Oleh : Khairul Umam*
TEPAT pada bulan ini yakni Desember 2017 adalah Bulan bersejarah bagi masyarakat Aceh dalam menapaki lintasan panjang sejarah kehidupan. Kira-kira 41 tahun lalu tepatnya 4 Desember 1976, sebuah gerakan yang diprakarsai oleh Hasan Tiro dan kawan-kawan adalah bentuk representasi masyarakat Aceh yang katanya merasa tidak puas dan kecewa terhadap Pemerintah RI, ketidakpuasan tersebut dapat kita cium meliputi dimensi ekonomi, sosial-politik dan hal-hal lain yang dianggap bertentangan dengan janji-janji yang dulunya pernah disepakati.
Bias dari ketidakpuasan tersebut telah melahirkan berbagai macam gerakan yang terus dilakukan tahun demi tahun setiap detiknya hingga melahirkan korban-korban yang tentunya tidak sedikit. Trauma berkepanjangan, kehilangan harta benda serta anggota keluarga bahkan pemerkosaan, anak-anak kehilangan pendidikan serta kebahagiaan adalah bukti kecil yang lahir dari semua gerakan-gerakan yang dilakukan dalam proses perjuangan.
Tidak bermaksud menyalahkan semua sejarah yang telah terjadi serta membasahi luka-luka yg mulai mengering serta menghidupkan bara api amarah, namun inilah kenyataan yang harus kita hadapi dengan kuat serta hikmah yang harus kita petik dan ambil sebagai pelajaran agar nanti lebih waspada dalam mengambil kebijakan serta melangkah dalam menapaki masa depan.
Singkatnya, apa yang terjadi pada masa lalu sudah harus diterima dan dimaafkan sebagai sebuah proses pendewasaan, bukan karena kita merasa benar dan mereka yang salah, tapi karena setiap manusia memiliki hak-hak kedamaian dihati mereka masing-masing.
Hikmahnya, muatan-muatan nilai yang terkandung dari suka-duka masa lalu sudah harus bertransformasi menjadi spirit serta kekuatan baru dalam ikhtiarnya untuk terus melakukan perubahan-perubahan signifikan yang ada di Aceh meliputi segala dimensi kehidupan.
Tidak berlama-lama dengan kondisi Aceh semasa konflik, alangkah lebih adil dan bijak ketika kita juga melihat bagaimana kondisi sosial-politik aceh pasca konflik. Maju atau tidak majunya Aceh dalam dimensi ekonomi politik Aceh pasca konflik tertentu tidak terlepas dari jasa-jasa yang telah dilakukan oleh pejuang pada terdahulu.
Berbagai macam perubahan-perubahan positif yang terjadi meliputi bidang ekonomi, sosial, politik serta pendidikan adalah kenyataan yang harus kita banggakan sebagai sebuah hasil dari proses-proses perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang aceh dulu.
Dana Otsus sebagai hadiah pusat untuk aceh yang seharusnya dikelola dengan baik dan merata, kesenjangan sosial yang semakin rapat, hak-hak poltitik yang semakin diberikan serta pendidikan yang semakin mudah adalah letupan-letupan kecil dari keberhasilan para pejuang-pejuang Aceh dahulu meskipun pencapaian yang kita harapkan masih jauh dari kata sempurna dan harus terus diperjuangkan.
Pertanyaannya, siapa yang akan terus berjuang? siapakah sekarang yang layak kita katakan sebagai pejuang Aceh, apakah harus terlena dengan makna pejuang aceh yang selama ini telah tertanam dalam bawah sadar yaitu meliputi orang-orang Aceh yang dulu pernah berjuang mengangkat senjata yang sekarang konon katanya banyak hidup bermewahan di tengah kesenjangan sosial yang terjadi? Atau siapa?
Tentunya, berbicara pejuang adalah mereka-mereka yang telah rela mengorbankan sedikit kebahagiaan serta kenyamanan hidupnya demi memperjuangkan hal-hal yang harus diperjuangkan. memaknai pejuang di era milenial sekarang sudah harus lebih canggih dan kompleks dengan tidak terhegemoni oleh konspsi-konspsi yang telah diciptakan orang zaman dulu tentang pejuang khususnya pejuang di Aceh.
Hampir semua orang-orang di aceh dari berbagai kalangan memaknai para pejuang aceh adalah mereka-mereka yang telah syahid pada saat gerakan-gerakan perjuangan di masa lampau, mereka-mereka yang mengangkat senjata serta melakukan pembrontakan, hingga makna pejuang yg dilekatkan secara abadi bagi mereka-mereka yang sekarang telah menjadi pemimpin diberbagai wilayah propinsi maupun kabupaten dan organisasi politik yang notabenya pernah mengangkat senjata dalam melakukan perjuangan.
Kita semacam tergiring oleh opini-opini yang diciptakan publik tanpa ada proses pembacaan lebih lanjut tentang konsepsi-kosepsi yang terlah terlajur terciptakan tentang pejuang. Saya malah berpendapat bahwa konsepsi-konspsi yang telah terbangun adalah makna yang cukup kerdil tentang Pejuang hingga berbias pada mudah nya dipolitisir untuk kepentingan-kepentingan politik para elit-elit politik di daerah tercinta ini.
Semua makna yang telah terlanjur lahir tidak lah salah, namun untuk zaman sekarang memaknai pejuang harus lah dalam makna yang Universal dan tidak kerdil. Para pejuang khususnya di Aceh jangan hanya sebatas dipahami pada segelintir orang pada masa lalu dan masih hidup zaman sekarang yang pernah mengangkat senjata kemudian melakukan pembrontakan untuk melakukan protes-protes terhadap ketidakpuasan yang sedang terjadi.
Makna yang telah mengkristal harus dilakukan rekontruski, reframming, atau disegarkan kembali agar nilai-nilai dari makna pejuang itu tetap eksis hingga waktu-waktu yang akan datang. Makna dari kata pejuang sudah harus berhijrah dari makna sebelumnya sudah kusam dan berabu, agar makna pejuang Aceh bisa kita lekatkan pada mereka-mereka yang terus bergerak dan berjuang disegala bidang dan dimensi kehidupan di Aceh.
Para aktivis-aktivis perguruan tinggi yang sedang membentuk kapasitas diri dalam mempersiapkan diri di masa depan, para penulis khususnya anak muda yang terus berjuang dalam merawat peradaban, para ulama, aktivis-aktivis kemanusiaan, pemain Politik sebagai salah satu instrumen Peradaban, hingga guru-guru yang terus berjuang dalam mencerdaskan generasi bangsa.
Kita harus jeli dalam melihat bagaimana pergerakan-pergerakan yang terus dilakukan mahasiswa dalam mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah meskipun tidak sedikit mahasiswa oportunis yang memelacurkan diri kepada para elit-elit politik, juga kepada akademisi-akademisi muda yang terus berjuang melalui karya-karya mereka dalam menciptakan peradaban yang lebih berbudaya, kepada para pegiat seni dan olahraga yang mencoba mengharumkan nama Aceh ditingkat nasional bahkan internasional melalui buah karya mereka, untuk pejuang kemanusian yang sudi masuk kedalam sendi-sendi terdalam masyarakat yang mungkin tidak tersentuh oleh tangan-tangan bersih pemerintah, dan para-para pejuang lain yang tidak terlihat oleh mata kita dan bahkan para pejuang yang menyembunyikan setiap perjuangan-perjuangan yang mereka lakukan.
Semua pejuang-pejuang yang saya sebutkan diatas dan para pejuang yang ada didalam pikiran teman-teman pembaca sudah harus dilebeli sebagai pejuang zaman sekarang khususnya Aceh karena upaya mereka dalam menggiring Aceh ke posisi yang lebih baik, meskipun apalah arti sebuah lebel pejuang jika perjuangan-perjuangan yang dilakukan tidak berpijak pada keikhlasan. Namun ini adalah sebuah kewajiban dan keharusan dalam meluruskan sudut pandang kita tentang makna sebenarnya apa itu Pejuang Aceh.
Agar, bias dari rekontruksi ulang makna pejuang kiranya dapat membentuk pandangan baru kita tentang pejuang Aceh, dan kedepan kita lebih adil dalam melihat bahwasanya setiap perubahan-perubahan sosial kearah positif yang terjadi di Aceh tidak hanya dilakukan oleh pejuang-pejuang zaman dulu, tapi tidak terlepas dari apa-apa yang sedang dilakukan oleh pejuang-pejuang zaman sekarang. Nah! []
*Penulis adalah (Kabid PA HMI Ushuluddin dan Filsaftat)