Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud memantik api yang telah mulai padam oleh berlalunya waktu. Tapi hanya sekedar usaha menjaga kewarasan agar kepanikan dan kelatahan tempo lalu tidak lagi terulang. Sadar atau pun tidak, kita telah larut dalam kelatahan dan kepanikan yang sama sekali kurang penting. Kita ingin terlibat dalam segala hal. Memang tidak ada larangan, tapi pola geureubak geureubuk (tergopoh-gopoh) tentu akan membuat kita tersuruek (gagal fokus).
Beberapa hari lalu, masyarakat Aceh, khususnya Bireuen, baik yang menetap di alam nyata maupun alam maya, terlihat ikut berpartisipasi dalam meramaikan satu “tragedi” yang terjadi di RS Fauziah Bireuen. Para perawi berita pun terlihat aktif menyemarakkan satu “insiden” kecil nan halus yang melanda awak RS Fauziah Bireuen saat menerima tim akreditasi pada 15 Desember 2017 dengan pola “framing” masing-masing.
“Sajadah digunakan sebagai alas kaki.” Kira-kira demikian nada beberapa tajuk riwayat yang berkembang. Tentu saja tajuk berita serupa ini akan menuai respon emosional dari publik. Bagaimana tidak, sajadah yang biasanya dipakai untuk shalat telah dijadikan alas kaki. Publik marah, geram dan merah muka.
Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan Aceh (LEMKASPA) sebagaiamana dicatat lintasnasional (16/12/17) misalnya, menyebut kejadian tersebut telah “melukai hati rakyat Aceh yang menjunjung tinggi nilai-nilai Keislaman.”
Uniknya lagi, seperti dirilis AceHTrend (17/12/17), Kepala RSU Fauziah Bireuen justru mengaku disabotase agar nama baiknya tercemar. Sementara hasil konfirmasi dari kabarbireuen (16/12/17), pimpinan RS meminta maaf dan menyebut kejadian itu bukan kesengajaan. Dan hasil penelusuran AceHTrend seperti dicatat Muhajir Juli juga menyinggung tentang keretakan internal di RS Fauziah yang telah muncul sebelumnya.
Seperti biasa, pro-kontra dan kecaman pun terus bergulir menyisir beranda-beranda facebook yang tak pernah sepi dengan ragam isu yang terus berkeliaran. Semua merasa benar dengan pendapatnya. Dan semua pendapat itu patut dihargai sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Namun, kondisi akan runyam, jika “insiden” tersebut dihubungkaitkan dengan agama, sebab emosi publik akan mudah terpancing dengan “framing” bernuansa negatif dari beberapa media yang belum tentu tepat.
Dari ragam komentar yang bergulir, hampir semua netizen “sepakat” bahwa telah terjadi “pelecehan” terhadap sajadah karena digunakan sebagai alas kaki. Tapi apakah benar sajadah telah dijadikan alas kaki? Apakah definisi sajadah itu. Dan apa pula ta’rif dari alas kaki?
Sayang, pertanyaan penting yang menjadi titik poin ini tidak pernah terjawab. Tidak ada satu pun komentator yang mencoba menjelaskan pengertian dua terma majhul ini. Yang terjadi adalah penghukuman dan vonis tanpa pengadilan, tanpa hakim, tanpa pengacara. Akhirnya “terdakwa” terduduk layu di hadapan tuan “jaksa” yang telah merebut palu dari tangan hakim.
Secara sederhana kata sajadah dapat diartikan sebagai tikar atau karpet alias alas yang dipakai untuk sujud. Sementara sujud (sajada) itu sendiri bermakna berlutut atau bersimpuh dengan kepala mengarah ke bawah. Sedangkan tempat sujud disebut dengan masjid (isim makan)
Pemaknaan sajadah dalam pemahaman Melayu masih berkait erat dengan makna sajadah dalam Bahasa Arab. Kita memahami sajadah sebagai alas untuk shalat, baik ukuran kecil atau pun besar. Dengan demikian, setiap sesuatu yang digunakan untuk alas shalat bisa saja disebut sebagai sajadah, sebab tidak ada persyaratan dalam agama bahwa sajadah harus bergambar kubah mesjid atau tiang mesjid. Bahkan shalat di atas sajadah yang bergambar jika mengganggu konsentrasi (kekusyukan) justru tidak dianjurkan. Penting juga diingat bahwa tidak ada kewajiban menggelar sajadah ketika shalat, sebab dahulu Rasul dan sahabatnya justru melaksanakan sujud di atas tanah, tanpa sajadah dalam pengertian hari ini.
Sajadah yang ada saat ini hanyalah hasil kreativitas manusia, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan ‘aqidah. Kemudian apakah sajadah itu simbol agama? Jawabannya tentu tergantung dari sudut pandang masing-masing. Artinya, sajadah telah dianggap sebagai simbol agama melalui tradisi turun-temurun, bukan melalui ayat-ayat Tuhan.
Kemudian apa itu alas kaki? Pada prinsipnya, sesuatu itu disebut sebagai alas kaki apabila ia melekat terus menerus pada kaki. Sebagai contoh paling populer adalah sepatu dan sandal. Kita tentu sering menemukan peringatan di tempat-tempat tertentu: “Dilarang menaikkan alas kaki.” Kira-kira bagaimana kita memahami peringatan ini? Apakah karpet masuk dalam larangan ini?
Orang-orang normal tentu akan memusatkan perhatiannya pada sandal dan sepatu ketika berhadapan dengan peringatan tersebut. Rasanya belum, dan tidak akan pernah ada orang yang berkesimpulan bahwa kita dilarang memakai tikar atau karpet. Dengan demikian, penyebutan alas kaki kepada sajadah adalah tidak tepat. Sebab sajadah tidak mungkin berubah menjadi alas kaki.
Jika hanya karena berjalan di atasnya kemudian benda tersebut dinamakan alas kaki, maka lantai dan jalanan yang kita pijak tiap hari pun boleh disebut alas kaki. Jika kita sepakat dengan model penyimpulan seperti ini, maka kita harus jujur, bahwa bukan saja tim akreditasi RSU Fauziah yang menginjak sajadah sebagai alas kaki, tapi kita pun saban hari melakukan hal yang sama ketika memasuki mesjid. Artinya, sampai dengan detik ini belum ditemukan seorang pun yang masuk mesjid menggunakan kepala untuk menghindari menginjak sajadah.
Dan jika dihitung secara matematis, maka penggunaan sajadah sebagai alas kaki (pijakan) durasinya lebih lama jika dibandingkan penggunaannya sebagai alas kepala (untuk sujud). Untuk membuktikan teori ini, semua kita bisa melakukan observasi langsung di mesjid-mesjid. Hal ini penting guna mengurangi tensi kelatahan.
Sementara itu, seperti kita lihat, saat ini telah banyak bangunan rumah-rumah besar dan juga perkantoran yang di bagian atasnya disertai atap setengah bundar yang menyerupai kubah mesjid. Kira-kira siapa berani menjamin di dalam rumah-rumah itu tidak terjadi perjudian, zina atau sejenisnya?
Dan siapa pula berani memastikan bahwa di kantor-kantor pemerintah yang di atapnya dilengkapi kubah tidak terjadi tindakan korupsi dan sebangsanya? Tapi, apakah kemudian kita pernah menuding hal tersebut sebagai sebuah pelecehan terhadap agama? Bahwa telah terjadi perjudian atau pun korupsi dalam mesjid, sebab ia memiliki kubah? Di sinilah pentingnya kewarasan.
Namun demikian, tulisan ini tidak secara otomatis membenarkan mentah-mentah tindakan awak RS yang pada praktiknya telah menyalahi etika umum. Tindakan awak RS, baik sengaja atau pun tidak tentunya patut dievaluasi guna mengurangi kepanikan. Apa yang terjadi di RS Fauziah beberapa hari lalu hanyalah sebuah ekspresi kepanikan dari ketidaksiapan mereka menghadapi tamu.
Masih “lumayan” mereka menggelar karpet shalat (sajadah), meskipun sangat tidak etis. Tapi publik juga tidak akan kalah heboh jika awak RS saat itu tiba-tiba menggelar tikar jemur padi.
Beginilah jadinya jika sesuatu dilakukan dengan geureubak geureubuk, pasti meusuruek.