ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, melimpahkan kewenangan pelaksanaan proyek otonomi khusus (Otsus) jatah kebupaten/kota ke masing-masing daerah termasuk pelelangan kegiatan oleh unit layanan pengadaan (ULP) kabupaten/kota.
Keputusan itu disampaikan Irwandi dalam rapat tertutup dengan bupati/wali kota di Kantor Percepatan dan Pengendalian Kegiatan (P2K) Aceh, Kamis (15/3/2018).
Dalam rapat tersebut disepakati sistem dan prosedur, jadwal pelaksanaan, hingga pembagian tugas antara provinsi dengan kabupaten/kota dengan nilai proyek yang akan ditender di daerah diperkirakan sekitar Rp 3,2 triliun.
Keputusan itu disambut baik oleh para bupati/wali kota. Namun, Irwandi mengingatkan, bahwa pelimpahan kewenangan itu bukan hanya peluang, tapi juga tanggung jawab mutlak pemerintahan kabupaten/kota.
“Kita harapkan, awal April nanti pengumuman lelang dan upload dokumen sudah dilaksanakan di seluruh ULP kabupaten/kota,” tegas Irwandi seperti dikutip dari Serambinews.com, Jumat (16 Maret 2018).
Menanggapi hal tersebut, Akademisi Hukum Tata Negara (HTN) Unsyiah yang juga Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA), Kurniawan S, memandang bahwa Gubernur Irwandi perlu meminta persetujuan bersama DPRA atas keputusan tersebut.
“Sesuai mekanisme ketatanegaraan Indonesia, berdasarkan mekanisme check and balance tidaklah dapat secara sepihak berdasarkan keinginan dari gubernur melainkan harus mendapat persetujuan bersama DPRA,” ujar Kurniawan saat dimintai tanggapannya, Senin (19/3/2018).
Kurniawan menuturkan, secara yuridis tata cara penggunaan dana otsus yang nomenklaturnya diubah menjadi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) termasuk tata cara pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil (TDBH) minyak dan Gas Bumi saat ini merupakan kewenangan provinsi.
Hal itu berdasarkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian TDBH dan Penggunaan Dana Otonomi. Qanun tersebut disahkan pada 19 Desember 2016.
“Saya menyambut positif rencana Gubernur Aceh yang akan mengubah tata cara penggunaan DOKA dari yang semula dikelola oleh provinsi diubah menjadi kewenangan pengelolaannya berada pada kab/kota,” katanya.
Namun, dia menyarankan kepada gubernur agar diajukan ke DPRA untuk mendapat persetujuan bersama.
Selain itu, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian TDBH migas dan penggunaan dana otsus diatur dengan qanun.
“Ini bermakna bahwa, ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana otsus merupakan domain produk hukum berupa qanun Aceh. Ketika hal tersebut merupakan domain qanun Aceh maka haruslah mendapat persetujuan bersama antara DPRA dengan Gubernur Aceh,” jelasnya.
Dalam rangka mewujudka keinginan tersebut, Kurniawan menilai, Irwandi Yusuf harus dapat meyakinkan legislatif bahwa kewenangan pengelolaan dana otsus yang secara langsung dikelola oleh kab/kota dapat memberi dampak pembangunan lebih nyata dan massif serta lebih efektif dibandingkan kewenangan pengelolaannya di provinsi.
“Jika mencermati memburuknya hubungan antara eksekutif dan legislatif paska rencana APBA yang akan dipergubkan sepertinya tidak mudah bagi Irwandi untuk mendapat persetujuan DPRA atas rencana revisi ketiga atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Otsus tersebut,” tambahnya.
Untuk itu dia memandang, Irwandi perlu membangun keseimbangan dan komunikasi politik yang cair dan egaliter dengan legislatif dalam memikirkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat Aceh.
“Kesejahteraan rakyat Aceh serta keberhasilan pembangunan di Aceh hanya dapat diwujudkan bilamana adanya kesepahaman dan kekompakan serta penghayatan secara mendalam antara legislatif dengan eksekutif akan hakikat keberadaan pemimpin bagi rakyatnya,” pungkas Kurniawan.[]