ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Psikolog Anak, Endang Setianingsih mengaku was-was akan nasib tumbuh kembang anak Aceh dengan semakin maraknya terjadi kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur.
Menurut Endang, trauma yang dialami oleh anak korban kejahatan seksual akan berbekas hingga ia dewasa maka apabila tidak dipulihkan akan memperburuk tumbuh kembang si anak.
“Inilah yang sangat saya sangat khawatirkan. Korban-korban ini tidak tertangani pemulihan psikologisnya,” ujar perempuan kelahiran Bireun Oktober 1969 saat diwawancarai aceHTrend, Minggu (18/3/2018).
Endang yang juga Dosen Ilmu Psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh dan Psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh menuturkan berbagai faktor penyebab anak menjadi korban dan cara pemulihan yang tepat serta kekhawatirannya terhadap upaya pemerintah dalam menekan angka kejahatan seksual terhadap anak. Berikut penuturannya.
Apa yang menjadi pemicu anak bisa menjadi korban kejahatan seksual?
Pertama pola asuh orang tua. Pernah kita melakukan penelitian tentang perlindungan anak pada 2015 tentang pola asuh orang tua. Kita mengambil sampel anak-anak yang nakal. Di Sigli (Kabupaten Pidie), kami mendapatkan hasil bahwa faktor pola asuh orang tua yang los control salah satu pemicu anak melakukan kejahatan dan menjadi korban.
Kedua pengaruh pornografi yang begitu tinggi. Ada anak yang menonton video yang didownload oleh orang tuanya dan ini kan cukup bahaya. Karena video porno dapat merusak dan mengecilkan otak belakang.
Ketiga lingkungan yang sangat mendukung, sehingga anak memiliki kesempatan untuk anak melakukan kejahatan dan menjadi korban kejhatan.
Bagaimana potret sebaran kejahatan seksual terhadap anak di Aceh?
Sebaran kejahatan seksual hampir terjadi di tiap daerah, terutama Aceh Utara yang kasusnya cukup tinggi terasuk Sigli dan Pidi Jaya. Yang kita kawatirkan bukan datanya yang menurun tapi apakah orang tua pro akatif melapor saat anaknya menjadi korban?
Maksudnya banyak orang tua yang tidak mau lagi melapor?
Hari ini kita melihat, orang tua terkadang memikirkan seolah-olah saat anaknya menjadi korban menjadi aib sehingga ogah untuk melapor. Kemudian setelah melapor, hukuman yang dikenakan pada pelaku kejahatan juga begitu ringan sehigga dianggap percuma.
Contoh kasusnya?
Contohnya kita pernah tangani kasus di Aceh Besar, korban di perkosa oleh pelaku yang juga tetangganya. Kemudian hukuman yang dijatuhkan hakim jika saya tidak keliru sekitar 4,6 tahun.
Si pelaku dalam penjara juga dapat dengan leluasa keluar masuk sementara rumah pelaku berdampingan dengan korban. Nah kondisi seperti ini membuat psikologi anak terganggu, apalagi saat itu si anak belum sempat tamat SD pelaku sudah bebas. Kondisi inilah yang mengakibatkan orang tua sudah malas melapor, akhirnya banyak yang memilih damai di tingkat gampong.
Apa upaya yang telah dilakukan oleh P2TP2A dalam menekan angka kejahatan seksual terhadap anak?
P2TP2A sudah melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, kemudian ke gampong-gampong dan melakukan sosialisasi melalui radio-radio.
Apakah dampak yang diterima oleh semua anak korban kejahatan seksual sama?
Dampak yang dirasakan sangat tergantung pada ketahanan berat-ringan stresnya sehingga mempengaruhi psikologisnya. Ada sebagian pertahanan yang cukup baik, misalnya kelurganya cukup baik menjaga si anak dan ada penyelasaian terhadap pemulihan psikologi anak. Namun ada juga sebagain anak tidak ada.
Kalau korbannya kehatan seksualnya anak laki-laki?
Kalau korbannya anak laki-laki jika tidak dipulihkan psikologisnya maka anak itu akan menjadi pelaku di kemudian hari. Contoh kasus yang kami tangani, ank itu sudah berkali-kali menjadi korban akibatnya dia juga melakukan hal yang sama. Nah yang sebelumnya korban akan menjadi pelaku apabila psikologisnya tidak dipulihkan.
Dari kasus-kasus yang ada, apakah psikologis korban terpulihkan?
Trauman si susah hilang. Bisa saja saat berjumpa pelaku traumanya akan kambuh lagi. Inilah yang hari ini saya sangat khawatir korban-korban ini tidak tertagani pemulihan psikologisnya.
Apakah penegakan hukum terhadap kasus ini sudah efektif?
Saya tidak mengatakan efektif atau tidak. Namun saya melihat belum bias melakukan kebijakan yang memihak pada korban. Saya pernah menangani satu kasus sodomi, namun hukuman terhadap pelaku hanya satu tahun. Itu satu tahun bukan dipenjara melaiinkan direhab. Ibu dari si anak ini syok mendengarnya langsung mau minum Boygon (pembasmi nyamuk). Dari kasus ini ternyata yang jadi korban bukan hanay si anak tapi juga orang tuanya, keluargnya malu dan segala macam. Saya berharap ini diperetimbangkan oleh orang pengambil keputusan. Ini yang saya khawatirkan.
Harapanya pada aparat penegak hukum?
Untuk bisa diberikan hukuman setinggi-tingginya pada pelaku. Kalaupun tidak menggunakan UU Perlindungan Anak karena kita sudah punya qanun tapi apakah hukuman dalam qanun itu cocok atau tidak untuk korban kejahata seksual terhadap anak. Sementara dalam UU Perlindangan Anak sudah sangat tinggi menjatuhkan hukuman sampai 15 tahun pada pelaku kejahatan. Nah, kenapa tidak ini yang digunakan. Okelah untuk orang dewasa yang melakukan hubungan seks dihukum 100 kali cambuk, tapi ini kan anak yang dampak dirasakan sangat berkepanjnagn. Traumanya itu tidak akan sembuh tapi hanya pulih untuk bersosialisasi dan menerima dirinya. Tapi suatu saat inkan bisa kambuh.[]