Demokrasi yang sangat liberal pasca reformasi 1998, telah melahirkan pemilu langsung, baik pilkada, pileg maupun pilpres. Rakyat dalam semua kelas, memiliki kesetaraan–tanpa perlu diwakilkan– untuk menentukan hak pilih. Partai politik yang sebelum reformasi begitu digjaya, kini hanya sebatas kendaraan saja. rakyat bebas menentukan siapa yang akan mereka pilih, terlepas nantinya parpol memainkan kecurangan di internal.
Pemilu langsung –rakyat langsung menentukan pilihannya tanpa perwakilan– telah membuat demokrasi di Indonesia menjadi sangat mahal. Cost politik yang tinggi serta ditambah dengan money politic, membuat tidak seorang pun bisa benar-benar bebas dari politik transaksional.
Kisruh pergub APBA 2018, tidak bisa tidak, memiliki hubungan dengan mahalnya biaya politik bagi siapa saja yang mencalonkan diri sebagai anggota DPRA. Karena dengan lahirnya –kelak– APBA 2018 yang dipergubkan, secara otomatis, dana aspirasi yang sempat dijanjikan 20 miliar per anggota DPRA, akan raib serta merta.
Terlepas dari sepakat tidak sepakat bahwa dana aspirasi tersebut. Tapi semua orang tahu bahwa dana aspirasi yang dititipkan oleh setiap anggota DPR ke berbagai dinas, merupakan urat nadi politik, dalam rangka menjaga konstituen (daerah pemilihan). Walaupun secara aturan fungsi anggota parlemen hanya tiga, yaitu legislasi, budgeting dan pengawasan, tapi dalam prakteknya, mereka menjalankan fungsi keempat, yaitu membuat dan menjalankan program pembangunan. Nah, jalan satu-satunya hanyalah aspirasi. Tidak lebih tidak pula kurang.
Untuk itu pula, Ketua DPRA Teungku Muharuddin, terpaksa harus mengatakan Gubernur Irwandi munafik, karena setelah sempat berjanji akan menyediakan slot aspirasi, dia pula yang kemudian membatalkannya dengan ragam dalih yang berujung penetapan APBA 2018 dengan pergub. Seperti kata Melayu: Kau yang mulai kau yang mengakhiri. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari. Duh, sakitnya tuh di sini (menunjuk ke ulu hati).
Bagi pendukung Gubernur Aceh, musibah yang dialami oleh anggota DPRA tentu merupakan bahan olok-olok. Dalam banyak argumen di media sosial, mereka menempatkan anggota DPRA seolah pesakitan yang pantas mendapat hukuman, karena kelalaiannya membahas anggaran rakyat. Konon lagi tersebar selentingan, bila terlambatnya pembahasan yang berujung pembatalan itu, karena anggota DPRA bersikukuh tiap mereka harus mendapatkan aspirasi sebesar 20 miliar. Hal ini dibantah oleh anggota parlemen, walau oleh “simpatisan” Irwandi dianggap itu hanya lelucon politik.
Seolah-olah, tanpa dana aspirasi, seorang anggota parlemen akan bisa membangun nilai tawar di depan konstituen. Padahal semua menyadari bahwa tanpa dana aspirasi, anggota dewan bukanlah siapa-siapa.
Bila melihat psikologi, tentu anggota DPRA sangat terganggu dengan tiadanya dana aspirasi. Berbagai janji yang sudah dibuat dengan dapil dan pendonor mereka, akan berantakan dan tidak bisa diwujudkan. Padahal tahun politik hanya menunggu bulan saja.
Tanpa logistik yang jelas, pileg 2019 akan diarungi dengan kondisi yang tidak begitu menggairahkan. Dampak terbesar tentu akan dirasakan oleh Partai Aceh. Karena mayoritas anggota parlemen Aceh adalah perwakilan dari partai itu. Mesin-mesin partai yang akan digerakkan pada pileg tentu membutuhkan “bensin” serta “oli” dan “freon” agar bisa bergerak maksimal. Salah satu sumber tenaga itu adalah dana aspirasi tiap anggota dewan.
Lelaku masyarakat Aceh yang dalam tiap pemilu minta disuap, minta dilayani, serta minta disusui, akan membuat kerja politik semakin berat. Pada akhirnya, bagi “petahana” melangkah di tahun 2019 semakin berat. Bagi yang bukan petahana, sama saja.
Apalagi ditambah dengan lelaku lain, bahwa setelah menjadi anggota DPR, seseorang itu akan menjadi tempat menyender semua pihak, mulai dari partai, simpatisan hingga lawan politik yang menyaru menjadi kawan. “Menjadi anggota dewan saat ini, mulai dari mencalonkan diri uang habis, saat terpilih apalagi, dan akan semakin habis ketika maju lagi. Kalau tanpa aspirasi, tentu takkan cukup,” kata salah seorang anggota dewan.
Lalu siapa yang akan menarik untung? Jelas jaringan mafia narkoba yang telah mempersiapkan diri maju pada pileg kali ini. Di luar “petahana” DPRA, hanya pihak mereka yang benar-benar memiliki Sumber Daya Keuangan (SDK) yang unlimited.
Nanti akan ada sentilan: Jadi anggota DPR itu berat. Biar toke (sabu) saja.
***
Dalam politik, tidak ada yang abadi. Kalau kata anggota DPRK Bireuen Muchlis Rama, setiap dendam politik, memiliki persimpangan tempat untuk menunggu dan kemudian melakukan pembalasan. Tidak selamanya eksekutif bisa menyombongkan diri kepada legislatif. Karena politik tidak statis.
Bagi teman-teman di partai Nanggroe Aceh (PNA) oleh selentingan kabar disebutkan akan meraup untung dari kondisi politik seperti ini. Dengan “termutilasinya” SDK calon DPRA dari Partai Aceh dan partai nasional lainnya, mereka akan melenggang bebas tanpa kendala.
Ups, tunggu dulu. Pada sebuah warung kopi kampung, terjadi diskusi bahwa semakin perilaku Gubernur Aceh tidak membuat rakyat senang, maka peluang PNA untuk meraup simpati rakyat pun akan tertutup.
Lagi-lagi ini adalah politik. Jangan terpesona dengan tarian, karena penonton pun punya penilaian sendiri. []