ACEHTREND.CO, Banda Aceh- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Balai Syura Urueng Inong Aceh (BSUIA) Selasa (26/12/2017) meminta agar proses penetapan himne Aceh untuk segera dihentikan. Mereka berdalih bahwa himne tersebut tidak mewakili keberagaman etnis di Aceh.
Dalam rilisnya yang dikirimkan kepada aceHTrend, Khairani Arifin, salah seorang anggota BSUIA mengatakan himne Aceh yang sedang dibuat oleh DPRA belum mencerminkan keragaman identitas yang ada di Aceh, khususnya keberagaman suku dan juga bahasa, serta prosesnya tidak memenuhi perudang-undangan yang berlaku.
“Pembahasan dan pengesahan himne Aceh harus dihentikan karena tidak ada qanun yang mengatur. Dalam pandangan yuridis, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pada Pasal 248 ayat (3) dinyatakan bahwa, ketentuan tentang himne Aceh akan diatur dalam Qanun Aceh. Selain itu dalam Pasal 11, ayat (6) Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh juga menyebutkan bahwa, ketentuan tentang himne Aceh akan diatur dengan Qanun Aceh,” ujar perempuan yang menjabat sebagai Ketua Presidium BSUIA.
Ia melanjutkan, sampai saat ini Aceh belum mengatur ketentuan tentang himne Aceh dengan Qanun Aceh, sehingga pengesahan himne Aceh secara yuridis tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Penting untuk memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang tersedia dalam penetapan himne Aceh, dan membuka ruang partisipasi secara luas kepada semua pihak yang ada di Aceh, dengan memperhatikan keberagaman suku, bahasa dan identitas keacehan yang ada di Aceh dalam proses penyusunan kebijakan terkait dengan himne dan kebijakan lain,” harapnya,
Sementara itu, Presidium Balai Syura lainnya, Dr. Rasyidah M.Ag mengatakan, perdamaian Aceh yang berusia 13 tahun masih terlihat rapuh dan rentan hancur jika semua pihak tidak berkontribusi menjaga dan merawatnya.
Aceh merupakan identitas masyarakat yang plural dan beragam, setidaknya ada 12 suku dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Keragaman ini merupakan modal sosial yang penting untuk dikelola dengan baik, penolakan terhadap keberagaman Aceh akan berpotensi memicu gejolak sosial yang dapat menganggu keberlangsungan perdamaian di Aceh. Belajar dari sejarah pengalaman berbagai bangsa menunjukkan, membangun identitas melalui penyeragaman cenderung menimbulkan potensi konflik dan kehilangan identitas lokal.
“Aceh sendiri pernah mengalami kesulitan yang besar ketika penyeragaman sistem yang dilakukan secara nasional pada masa Orde Baru yang telah merubah pola kearifan pemerintahan gampong di Aceh. Situasi ini seharusnya tidak berulang pada saat ini melalui penyeragaman yang dilakukan oleh Pemerintahan Aceh, yang berakibat pada terabainya hak-hak warga dari suku minoritas di Aceh,” kata Rasyidah.
Untuk itu, BSUIA berharap penyusunan himne Aceh mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan dalam Pasal 248 ayat (3) Undang Undang Pemerintahan Aceh dan Pasal 11 ayat (6) Qanun Aceh Nomor 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, dalam mengambil keputusan mengenai Himne Aceh. Serta menghentikan semua proses penetapan Himne Aceh karena belum ada qanun yang mengatur.