secara luas kepada masyarakat, menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Banyak para orang tua yang terpengaruh setelah membaca informasi dari buku dan berita yang disebar oleh pegiat antivaksin, dan memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada anaknya. Hal ini tentu saja menyebabkan angka cakupan imunisasi semakin berkurang dan sangat dikhawatirkan bahwa penyakit yang sebelumnya sudah menghilang akan muncul kembali malah menimbulkan wabah. Akibat dari ketakutan dan menghindari imunisasi ini dapat mengancam nyawa.
Dengan menolak imunisasi, sebenarnya yang rugi bukan saja anak sebagai individu, namun juga anak-anak lain yang tinggal di sekitarnya. Sejak 2007, akibat gerakan antivaksin ini telah timbul 77.000 penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Data dari Jawa Barat menunjukkan pada 2010 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dengan total penderita 739, sedangkan di tahun 2011 meningkat 35 kali. Kerugian yang ditimbulakn karena KLB sangat besar, bukan hanya kesakitan tapi juga biaya. Bila terjadi KLB di suatu daerah maka dana yang dibutuhkan sebesar Rp 8 miliar, jumlah uang yang sangat banyak dan tidak seharusnya terbuang.
Berbagai isu yang dilempar oleh pegiat antivaksin antara lain bahwa imunisasi merupakan konspirasi Yahudi. Mereka menyebarkan informasi bahwa imunisasi bertujuan melenyapkan umat. Teori ini berlandaskan asumsi curiga dan kecurigaanya sama sekali tidak rasional. Isu lain yang dilempar adalah bahwa ASI bisa menggantikan imunisasi. Memang sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan melalui plasenta. Bayi yang mendapat ASI juga mendapat tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Akan tetapi perlindungan yang didapat bayi tersebut baik dari antibodi ibu atau ASI tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifat perlindungannya hanya sementara. IgG ini akan menghilang ketika usia anak mencapai 1 tahun.
Isu Vaksin Haram
Isu lain yang dilempar dan sangat mempengaruhi masyarakat muslim di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya, yaitu tentang haramnya vaksin. Kita perlu tahu bahwa banyak negara muslim yang melaksanakan imunisasi di negaranya. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Contohnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi membolehkan vaksinasi. Dr Yusuf Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap berbagai vaksin yang digunakan saat ini.
Selain itu persoalan yang sering dikaitkan dengan isu haram ini yaitu pemakaian enzim babi dalam pembuatan vaksin. Pembuatan vaksin tidaklah sesederhana yang dipikirkan, bukan seperti membuat obat campuran/puyer di mana semua obat yang ada termasuk enzim babi digerus menjadi satu dan kemudian menjadi vaksin. Enzim tripsin babi itu sebenarnya digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asama amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian difermentasi, diambil polisakarida sebagai antigen bahan pembentuk vaksin.[]
Sumber:detikCom, KesmasId.