ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Presidium Balai Syura, Suraiya Kamaruzzaman menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi kekerasan terhadap perempuan saat ini. Untuk itu, dia mengingatkan semua pihak di Aceh agar secara kolektif dan sistematis melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan mulai dari tindakan preventif, pelayanan dan reintegrasi sosial.
“Upaya perlindungan perempuan dari ancaman tindak kekerasan diharapkan benar-benar dibangun berdasarkan pengalaman, harapan dan kebutuhan perempuan sehingga tepat sasaran, serta yang terpenting tidak justru berdampak pada pembatasan ruang gerak perempuan untuk terlibat aktif dalam pembanguan perdamaian dan demokrasi di Aceh serta untuk mendapatkan hak-hak lainnya,” katanya pada aceHTrend, Minggu (18/3/2018).
Hal itu disampaikan Suraiya untuk menanggapi usulan salah seorang tokoh adat yang mengharapkan agar pemerintah Aceh membuat aturan-aturan yang membatasi aktifitas perempuan di malam hari pada diskusi bertajuk desiminasi dan ekspose bersama penanganan trend kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2017 P2TP2A pada 13/3/2018 di Pendopo Gubernur.
“Usulan tersebut semakin tidak relevan, mengingat banyak kasus kekerasan terhadap perempuan anak justru terjadi di wilayah yang dianggap aman, seperti di rumah dan pelakuknya adalah orang yang dianggap sebagai pelindung,” bantah Suraiya.
Suraiya menegankan bahwa, gerakan perempuan sangat mendukung penerapan Syariat Islam yang rahmatan lil-alamin dengan memastikan pemenuhan hak-hak perempuan korban yang adil dan bermartabat.
Untuk memastikan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan dan upaya pemenuhan hak perempuan seperti yang dijawibakan dalam UU Pemerintahan Aceh Pasal 321 dapat dilakukan dengan beberapa hal:
Pertama melakukan upaya preventif melalui beragam aktivitas termasuk sosialisasi tentang kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan dan anak, bukan hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada aparat penegak hukum, pemuka agama dan pemuka adat, yang bertujuan untuk membangun pemahaman dan kesadaran semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan kondisi yang aman bagi perempuan dan anak; serta mengurangi stigma negatif dan menyalahkan korban.
Kedua, penegakan hukum bagi pelaku kekerasan harus maksimal dan tidak tebang pilih, sehingga bias menghadirkan efek jera bagi semua orang.
Ketiga, kebijakan penempatan petugas pihak keamanan atau patrol secara regular di daerah-daerah yang diduga rawan kekerasan. Pengadaan lampu di malam hari atau alat penerang jalan pada lokasi yang dinilai rawan kekerasan juga menjadi penting sebagai upaya pencegahan.
Keempat, ketersediaan sarana dan prasarana, personil yang handal dan memiliki perspektif korban serta anggaran yang memadai juga menjadi keharusan, sehingga P2TP2A sebagai unit layanan dapat bekerja secara masksimal dalam memberikan layanannya.
“Kelima, pemerintah diharapkan pula dapat menyediakan kebijakan, anggaran dan program yang memadai bagi upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Aceh termasuk mendukung lembaga-lembaga yang diinisasi masyarakat dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan,” katanya. []