Prospek taraf hidup petani Aceh sepertinya belum bakal membaik dalam waktu dekat. Sebaliknya, hingga saat ini makin jatuh terpuruk. Mengingat profesi petani digeluti oleh mayoritas rakyat Aceh. Maka indeks kesejahteraan provinsi Aceh, porsi terbesarnya ditentukan oleh petani. Kendati data statistik menunjukkan kabar yang menyedihkan. Petani Aceh menduduki peringkat ke-1 yang termiskin di Sumatera. Serta urutan ke-4 di tingkat nasional. Memilukan.
Di saat yang bersamaan, penerimaan dana otonomi khusus yang diberikan Pemerintah Pusat untuk memacu pembangunan Aceh justru bertambah triliunan rupiah. Dana ini tidak abadi. Namun berakhir di tahun 2027.
Mirisnya, apa yang dialami petani ini hanya “sedikit berbeda” tatkala konflik Aceh masih bergejolak. Dulu tak bebas bertani. Mau menuju kebun dituduh pengecut, jika berjumpa anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pulang ke kampung disangka pemberontak (bila bertemu pasukan pemerintah). Serba salah. Petani terjepit dari pelbagai sisi. Akibatnya siklus ekonomi jadi terganggu. Pendapatan berkurang. Bahkan tak ada sama sekali. Sekarang tidak. Pulang hingga larut malam pun tak masalah.
Untuk taraf hidup mereka saat ini, masih merupakan kalangan mayoritas yang dibekap kemiskinan. Itu belum termasuk perbandingan antara petani yang memiliki lahan dan yang bekerja di lahan milik orang lain. Juga belum segala biaya persiapan dan alat serta bahan penunjang yang harus dipenuhi petani sebelum memulai aktivitas taninya. Belum termasuk pemasaran hasil panen.
Kepedihan petani Aceh di bidang tertentu semakin bertambah ketika belum lama ini hasil produksi mereka “dilabel haram” dan tak layak konsumsi. Ini tak sensitif. Waktunya pun tidak tepat. Karena diumumkan tanpa solusi yang berimbang. Usul tanpa “modal” yang memadai untuk memperbaiki kualitas produk petani. Ibarat sekadar cakap, tak bisa bikin. Ada aroma sensasi.
Padahal Islam sejatinya hadir untuk mempermudah kehidupan umat manusia, bukan mempersulit. Memberi solusi, bukan masalah. Mencari jalan keluar, tidak jalan buntu. “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu” (QS. 2: 185).
Belum lagi secara tak langsung dan mungkin tanpa disadari, malah memihak pada pemodal besar yang kapitalistik. Kelas kapitalis borjuis tentu saja ketiban untung tanpa perlu sibuk mengurus segala hal untuk promosi. Sebab mampu menghasilkan kualitas yang lebih baik melalui mesin-mesin produksi yang mutakhir. Yang petani-petani kecil mustahil memilikinya demi mencari sesuap nasi.
Tidak jadi masalah jika kelas borjuis bertambah. Seperti pengusaha. Karena roda perekonomian pun berputar cepat berkat sumbangsih eksistensi mereka. Lapangan pekerjaan juga bakal bertumbuh. Bahkan untuk memajukan sebuah negara atau pun wilayah, diperlukan sekurang-kurangnya dua persen pengusaha dari keseluruhan jumlah populasi penduduk.
Namun demikian, para petani tetaplah harus diutamakan. Karena ini merupakan profesi dari mayoritas masyarakat Aceh. Jika suatu informasi kemudian menimbulkan ketidakpastian di publik, konsumen pun mulai ragu-ragu membeli produk petani. Indeks kesejahteraan rakyat Aceh ikut serta berada dalam “guncangan”. Implikasinya pun tak main-main dan tentu memusingkan para pejabat pemerintah. Kemiskinan meningkat.
Mengacu pada pernyataan Gerakan Kebangkitan Tani dan Nelayan (Gerbang Tani) provinsi Aceh, yang mengutipnya dari Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) Aceh hanya mampu mencapai angka 94,18. Di Sumatera, NTP tertinggi diraih provinsi Lampung. Yang mencapai 105,97. Seharusnya NTP Aceh berada di atas angka 100 agar biaya pengeluaran petani lebih kecil daripada pemasukan. Jika di bawah angka 100, maka petani Aceh masih merugi. Kesejahteraan pun sulit dicapai. (aceh.tribunnews.com, 11/11/2017)
Pendapatan petani pun kadang kala tak menentu. Bisa saja panen gagal akibat cuaca maupun bencana alam. Pemasaran juga tak luput dari masalah. Bisa saja harga jual jauh lebih rendah dibandingkan biaya modal. Memanen pun membutuhkan masa tunggu yang tidak singkat. Dan untuk mengisi pendapatan di masa tunggu, maka para petani ada juga yang beralih profesi. Tukang bangunan, pedagang keliling, buruh lepas, dsb.
Menko Perekonomian Darmin Nasution yang tampil sebagai pembicara di Musyawarah Nasional Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB), menyebutkan bahwa petani di Indonesia memiliki tanggungan hidup dan pekerjaan yang lebuh berat dibandingkan menjadi karyawan kantoran. Diperlukan transformasi agar penghasilan petani menjadi lebih baik dan pekerjaannya terfokus. Jika tidak, maka profesi petani bisa-bisa hilang ditelan zaman. Apalagi regenerasi kaum muda terpelajar cenderung menjauhi profesi petani. (finance.detik.com, 16/12/2017)
Khusus di Aceh, kesejahteraan petani sudah menunjukkan “lampu merah”. Bila tidak ada penanganan yang optimal dari pembuat kebijakan, maka pedihnya nasib yang dialami para petani bakal berlanjut seiring waktu berjalan. Untuk itu para pemangku kepentingan (stakeholders) perlu menanganinya secara langsung dan segera, agar petani Aceh mampu hidup lebih sejahtera.