Oleh : Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA*
Muslim Rohingya merupakan satu komunitas masyarakat yang hidup dalam wilayah Rakhin yang juga bernama Arakan, awalnya Arakan bernama Rohang sedangkan masyarakatnya disebut Rohingya. Tahun 1430 M Sultan Sulaiman Syah menjadikannya sebuah kesultanan Islam dengan bantuan masyarakat muslim Bengal (sekarang Bangladesh).
Seterusnya nama Rohingya diganti menjadi Arakan sebagai bentuk jamak dari kata arab ‘rukun’ yang berarti tiang/pokok, pergantian tersebut khusus untuk menegaskan identitas keislaman mereka.
Agama Islam hadir di Burma semenjak abad ketujuh ketika Arakan banyak disinggahi para pedagang Arab. Arakan merupakan tempat terkenal bagi para pelaut Arab, Moor, Turki, Moghuls, Asia Tengah, dan Bengal yang datang melalui jalur darat dan laut sebagai pedagang, sebagai prajurit, dan sebagai ulama pembawa missi Islam.
Para pendatang tersebut kebanyakannya menetap di sana dan sebahagiannya menikah dengan kaum tempatan sehingga terbentuk muslim Rohingya, mereka merupakan pemilik sah tanah air bernama Rakhin atau Arakan yang kini dirampas, disiksa, dipaksa, dibantai, dibunuh, dan diperkosa oleh kaum Budha.
Sejarah mencatat bahwa umat Islam tiba di wilayah Arakan bertepatan dengan masa kepemimpinan Khalifah Harun al-Rasyid dalam Daulah Bani Abbasiyah. Kedatangan kaum muslimin di wilayah tersebut melalui jalur perdagangan dengan cara aman dan damai, bukan peperangan apalagi penjajahan. Karena umat Islam semakin banyak dan terkonsentrasi di suatu wilayah, jadilah ia sebuah kerajaan Islam yang berdiri sendiri.
Kerajaan tersebut berlangsung selama 3,5 abad. Dan dipimpin oleh 48 raja. Yaitu antara tahun 1430 – 1784 M. Banyak peninggalan-peninggalan umat Islam yang terwarisi di wilayah tersebut. Ada masjid-masjid dan madrasah-madrasah. Di antara masjid yang paling terkenal adalah Masjid Badr di Arakan dan Masjid Sindi Khan yang dibangun tahun 1430 M.
Derita Rohingya
Karena menjadi kaum minoritas dalam negara mayoritas Budha, muslim Rohingya terus dianiaya dengan berbagai cara di luar kemanusiaan. Dalam tahun 1784 M raja Budha dari suku Burma, Bodawpaya (1782-1819 M) menyerang dan menganeksasi Arakan menjadi bahagian negara Burma untuk menghambat berkembangnya Islam di sana. Pada waktu itu rezim Budha menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam seperti masjid dan madrasah, para ulama dan da’i dibunuh. Suku Birma terus-menerus mengintimidasi kaum muslimin dan menjarah hak milik mereka, seraya memprovokasi orang-orang Magh untuk melakukan hal yang sama. Keadaan tersebut terus berlangsung selama 40 tahun sampai datangnya penjajah Inggeris.
Pada tahun 1942 Orang-orang Budha Magh membantai mereka dengan dukungan senjata dan materi dari saudara Budha mereka suku Birma dan suku-suku lainnya. Lebih dari 100.000 muslim tewas dalam peristiwa tersebut, sebahagian besar mereka adalah wanita, orang tua, dan anak-anak. Pada tahun 1948 M penjajah Inggeris membebaskan Burma dari jajahannya dengan memberi kebebasan kepada semua suku untuk mandiri, namun suku Birma yang mayoritas mengkunci mati agar muslim Arakan tetap menjadi bahagian dari mereka dan tidak boleh mendirikan sebuah negara muslim.
Ketika militer berkuasa di Myanmar sebagai nama baru bagi Burma melalui kudeta Jendral Ne Win tahun 1962 M, umat Islam Arakan mengalami berbagai bentuk kedhaliman dan intimidasi. Mereka dibunuh, diusir, ditekan hak-haknya, dan tidak diakui hak-hak kewarga-negaraannya.
Mereka disamakan dengan orang-orang Bangladesh dalam hal agama, bahasa, dan fisik. Kaum muslimin sangat dilarang untuk membangun suatu bangunan yang berkaitan dengan Islam seperti masjid, madrasah, kantor-kantor dan perpustakaan, tempat penampungan anak yatim. sebagian sekolah-sekolah Islam yang tersisa tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah, dilarang untuk dikembangkan, dan tidak diakui lulusannya.
Umat Islam diusir dari kampung halaman mereka, harta benda milik ummat Islam seperti tanah-tanah dan kebun-kebun pertanian mereka dirampas. Lalu orang-orang Budha menguasainya dan membangunnya dengan harta-harta yang dirampas dari kaum muslimin. Atau dibangun barak militer tanpa kompensasi apapun, siapa saja yang menolak, tebusannya adalah nyawa. Peristiwa selanjutnya yang menimpa muslim Arakan adalah pengusiran demi pengusiran yang dilakukan militer fasis secara biadab.
Pada tahun 1962 M, militer fasis Myanmar mengusir 300.000 orang Arakan ke wilayah Bangladesh. Pada tahun 1978 M, lebih dari 500.000 kaum muslimin diusir dan mengalami tekanan yang sangat berat hingga hampir 400.000 orang dari mereka tewas. Termasuk di dalamnya orang-orang tua, wanita, dan anak-anak. Tahun 1988, 150.000 kaum muslimin diusir karena orang-orang Budha mau membangun desa mereka sebagai tempat percontohan.
Tahun 1991, hampir 500.0000 orang muslim diusir, sebagai konpensasi atas kemenagnan partai oposisi (NLD) dalam pemilu yang didukung oleh umat Islam, dan hasil pemilu pun dibatalkan.
Pada masa tersebut muslim Rohingya dipaksa bekerja tanpa makanan, minuman, dan tanpa gaji, umat Islam dilarang untuk mendapatkan pendidikan yang layak, tidak boleh kuliah di perguruan tinggi. Bagi mereka yang berusaha mendapatkan pendidikan di luar negeri, kemudian kembali ke Myanmar dalam keadaan terdidik, maka akan dijebloskan ke dalam penjara. Mereka tidak boleh menjadi pegawai negeri, kalaupun ada maka tidak akan mendapatkan hak-haknya secara penuh. Dilarang melakukan perjalanan ke luar negeri, walaupun untuk beribadah haji.
Mereka hanya diperbolehkan pergi ke Bangladesh dengan ketentuan waktu yang terbatas. Mereka tidak diperbolehkan berpergian ke Ibu Kota Rangon dan kota-kota lainnya di Myanmar. Jika mereka hendak pindah kota, harus mendapatkan surat izin yang jelas dari rezim Budha.
Zaman Berputar, Musim Berganti
Dahulu Arakan merupakan sebuah negara muslim berdaulat sebagaimana juga dengan Moro di Filipina Selatan, Pattani di Thailand Selatan, dan Aceh di hujung barat Pulau Sumatera, namun sekarang semuanya hanya menjadi satu wilayah kecil dalam bingkai negara besar yang cenderung kasar dan kejam. Itulah namanya efek dari perputaran zaman, perobahan masa, dan pergantian generasi, ketika itu yang terjadi maka sesuatu yang dahulunya manis akan berobah menjadi pahit, sesuatu yang dahulunya menyenangkan berobah menjadi menyusahkan, sesuatu yang dahulunya terasa aman tenteram berobah menjadi kacau balau, sesuatu yang dahulunya harmonis berubah menjadi anarkhis.
Adakah ummat Islam dunia mengambil pelajaran dari semua itu ketika muslim diperintahkan non muslim mereka menjadi tersiksa dan sengsara raya. Kalau jawabannya ada maka kenapa pula ada ummat Islam yang memperjuangkan non muslim menjadi pemimpin mayoritas muslim seperti di ibukota Jakarta dalam musim pilkada 2017 yang lalu. Kalau itu ada maka kenapa ummat Islam dengan terang-terangan mendukung non muslim untuk mensekulerkan negara mayoritas muslim seperti apa yang terjadi di Mesir, Aljazair, Indonesia, dan sebagainya.
Bukankah sejarah telah mencatat ketika ummat Islam berkuasa non muslim diselamatkan dan diberikan fasilitas hidup serupa dengan fasilitas yang dimiliki ummat Islam itu sendiri seperti pada zaman penguasaan Madinah dan penaklukkan Makkah. Sebaliknya bukankan ketika non muslim berkuasa ummat Islam diancam dengan tiga pilihan; masuk agama mereka, dibunuh, atau keluar dari negaranya seperti yang terjadi di Andalusia, Kosovo/Bosnia, Palestina, dan yang paling baru adalah muslim Rohingya di Myanmar.
Aceh merupakan salah satu wilayah yang penuh dengan sejarah Islam yang gemilang dengan bangsanya yang terkenal perkasa, dahulu pernah menjadi negara berkuasa dan masuk salah satu negara super power Islam pada zaman Iskanda Muda Meukuta Alam. Di antara negara-negara besar pada masa itu adalah: Kerajaan Islam Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul Asia Minor, Kerajaan Islam Moroko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Akra di anak benua India, dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
Kejayaan Aceh dahulu kala kini tinggal dalam sejarah sebagaimana juga kejayaan negara Rakhin yang hari ini terbenam sudah dan bangsanya menjadi kaum terhina, terbodoh, termiskin, terbelakang pada mata penjajahnya kaum Budha Myanmar. Lalu akankah kondisi seperti itu melanda muslim Aceh suatu masa nanti ketika Indonesia menjadi negara komunis, atau menjadi negara Kristen yang kedua ideologi tersebut sedang bekerja keras untuk mengambil alih negara yang berlabel NKRI ini.
Bukan tidak mungkin, tetapi besar kemungkinan kalau muslim Aceh lezat dengan nostalgia, suka menyalahkan sesama mereka dan lupa dengan perjuangan Islamnya serta lupa kepada Allah, suatu masa apa yang tengah terjadi di Arakan akan mengalir dan terjadi di Aceh. Na’uzubillah. Bersiap-siaplah wahai bangsaku.[]
*(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Ar-Raniry) diadanna@yahoo.com