MUNDURNYA Munawar Liza Zainal (MLZ) dari Partai Nanggroe Aceh (PNA) tidak bisa dilihat dari kacamata biasa. Sebab, mantan Wakilota Sabang itu adalah salah seorang pendiri PNA. Ia juga bukan orang biasa dalam lingkar politik tinggi di Aceh.
Keberaniannya memilih berseberangan paham dengan Republik Indonesia, dan bergabung dengan ASNLF yang dipimpin oleh Hasan Tiro, merupakan salah satu bukti bahwa ia adalah seorang petarung, yang memiliki nasionalisme keacehan. Padahal tidak sedikit generasi yang satu leting dengannya, lebih memilih menjadikan diri sebagai cuak Jakarta, pada masa itu.
Lelaki kelahiran Laweueng, Muara Tiga, Pidie, Aceh, 22 Desember 1973, juga telah membuktikan, pada Pilkada langsung pertama di Indonesia, yang berhasil memenangkan eleksi dan menjadi wakilota Sabang, yang bukan saja bukan gampong kelahirannya, tapi juga bukan tempat ia merantau.
Lantas, mengapa sang petarung itu memilih mundur dari partai yang telah menghantarkan Irwandi Yusuf ke kursi Gubernur Aceh? Adakah hal yang prinsipil, sehingga ia memilih menepi dari jalan politik. Ataukah memang Munawar telah lelah menghadapi iklim politik yang tidak biasa. tapi iklim politik yang bagaimanakah itu?
Sulit bin tidak masuk akal, jika itu adalah masalah internal, apalagi hanya melibatkan kaum muda di partai. Tapi rasanya juga tidak mungkin, manakala Munawar Liza berseberangan dengan Irwandi Yusuf. Publik wajar penasaran dan penuh tanda tanya. Ada apa gerangan?
***
Mundurnya Munawar Liza yang pada awalnya diumumkan melakui facebook, dengan memosting surat pernyataan pengunduran diri bermaterai, membuat sebagian khalayak terkejut. PNA adalah partai pemenang Pilkada Aceh 2017. Saat ini Gubernur Aceh adalah Ketua Umum PNA, mengapa MLZ mundur? Padahal banyak orang lain–termasuk yang menjelek-jelekkan Irwandi kala putaran pilkada, kini justru mesra bergelendot di tali pinggang Irwandi, sembari membaca ribuan mantra sanjungan.
Terdengar selentingan, semenjak menang, Irwandi memang mulai jauh dari orang-orang yang selama ini mati-matian membela dirinya di berbagai kesempatan. Irwandi dikabarkan tidak betah dengan koleganya yang selalu menawarkan konsep idealisme dalam membangun Aceh, bukan sekedar konsep pragmatis yang bisa segera dinikmati sembari terbang-terbang.
Masuknya para brutus, petualang politik serta agen-agen, telah membuat sang kapiten lupa diri. Ujung-ujungnya orang-orang seperti MLZ terpental ke luar gelanggang, dengan wajah tertunduk dan kecewa.
Kabar lainnya, bahwa di tubuh PNA telah terjadi dua faksi, antara faksi GAM idealis dan non GAM yang berkolaborasi dengan GAM pragmatis. Mereka saat ini disebut-sebut telah mengkooptasi partai yang dicitrakan sebagai partai kader dan modern.
Ketika hal itu coba ditanyakan kepada MLZ, ia menggeleng dan tetap beralasan seperti yang ia tulis di surat pengunduran diri. Tapi lagi-lagi publik merasa janggal. Bila MLZ sudah mengambil sikap, maka ia sudah pada posisi benar-benar tidak nyaman, terganggu ataupun tidak lagi memiliki peran vital.
“Ini tentang kisah perang dan ghanimah. Yang berperang si A, yang mengambil ghanimah si B serta panglima perang justru lalai bermain dadu dengan para pemimpin lain di negeri luar,” kata seorang sumber, yang juga mengaku kecewa dengan keadaan.
Pepatah Melayu mengatakan: Bila tak ada api, masakan ada asap. Dalam bahasa Aceh, orang tua bijak bestari yang hidup di zaman lampau sudah membuat hadih maja: Meunyo tan sapu nyang ditot, pane patot asap meubura.