Oleh Nelly Safrina*)
Profesi perawat, sejatinya adalah sebuah kekuatan untuk menggerakkan sektor kesehatan di tanah air. Bayangkan, saat ini terdapat 296.876 perawat yang tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia. Di Aceh sendiri, data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDMK, Kemenkes RI menyebutkan, terdapat 10.466 perawat.
Pada tahun 2016, dari data yang penulis dapat, 62,04 persen Puskesmas malah memiliki jumlah perawat yang melebihi dari standar yang ditetapkan. Namun, keluhan masyarakat secara mengkhawatirkan masih ditujukan untuk perawat dengan berbagai aspek ketidakpuasan dalam pelayanannya.
Sementara di sisi lain, profesi perawat masih sangat rentan menghadapi tuntutan hukum dan tindakan amoral dari pasien dan lainnya. Belum lagi persoalan upah bagi tenaga perawat khususnya tenaga kerja sukarela (TKS) yang juga menjadi persoalan tersendiri bagi perawat.
Profesi perawat juga masih dihadapkan kurangnya pengetahuan perawat terkait hakikat keprofesiannya, dan bisa pula karena pemetaan kompetensi yang tidak proporsional dibandingkan dengan jumlah klien sehingga tidak bisa optimal menjalankan tugas dan fungsinya sesuai standar praktik sebagai perawat kepada klien. Ditambah lagi di era akreditasi saat ini, perawat harus bergelut dengan tumpukan kertas administrasi yang sedikit banyak mengganggu dalam perawat melakukan tugas utamanya.
Terepas dari persoalan di atas, asuhan keperawatan dalam pelayanan kesehatan (surat terbuka Perawat Peduli Indonesia kepada Presiden R.I Joko Widodo : 2017) memegang peran penting untuk menyehatkan Indonesia. Penilaian akhir keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan diharapkan menjadi salah satu indikator boleh atau tidaknya seorang klien (penyebutan pasien bagi perawat menurut UU Keperawatan) dipulangkan dari rumah sakit.
Namun, selama ini yang terjadi adalah indikasi dirawat ataupun dipulangkannya seseorang hanyalah berpatokan kepada rencana dan keberhasilan pengobatan tanpa memperhatikan kemandirian dan kepulihan klien dalam melakukan aktivitasnya.
Hal ini menyebabkan penyembuhan klien/pasien terkesan gagal karena memandang keberhasilan perawatannya di rumah sakit hanya dari satu sisi layanan. Kondisi ini diperberat dengan perencanaan pulang (discharge planning) yang seharusnya dilakukan dengan memberikan keterampilan pada klien dan keluarga untuk merawat diri mereka sendiri ketika sudah kembali ke rumah kurang dilakukan. Sehingga asuhan berkesinambungan tidak terjadi. Konsekuensinya adalah klien akan kembali dirawat di rumah sakit dengan masalah kesehatan yang sama atau terjadi komplikasi penyakit yang lain.
Sesungguhnya sangat banyak yang harus dilakukan perawat dalam pelayanan asuhannya termasuk memastikan kebersihan klien (personal hygiene), memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar klien juga memastikan bahwa klien yang tidak bisa mandiri menjadi mandiri dan sebisa mungkin pulih kepada kondisinya semula.
Jadi pelayanan keperawatan merupakan suatu layanan yang holistik dan komprehensif meliputi biologis, psikologis dan spiritual serta tidak terbatas hanya pada sehat-sakit saja melainkan melingkupi sehat, resiko dan sakit.
Misalnya, seorang klien yang datang ke rumah sakit tidak bisa berjalan, dengan intervensi keperawatan yang benar, seharusnya saat pulang sudah bisa berjalan, atau minimal tertatih-tatih, atau minimal keluarganya mengetahui bagaimana melatih klien tersebut agar bisa berjalan.
Contoh lain adalah aplikasi praktek mandiri oleh perawat yaitu perawat luka (wound care) dengan program “stop amputasi” yang telah berhasil menyelamatkan banyak organ tubuh untuk tidak diamputasi yang dilakukan dengan proses keperawatan yang benar berdasarkan tahapan asuhan keperawatan. Walaupun terkadang kondisi tersebut sebelumnya oleh dokter telah dikatakan harus diamputasi.
Solusi
Dalam Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 tahun 2014 pasal 17 disebutkan bahwa untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh perawat, menteri dan Konsil Keperawatan bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan mutu perawat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Perawat harus melakukan registrasi sebagai bukti kompetensi dalam menjalankan pelayanan keperawatan dan memberi perlindungan secara hukum bagi perawat dalam menjalankan kewajiban profesinya. Dalam pasal 18 ayat (5) poin f. UU RI No.38/2014 dikatakan bahwa dalam perpanjangan STR harus memenuhi memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya.
Sedangkan dalam Undang-Undang R.I Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dikatakan bahwa salah satu kewajiban pemerintah daerah adalah memberikan pendidikan bekelanjutan kepada pegawai profesionalnya minimal 10 jam selama setahun agar upgrade keilmuan staf bisa terus ditingkatkan.
Namun, setelah hampir tiga tahun sejak UU Keperawatan disahkan, belum terlihat dampak yang signifikan terhadap perkembangan profesi keperawatan. Hal ini berkaitan erat dengan belum terbentuknya Konsil Keperawatan yang seharusnya telah dibentuk setelah dua tahun UU keperawatan disahkan. Konsil Keperawatan adalah suatu badan otonom, mandiri, dan independen akan menjamin kredensial perawat Indonesia menjadi lebih capable, acceptable, and credible.
Sudah selayaknya pemerintah segera memberikan otonomi kepada profesi perawat dalam menentukan arah perkembangan profesinya layaknya perlakuan pemerintah terhadap Konsil Kedokteran, yang bertujuan meningkatkan kualitas praktik keperawatan dan juga kualitas pendidikan keperawatan. Salah satu tugas beratnya adalah menata pendidikan dan praktik keperawatan agar kembali ke jalur profesionalnya yang benar serta perlindungan hukum terhadap perawat yang melakukan praktik keperawatannya serta masyarakat selaku pengguna jasa layanan keperawatan.
*)Nelly Safrina, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.