Oleh Munawir Lala
PADA prinsipnya, mengambil manfaat dari hasil hutan tidak haram, termasuk dalam kawasan hutan lindung. Sungguh ironis, bila sumber daya alam yang ada tidak dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bukankah hutan (Sumber Daya Alam) merupakan salah-satu pemberian Tuhan untuk dikelola manusia agar terpenuhi kebutuhan hidupnya? Namun persoalannya adalah, sebagian manusia dirasuki oleh berbagai kerakusan dan hutan dijadikan hanya sebagai objek untuk dieksploitasi semata. Sedangkan aspek kemaslahatan terhadap kelestarian lingkungan terabaikan begitu saja.
Indonesia, khususnya Aceh, selaku negeri hukum yang merupakan bagian dari Indonesia, telah mengatur sedemikian rupa tentang mekanisme pengelolaan hutan. Mulai dari tahap permohonan sampai pada tahap pelaksanaannya. Misalnya Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan dan Perizinan Kehutanan Aceh. Qanun tersebut telah memberikan penegasan yang jelas tentang kawasan hutan yang dapat dikelola, bahkan mencakupi persyaratan izin yang harus dipenuhi oleh pengusaha pemanfaatan hutan, begitu juga hak dan kewajibannya.
Pasal 5 ayat (1), jelas menyebutkan bahwa status hutan Aceh terbagi tiga, yaitu; hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Sedangkan berdasarkan fungsinya, hutan juga memiliki tiga fungsi utama. Pertama hutan konservasi, yang fungsi utamanya sebagai kawasan hutan untuk pengawetan terhadap tumbuhan dan satwa serta ekosistem didalamnya. Kedua hutan lindung, yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dan ketiga hutan produksi, dengan fungsi utamanya untuk memproduksi hutan.
Ketiga jenis hutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Namun tata cara pemanfaatannya yang berbeda-beda. Seperti dalam kawasan hutan lindung dan konservasi, Izin yang dapat diberikan hanya pemanfaatan hasil hutan non kayu, seperti; madu, rotan, jernang atau jenis-jenis pemanfaatan kawasan hutan lainnya yang tidak melakukan penebangan terhadap jenis hutan alam.
Sedangkan pemanfaatan kawasan hasil hutan kayu hanya dapat dikeluarkan dalam kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Penguasaan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Salah-satu kawasan hutan produksi yang tidak produktif memiliki kriteria padang alang-alang, semak belukar atau merupakan kawasan hutan yang tidak memiliki hutan alam dan tutupan vegetasinya sudah terbuka.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa untuk proses pengeluaran izin kawasan hutan dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu harus melalui lima (5) tahapan, yaitu; penyiapan lahan, pembibitan, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Lantas persoalannya adalah, apakah semua ketentuan tersebut dilaksanakan oleh pejabat publik dalam pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan?
Kontradiktif
Bila pemerintah menjalankan dengan baik semua ketentuan pengelolaan hutan dan lahan dalam pengelolaan sumber daya alam. Maka peluang peningkatan ekonomi dari sektor kehutanan akan berbanding lurus dengan tingkat perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Dampak yang ditimbulkan akibat perbaikan tata kelola hutan dan lahan akan berfungsinya kawasan hutan menurut ketentuannya masing-masing. Baik itu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Bukankah salah-satu fungsi regulasi di bidang kehutanan untuk menjamin kepastian kawasan hutan agar berfungsi sesuai dengan ketentuannya masing-masing.
Peningkatan investasi di bidang kehutanan sangat rentan terjadi pengrusakan terhadap hutan (deforestasi). Salah-satunya adalah jenis usaha pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI). Bahkan berdasarkan data yang penulis dapatkan. Walhi Aceh telah melaporkan PT. Rencong Pulp and Paper Industri yang bergerak di dibidang HTI ke PTUN Banda Aceh. Salah-satu dugaan yang menjadi dasar pengaduan Walhi Aceh terhadap PT. RPPI adalah kawasan tersebut dikeluarkan dalam kawasan hutan produksi yang masih produktif seluas 10.384 hektar, tentu ini bertentangan dengan PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Penguasaan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.
Perusahaan yang bergerak di di bidang HTI hanya bisa dikeluarkan dalam kawasan hutan produksi yang tidak produktif dengan kriteria seperti yang telah tersebutkan di atas. Sedangkan lokasi PT. Rencong berada pada lokasi dengan tingkat tutupan lahan (vegetasi) yang masih sangat rapat. Bahkan dalam kawasan tersebut masih memiliki tegakan pohon alam yang masih sangat berpotensi untuk dijadikan kawasan hutan konservasi. Kalaupun dipaksakan untuk dijadikan kawasan HTI, maka kawasan tersebut harus dilakukan penebangan terhadap hutan alam terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai lahan persiapan HTI.
Pun demikian, PTUN Banda Aceh menolak permohonan Walhi untuk melakukan pencabutan izin PT. RPPI. Walaupun kasus tersebut sudah diajukan ke Mahkamah Agung oleh Walhi Aceh untuk dilakukan peninjauan kembali. Seharusnya pejabat publik yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan hutan, harus memastikan terlebih dahulu status hutan yang akan diberikan hak penguasaannya. Sehingga potensi konflik terhadap perusahaan dan perubahan bentang alam berdasarkan fungsi hutan dapat diantisipasi sejak dini.
Akhirnya penulis mengajak kepada semua lapisan masyarakat dan pemerintah untuk menjaga kelestarian alam dari ancaman deforestasi dan degradasi terhadap hutan dan lahan melalui perbaikan tata kelola. Semoga.
*Penulis adalah staf LSM Bytra. Aktif juga di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).