ACEHTREND.CO,Banda Aceh- Dinas Syariat Islam (DSI) Propinsi Aceh, sejauh ini sudah memiliki wacana penerapan hukuman qishas dan potong tangan bagi para pembunuh dan pencuri. Tapi, sampai saat ini belum maujud dalam bentuk tindakan lebih lanjut.
Dr. Munawar selaku Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, kepada aceHTrend, Rabu (14/3/2018) sekitar pukul 23.00 WIB mengatakan, semenjak meningkatnya kasus pembunuhan dan pencurian di Aceh, sejumlah organisasi mengajukan tawaran penerapan hukuman qishas dan potong tangan di Aceh.
“Wacana itu pernah ada. Muncul ketika kasus pembunuhan dan pencurian meningkat di Aceh. Didorong oleh sejumlah organisasi yang melihat bahwa hukum Islam menjadi salah satu jawaban atas semakin maraknya kejahatan yang merenggut nyawa manusia,” terang Munawar.
Secara hukum, kata Munawar, penerapan hukum qishas dan potong tangan, memungkinkan diterapkan di Aceh, karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, Pasal 125.
Pasal 125 tersebut ada tiga ayat yang mengatur tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Ayat 1 berbunyi: (1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak. (2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pun demikian, tambah Munawar, sejauh ini selain wacana, belum ada langkah selanjutnya yang dilakukan. Untuk membuat sebuah rancangan qanun, haruslah diawali dari serangkaian riset (penelitian) terhadap berbagai kondisi, baik tantangan, rintangan dan lainnya, agar rancangan yang dibuat nantinya, benar-benar sebuah kebutuhan.
“Misal, apakah pada kondisi saat ini pemberlakuan qishas dan potong tangan sudah masuk dharuri? Ini akan dijawab oleh riset. Tidak boleh diraba-raba atau dikhayalkan,” terangnya.
Tidak Perlu Takut
Pada Kesempatan yang sama, Dr. Munawar mengatakan, siapa saja yang ada di Aceh, diharapkan tidak perlu khawatir terhadap adanya wacana tersebut. Menurutnya, penerapan hukum qishas dan potong tangan, bila pun nantinya akan menjadi sebuah aturan di Aceh, penerapannya tidak serta merta.
“Sebagai living of law, Syariat Islam merupakan hukum yang tumbuh di tengah masyarakat Aceh yang Islami. Ini bukan sesuatu yang bertabrakan dengan norma. Juga berdasarkan perintah Undang-undang.”
Sebagai sebuah produk hukum, Dinas Syariat Islam tidak serta merta bisa menerapkan. Misalnya, dalam menerapkan hukum potong tangan kepada pencuri, sebelum seseorang dihukum, negara harus memeriksa terlebih dahulu mengapa ia mencuri? Karena lapar, miskin, atau karena hal lain. Jadi latar belakang dan kondisi sosio kultural menjadi sesuatu yang tidak dikesampingkan. “Makanya butuh riset panjang. Sosio kultural harus menjadi pijakan living of law, termasuk sudah penting atau belum penting qanun itu dibuat. Riset yang akan menjawab,” katanya.
Pun demikian, Munawar mengakui, sejauh ini wacana tersebut belum dibicarakan lebih lanjut dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dukungan pemerintah baik secara politik dan anggaran sangat menentukan perjalanan wacana itu ke depan.
“Sejauh ini kami belum membicarakan dengan Pak Gubernur. Jadi langkahnya masih sangat panjang. Kalau ditanya penting atau tidak pemberlakuannya, itu sangat tergantung kepada siapa yang mengemukakan pandangan. Kalau dasar pijakan kami tetaplah riset dan diskusi dengan para pakar di bidang terkait,” kata Munawar.
Di sisi lain ia melaporkan, bahwa hasil riset terakhir, penerapan Qanun Syariat Islam yang sudah berjalan selama ini, memiliki progres yang luar biasa. Tingkat pelanggaran semakin menurun dan masyarakat sudah mulai mengakui bahwa itu bahagian dari hukum yang harus mereka taati.
“Jadi tidak perlu takutlah. Mari berdialektika dengan sehat terkait wacana apapun tentang Syariat Islam yang dikembangkan di Aceh. Jangan distorsi informasi, seolah-olah Aceh sangat konservatif (kolot-red). Hukum Islam bukan sesuatu yang terbelakang,” imbuhnya.